Qadha dan Qadar di Zaman Kecerdasan Buatan (AI)

Mata Akademisi, Milenianews.com – Di tengah revolusi teknologi yang kian menggeliat, kecerdasan buatan (AI) menjelma sebagai entitas yang mengubah cara manusia berpikir, bekerja, dan bahkan percaya. Dari bidang medis hingga algoritma media sosial, AI seakan menjadi ‘mitra berpikir’ yang tak pernah lelah, cepat, dan cermat. Namun, bersamaan dengan kagum terhadap kemampuan mesin, muncul pula pertanyaan mendasar: jika keputusan AI sering lebih akurat dari manusia, sejauh mana manusia masih punya kebebasan memilih? Apakah semua ini bagian dari takdir yang telah digariskan?

Pertanyaan itu menuntun kita kepada dua konsep klasik dalam teologi Islam—qadha dan qadar. Dua istilah ini, meski sering didengar, tetap menjadi misteri dalam keseharian umat. Terlebih di era di mana manusia mulai menyerahkan banyak keputusan pada mesin. Bagaimana kita memaknai qadha dan qadar dalam konteks digital dan algoritma? Di sinilah pemikiran Harun Nasution kembali relevan untuk dikaji.

Takdir di Persimpangan Logika dan Logaritma

Kehadiran AI dalam kehidupan modern telah menimbulkan berbagai dilema etis dan filosofis. Misalnya, sistem rekrutmen berbasis AI yang membantu menyeleksi calon karyawan, atau algoritma diagnostik medis yang mampu mengungguli ketelitian dokter manusia. Menurut studi MIT (2023), AI seperti IBM Watson mencapai akurasi 93% dalam mendiagnosis kanker, sementara dokter manusia rata-rata 88%.

Namun, di balik presisi itu, kita tak boleh lupa: AI hanya secerdas data yang dimasukkan padanya. Ketika data itu bias—seperti kasus algoritma Amazon yang diskriminatif terhadap pelamar perempuan—maka keputusan AI pun ikut menyimpang. Maka timbul pertanyaan: ketika AI memberi rekomendasi, apakah itu ‘qadar’ yang harus diterima? Ataukah manusia masih bisa—dan harus—menggunakan akalnya untuk mengkritisinya?

Harun Nasution dan Rasionalisasi Takdir

Dalam khasanah pemikiran Islam Indonesia, Harun Nasution tampil sebagai figur penting yang menghidupkan kembali tradisi rasional Mu’tazilah. Ia menolak pandangan fatalistik terhadap takdir yang membuat umat Islam pasrah tanpa usaha. Dalam pandangan Harun, qadha dan qadar tidaklah meniadakan ikhtiar manusia.

Qadha adalah ketetapan Allah yang bersifat azali, sedangkan qadar adalah realisasi dari qadha dalam ruang dan waktu. Di titik inilah manusia diberi ruang untuk berusaha. Maka ketika manusia menciptakan AI, itu bagian dari qadar—sebuah manifestasi dari ketetapan Allah bahwa manusia bisa berpikir, meneliti, dan menciptakan alat secanggih apa pun. Namun bagaimana AI digunakan, itu adalah hasil dari ikhtiar.

Ketika Akal Bertemu Akal Buatan

Harun Nasution menekankan bahwa Islam bukan agama yang anti-akal. Bahkan, menurutnya, banyak ayat Al-Qur’an yang mendorong manusia untuk berpikir dan menggunakan nalar. Namun, kemunculan AI memunculkan akal jenis baru—yang bukan manusiawi, melainkan artifisial. Maka muncul ironi: ketika manusia terlalu bergantung pada kecerdasan buatan, apakah ini bentuk kemajuan atau kemunduran akal itu sendiri?

Dalam bingkai rasionalitas Harun Nasution, AI hanyalah alat bantu. AI bisa membantu diagnosa, mengatur lalu lintas, atau menyarankan konten di media sosial. Tapi keputusan—apakah akan menjalani saran itu atau tidak—tetap menjadi hak dan tanggung jawab manusia. AI tidak punya ruh, tidak punya beban moral. Ia tidak bisa berdosa, dan tidak bisa bertobat.

Baca juga: Qadha, Fidyah, dan Kafarat Puasa

AI sebagai Sunnatullah: Takdir atau Tantangan?

Dalam sudut pandang teologis, penciptaan teknologi seperti AI bisa dimasukkan dalam kategori sunnatullah—hukum Allah yang berlaku dalam ciptaan-Nya. Allah menetapkan bahwa manusia memiliki potensi intelektual. Maka ketika manusia menciptakan mesin yang meniru cara berpikir, itu adalah konsekuensi dari qadha. Namun penggunaan AI—untuk kebaikan atau keburukan—adalah qadar yang bisa berubah sesuai ikhtiar.

Seperti halnya seorang pengemudi yang diberi peringatan AI akan kecelakaan di depan. Informasi itu bisa dianggap sebagai bentuk qadar: sesuatu yang mungkin terjadi. Tapi memilih untuk berhenti atau tetap melaju adalah tanggung jawab manusia. Di titik ini, ajaran Harun Nasution menjadi penting: manusia tidak boleh pasrah. Islam menuntut usaha, keputusan, dan pertanggungjawaban.

Menjawab Tantangan Era Digital dengan Teologi Kritis

Konsep qadha dan qadar bukanlah wacana yang usang. Ia justru semakin relevan di era kecerdasan buatan. Ketika manusia tergoda menyerahkan terlalu banyak hal kepada mesin, teologi Harun Nasution mengingatkan: manusia tetap makhluk rasional dan spiritual. AI adalah alat, bukan takdir.

Pemahaman ini membawa kita pada ajaran Islam yang inklusif terhadap ilmu, namun tetap menjaga nilai dan batas moral. Melalui pendekatan rasional seperti Harun Nasution, umat Islam bisa menjalani zaman AI dengan percaya diri: tidak takut teknologi, tidak tunduk pada mesin, tapi juga tidak menyombongkan kebebasan. Karena pada akhirnya, takdir bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk dipahami—dengan iman dan akal yang seimbang.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Penulis: Zeina Muntadhira, Azkiya Zahraini Nurlatifah, Lathifah Khairunnisa, Ulfatul Aulia Editor: Reyvan Aldyan Yahya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *