Milenianews.com, Mata Akademisi – Politik pascakebenaran memiliki arah yang berlawanan dengan tradisi filsafat. Dalam budaya politik pascakebenaran, pembentukan opini publik lebih diutamakan melalui eksploitasi emosi dan keyakinan personal masyarakat demi mencapai target politik tertentu, tanpa mengindahkan kebenaran faktual. Fakta sering kali dikalahkan oleh sentimen, persepsi, dan narasi yang dibangun secara strategis.
Sebaliknya, filsafat sejak era Yunani Kuno selalu menjadikan pencarian kebenaran sebagai orientasi utama kehidupan manusia. Kebenaran diposisikan sebagai tujuan refleksi rasional dan landasan etis dalam bertindak. Ketegangan antara politik pascakebenaran dan filsafat kebenaran inilah yang kemudian menempatkan epistemologi sebagai medan diskursus yang sangat relevan.
Kebenaran dalam Perspektif Epistemologi
Dalam filsafat, kebenaran tidak pernah hadir dalam satu wacana tunggal. Kebenaran selalu dipahami dalam beragam bentuk, tergantung pada perspektif yang digunakan. Kebenaran dalam pandangan rasionalisme tentu berbeda dengan kebenaran menurut empirisme. Perbedaan ini menunjukkan bahwa sumber pengetahuan menjadi persoalan mendasar dalam filsafat, khususnya dalam cabang epistemologi.
Epistemologi atau filsafat pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji kodrat, ruang lingkup, dasar-dasar, serta pertanggungjawaban atas pengetahuan yang dimiliki manusia. Pada tahap awal perkembangannya, epistemologi berfokus pada dua persoalan utama, yaitu sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori kebenaran (the theory of truth).
Pembahasan mengenai sumber pengetahuan berkaitan dengan pertanyaan apakah pengetahuan bersumber dari akal (‘aqliyyah), pengalaman inderawi (tajribiyyah), kritik rasional (naqdiyyah), atau intuisi (hadasiyyah). Sementara itu, teori kebenaran mempertanyakan apakah kebenaran dapat dijelaskan melalui korespondensi, koherensi, atau pendekatan pragmatis. Seiring perkembangan zaman, epistemologi juga membahas proses memperoleh pengetahuan, metode pembuktiannya, serta tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.
Teori-Teori Kebenaran dalam Perspektif Islam
Mendefinisikan kebenaran yang sebenar-benarnya merupakan persoalan yang tidak sederhana. Para ilmuwan dan filsuf sering memaknai kebenaran berdasarkan sudut pandang masing-masing. Untuk memahami kebenaran secara lebih mendalam, berikut beberapa teori kebenaran yang relevan dalam perspektif filsafat Islam.
Teori Korespondensi
Teori korespondensi banyak dianut oleh kalangan realis. Kebenaran dipahami sebagai kesesuaian antara pernyataan dan realitas objektif. Suatu pernyataan dianggap benar apabila sejalan dengan fakta yang ada. Sebagaimana dikemukakan Soejono Dirdjosisworo, kebenaran merupakan pertimbangan yang sesuai dengan kenyataan, sehingga pengetahuan dan realitas berada dalam hubungan yang harmonis.
Dalam teori korespondensi, kebenaran terjadi ketika arti suatu pernyataan sesuai dengan objek yang dimaksud. Unsur-unsur utama dalam teori ini meliputi pernyataan, persesuaian, situasi, kenyataan, dan putusan.
Teori Koherensi (Konsistensi)
Teori koherensi memandang kebenaran sebagai konsistensi internal antarpernyataan. Suatu pernyataan dianggap benar apabila tidak bertentangan dan bersifat koheren dengan pernyataan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran dalam teori ini dikenal dengan ungkapan truth is systematic coherence dan truth is consistency.
Teori ini menggunakan logika deduktif, di mana kesimpulan dianggap benar jika premis-premisnya juga benar. Contoh klasiknya adalah silogisme: semua manusia pasti mati, Socrates adalah manusia, maka Socrates pasti mati.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Teori Pragmatisme
Teori pragmatisme mengukur kebenaran berdasarkan kegunaan dan akibat praktisnya. Suatu pernyataan dianggap benar jika memberikan manfaat, dapat diterapkan, dan menghasilkan konsekuensi yang memuaskan bagi kehidupan manusia.
Dalam pandangan pragmatis, kebenaran tidak bersifat mutlak, melainkan bergantung pada konteks dan hasil yang ditimbulkannya. Kriteria kebenaran meliputi kegunaan (utility), kemampuan diterapkan (workability), dan dampak yang memuaskan (satisfactory consequence).
Teori Kebenaran Religius
Berbeda dengan teori sebelumnya yang berlandaskan akal dan pengalaman, teori kebenaran religius menjadikan wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi. Dalam perspektif ini, sesuatu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama yang bersumber dari Tuhan.
Agama, melalui kitab suci dan hadis, dipahami mampu memberikan jawaban atas persoalan manusia, termasuk persoalan kebenaran. Dengan demikian, wahyu diposisikan sebagai standar kebenaran mutlak yang melampaui relativitas rasional dan empiris.
Kebenaran Performatif
Teori kebenaran performatif memandang kebenaran bukan sebagai sifat pernyataan, melainkan sebagai tindakan. Suatu pernyataan dianggap benar ketika diakui, diterima, atau dibenarkan melalui tindakan sosial. Teori ini dikembangkan oleh filsuf seperti Frank Ramsey, John Austin, dan Peter Strawson.
Dalam pandangan ini, pernyataan benar tidak sekadar menggambarkan realitas, tetapi justru menciptakan realitas itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran lahir dari performa bahasa dalam praktik sosial.
Teori-Teori Kebenaran dalam Tradisi Barat
Dalam tradisi filsafat Barat, kebenaran disusun melalui kerangka berpikir logis, pengajuan hipotesis, dan proses verifikasi empiris. Orientasi pemikiran Barat tidak lepas dari peran rasio dan indera sebagai sumber utama pengetahuan.
Dari rasio lahir rasionalisme yang berpijak pada idealisme, sedangkan dari indera berkembang empirisme yang berpijak pada materialisme. Selain itu, muncul pula kritisisme sebagai upaya mendamaikan pertentangan keduanya.
Rasionalisme
Rasionalisme menempatkan akal sebagai sumber utama kebenaran. Menurut pandangan ini, kebenaran tidak mungkin diperoleh hanya dari pengalaman inderawi. Tokoh utama rasionalisme klasik adalah Plato, sedangkan pada era modern dipelopori oleh René Descartes dan Leibniz.
Empirisme
Empirisme berpendapat bahwa seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman inderawi. Aristoteles dianggap sebagai pelopor empirisme klasik, sementara empirisme modern dikembangkan oleh John Locke, Francis Bacon, dan Thomas Hobbes. Dalam pandangan ini, tidak ada ide bawaan; seluruh pengetahuan bermula dari pengalaman.
Kritisisme
Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme melahirkan kritisisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Kritisisme berupaya menggabungkan peran rasio dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Dengan demikian, kebenaran dipahami sebagai hasil sintesis antara struktur akal dan data empiris.
Pertarungan antara politik pascakebenaran dan filsafat kebenaran menunjukkan bahwa kebenaran tidak pernah menjadi isu yang sederhana. Epistemologi menawarkan kerangka kritis untuk menilai klaim kebenaran, baik dalam perspektif Islam maupun Barat. Di tengah dominasi opini dan emosi dalam politik kontemporer, refleksi filosofis tentang kebenaran menjadi semakin mendesak untuk menjaga rasionalitas publik dan integritas pengetahuan.
Penulis: Siti Rahman, Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur,an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.












