Milenianews.com, Mata Akademisi – Indoneisa merupakan negara yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Seperti dalam data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) mencatat lebih dari 80% bencana yang terjadi di Indonesia berkaitan iklim dan air, seperti fenomena banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan (karhulta) di Jakarta awal tahun 2020. Terjadi kembali bencana banjir di tiga Provinsi: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang menelan ratusan nyawa serta kerugian yang besar, menimbulkan sebuah pertanyaan: bagiaman agama islam memandang bencana-bencana ini? Al-Qur’an sebagai pedoman umat islam memberikan perspektif yang menarik melalui QS. Ar-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Kata kunci dalam ayat ini adalah “الفساد” (al-fasād) yang berarti kerusakan. Penelitian ini akan menganalisis bagaimana pemaknaan kata “kerusakan” ini berevolusi dari penafsiran ulama klasik seperti Ibnu Katsir (w. 774 H) hingga ulama kontemporer seperti Prof. Dr. Quraish Shihab, serta relevansinya dalam memahami bencana yang terjadi di Indonesia.
Penafsiran Ibnu Katsir: Kerusakan sebagai dosa dan maksiat
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembli (ke jalan yang benar)” Ibnu Katsir dalam tafsirnya “Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim” memaknai kata “kerusakan” dalam QS. Ar-Rum: 41 secara dominan sebagai kerusakan moral dan akhlak.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Ar-Rum: 41)
Beliau menafsirkan bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Ibnu Katsir mengutip riwayat-riwayat yang berhubungan antara dosa dan bencana. Yaitu dengan berkurangnya hasil tanam-tanaman dan buah-buahan karena banyak perbuatan maksiat yang dikerjakan oleh para penghuniya. Abu Aliyah mengatakan barang siapa yang berbuat durhaka kepada Allah di bumi, berarti dia telat berbuat kerusakan di bumi, karrena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan.
Jadi, dapat dipahami bahwa kerusakan yang terjadi dibumi, selain karena bencana alam, juga dipicu oleh perbuatan manusia yang menyebabkan Allah murka dan mendatangkan azab kepada mereka sebagai peringatan atau bentuk hukuman agar manusia kembali ke jalan yang benar (bertaubat).
Secara tegas Al-Qur’an melarang unuk berbuat kerusakan di bumi dalam Q.S Al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Penafsiran Quraish Shihab: Kerusakan moral dan lingkungan
Quraish Shihab dalam “Tafsir al-Misbah” memperluas makna “kerusakan” melampaui dimensi moral semata. Beliau menerangkan bahwa kata “al-fasād” dalam ayat tersebut mengatakan bencana alam yang terjadi di muka bumi juga tidak terlepas dari perilaku manusia yang merusak lingkungan. Quraish shihab menegaskan bahwa ketika manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan, mengubah tata guna lahan tanpa memperhatikan keseimbangan alam, atau mencemari sungai dan laut dengan limbah, maka mereka telat menciptakan “kerusakan di darat dan di laut” yang pada akhirnya berbalik menimpa mereka sendiri.
Penafsiran Quraish Shihab ini sangat relevan dengan konteks Indonesia. Bencana yang terjadi di Sumatera, misalnya pakar Universita Gadjah Mada (UGM) sekaligus mantan kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengungkapkan sejumlah penyebab banjir bandang maupun tanah longsor yang terjadi di akibatkan: Struktur Geologi dan Geomorfologi (bebatuan dalam kondisi retak), perubahan Iklim perbesar dampak banjir (hujan ekstrem), adanya anomali siklon tropis, hutan hilang, Ekologis rusak. Artinya solusi yang mengemukakan penafsirab ini tidak hanya dari Individu, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama mengubah sistem yang ada.
Analisis komparatif dan relevansi dengan bencana Indonesia
Perbandingan kedua tafsir ini menunjukkan evolusi proses penafsiran yang signifikan. Ibnu Katsir menekankan sebab akhir dari bencana, yaitu dosa sebagai pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Sementara Quraish Shihab mengidentifikasi sebab dari bencana yaitu tindakan fisik merusak lingkungan yang mengganggu keseimbangan alam. Kedua perspektif ini tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, tampak terlihat perkembangan dari proses penafsiran dari dua ulama (klasik dan kontemporer). Ibnu Katsir: Dosa, Maksiat, Keserakahan, Azab, Quraish Shihab: dapat diungkapkan eksploitasi yang secara berlebihan sehingga mengabaikan dampak buruk yang akan menjadi boomerang kepada manusia sendiri.
Baca juga: Dari Kacamata Al Mannar: Memahami Poligami dengan Lensa Hermeneutika
Relevansi penafsiran kontemporer Shihab menjadi sangat nyata dalam konteks mitigasi bencana di Indonesia. Pendekatan yang hanya melihat bencana sebagai “ujian” atau “hukuman” dapat menjerumuskan fatalisme penerimaan pasif (kepercayaan terhadap sebuah peristiwa atau nasibnya sendir) tanpa upaya perbaikan. Sebaliknya, pemahaman bahwa bencana juga merupakan konsekuensi ekologis membuka ruang bagi aksi kolektif dan responsibilitas. Umat Islam diajak tidak hanya berdoa meminta keselamatan, tetapi juga terlibat aktif dalam aksi penghijauan, pengelolaan sampah, advokasi kebijakan lingkungan, dan pendidikan ekologi. Ayat ini, dengan penafsiran yang kontekstual, dapat menjadi landasan teologis bagi gerakan Islam ekologis di Indonesia.
Studi komparatif terhadap tafsir Ibnu Katsir dan Quraish Shihab atas QS. Ar-Rum: 41 mengungkapkan perkembangan pemaknaan kata “kerusakan” (al-fasād) dari yang semula dominan moral-spiritual menuju inklusi dimensi ekologis-struktural. Perkembangan dari cara penafsiran ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa ilmu tafsir dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan sain dan masalah zaman. Artinya, ketika terjadi bencana itu bukan sekedar teguran dari Tuhan, tetapi juga adanya aksi, manusia harus menjaga keseimbangan terhadap hubungan dengan Allah maupun dengan alam sekitar. Dengan cara pandang yang seperti ini, Al-Qur’an tetap relevan dan praktis untuk menjawab masalah yang terjadi masa kini.
Penulis: Zahra Ghina Gamal, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













