Milenianews.com, Mata Akademisi – Manusia adalah makhluk yang unik dengan jalan hidup, karakter, dan dunia batin yang berbeda-beda. Semboyan Indonesia Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, awalnya digunakan untuk menggambarkan keberagaman suku, budaya, dan agama. Namun, makna semboyan ini juga dapat diperluas ke ranah kepribadian dan psikologis manusia.
Setiap individu menampilkan sikap lahiriah yang berbeda—ada yang berbicara keras, lembut, pendiam, atau penuh canda—namun di balik itu sering tersembunyi perasaan, luka, harapan, dan pergulatan batin yang tidak selalu tampak. Di sinilah ontologi dan psikologi saling berjumpa untuk memahami manusia bukan hanya sebagai tubuh yang bergerak, tetapi sebagai makhluk yang ada, merasa, dan memiliki lapisan lahiriah serta batiniah.
Baca juga: Rayakan Keberagaman, Jaga Persatuan: Pesan Kemerdekaan untuk Zaman Kini
Memahami manusia secara ontologis berarti melihatnya sebagai makhluk yang memiliki dua dimensi utama: dimensi lahiriah berupa tubuh dan dimensi batiniah berupa jiwa. Ontologi sebagai cabang filsafat mempertanyakan hakikat keberadaan, sedangkan psikologi berfokus pada cara kerja jiwa melalui pikiran, perasaan, emosi, kesadaran, dan perilaku. Oleh karena itu, perasaan seperti senang, sedih, cemas, dan marah bukan sekadar perubahan suasana hati yang sementara, melainkan bagian dari hakikat manusia sebagai makhluk sadar yang mengalami hidup secara mendalam.
Dengan kata lain, ontologi bertanya, “Apa sebenarnya manusia itu?”, sementara psikologi menjawab, “Bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak?”. Cara seseorang merespons tekanan dan tantangan hidup menunjukkan kompleksitas tersebut. Ada yang memilih diam dan memendam perasaan, ada yang menyalurkannya dengan bercerita, dan ada pula yang tampak kuat di luar meski rapuh di dalam. Semua respons ini mencerminkan dinamika batin yang menjadi kajian psikologi sekaligus penegasan ontologis tentang manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan pengalaman subjektif.
Dinamika Psikologis dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena ini dapat dengan mudah kita temui. Kecemasan sebelum presentasi, misalnya, bukan hanya rasa takut melakukan kesalahan, tetapi juga kesadaran akan penilaian orang lain. Rasa iri ketika melihat keberhasilan orang lain di media sosial menunjukkan kebutuhan manusia untuk diakui dan merasa berarti. Psikologi menjelaskan proses mental dan emosional yang melatarbelakangi perasaan tersebut, sementara ontologi mengingatkan bahwa semua dinamika ini muncul secara alamiah karena manusia adalah makhluk yang hidup, merasakan, berkembang, dan terus mencari makna.
Ontologi juga menjadi dasar penting bagi psikologi. Ia membantu membedakan antara perilaku yang tampak secara kasat mata—seperti tertawa dan menangis—dengan proses batin yang tidak tampak, seperti pikiran, kecemasan, dan keyakinan. Kedua aspek ini sama-sama diamati dan dianalisis untuk membangun pemahaman ilmiah tentang manusia.
Di era modern, isu kesehatan mental semakin mendapat perhatian. Gangguan seperti kecemasan, stres, dan depresi sering kali menghambat aktivitas dan kualitas hidup seseorang. Kesehatan mental tidak berarti hidup tanpa masalah, melainkan kemampuan untuk berkembang secara optimal—baik secara fisik, intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Psikologi berperan membantu individu mengenali dan mengelola kondisi mentalnya, sementara ontologi menyediakan ruang refleksi yang lebih dalam melalui pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti, “Untuk apa aku ada?” dan “Apa makna hidupku?”.
Perjumpaan ontologi dan psikologi menjadi semakin jelas dalam pemikiran eksistensialisme. Heidegger, misalnya, memandang manusia sebagai makhluk yang ada-di-dunia, selalu berada dalam relasi dengan orang lain, situasi hidup, masa lalu, dan harapan masa depan. Psikologi eksistensial mengadopsi pandangan ini untuk memahami kecemasan, kehampaan, dan konflik batin bukan sebagai kelemahan semata, melainkan sebagai bagian dari proses pencarian makna hidup. Kebebasan memilih dan tanggung jawab atas pilihan tersebut menjadi inti dari pandangan ini—manusia bebas menentukan sikap, tetapi juga harus siap menanggung konsekuensi dari pilihannya.
Baca juga: Filsafat Ilmu dan Tantangan Kemanusiaan di Era Kecerdasan Buatan
Bhinneka Tunggal Ika dalam Dunia Batin Manusia
Dalam konteks ini, nilai Bhinneka Tunggal Ika kembali menemukan relevansinya. Walaupun cara manusia mengekspresikan perasaan dan menghadapi pergulatan hidup berbeda-beda, pada dasarnya manusia tetap satu dalam esensinya sebagai makhluk yang merasakan, berpikir, dan mencari makna.
Dengan memahami manusia melalui kacamata ontologi dan psikologi, kita belajar untuk tidak mudah menghakimi orang lain hanya dari tampilan luar. Kita diajak untuk mengapresiasi perjuangan batin setiap individu dan menyadari bahwa emosi, kelemahan, serta kebutuhan akan pemahaman adalah bagian alami dari eksistensi manusia. Ontologi dan psikologi bersama-sama menjadi landasan penting untuk membantu manusia hidup lebih bermakna, merawat kesehatan mental, dan tumbuh sebagai pribadi yang utuh.
Pemahaman ini juga mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar “mesin produktivitas”, melainkan makhluk yang memiliki dunia batin yang kaya. Dengan kesadaran tersebut, manusia dapat menjalani kehidupan tidak hanya sekadar bertahan hidup, tetapi benar-benar hadir—untuk dirinya sendiri, orang lain, dan makna hidup yang perlahan ia susun sepanjang perjalanan eksistensinya.
Penulis: Nayla Putri Amelia, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













