Pengembangan Fiqh Sosial: Ijtihad Tathbiqi K.H. Sahal Mahfudh dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pengelolaan Zakat Produktif

Pengembangan Fiqh Sosial

Milenianews.com, Mata Akademisi – Penerapan prinsip maqasid syari’ah melalui pengelolaan zakat yang efektif dan lembaga profesional merupakan pondasi penting untuk memajukan ekonomi masyarakat. Pendekatan ini menekankan penanganan akar penyebab kemiskinan dengan pengembangan kapasitas dan penyediaan modal usaha. Ijtihad tathbiqi yang dikembangkan K.H. Sahal Mahfudh merefleksikan penerapan fiqh klasik dalam konteks sosial nyata, sehingga hukum Islam dapat dilaksanakan secara syar’i sekaligus responsif terhadap realitas masyarakat. Apa itu ijtihad tathbiqi?

Baca juga: Triangulasi Penyelamatan: Membaca Isyarat Banjir Sumatera melalui Data, Dalil, dan Dzikir

Ijtihad tathbiqi didefinisikan sebagai penerapan hasil istinbath ulama pendahulu pada kasus baru melalui tahqiq al-manat (verifikasi illat), berfokus pada nilai Islam seperti keadilan, kesetaraan, HAM, dan relasi muslim-nonmuslim. Berbeda dari ijtihad istinbathi yang tekstual, tathbiqi bersifat aplikatif dan kondisional, menggunakan pendekatan sosio-historis untuk menjembatani kitab kuning dengan realitas modern, serta mengubah pola bermazhab dari qauli ke manhaji. Konstruksinya menekankan kemaslahatan umum sebagai manifestasi maqasid syariah, memastikan fiqh relevan kedepannya bagi masyarakat dinamis Indonesia.

K.H. M.A. Sahal Mahfudh, yang lahir pada 17 Desember 1937 di Kajen, Pati, dari lingkungan ulama dengan nasab hingga Syekh Ahmad Mutamakkin, turut membentuk perspektif fiqhnya. Beliau kehilangan orang tua di masa kecil dan tumbuh dalam kemiskinan struktural di Kajen, sebuah komunitas tanpa basis agraria berkontribusi pada pembentukan karakter dan kepekaan sosialnya. Perjalanan intelektualnya dimulai melalui pendidikan di berbagai pesantren seperti Maslakul Huda, Bendo Pare, Sarang Rembang, serta di Mekkah di bawah bimbingan Syekh Yasin al-Fadany, yang kemudian dilanjutkan dengan peran strategis sebagai pengasuh pesantren, Ketua MUI (2000-2014), dan Rais Aam PBNU (1999-2014).

Mengenai ijtihad tathbiqi, K.H. M.A. Sahal Mahfudh merepresentasikan sebuah pendekatan kontekstual dalam fiqh sosial yang mengintegrasikan prinsip kemaslahatan, keadilan sosial, dan pemberdayaan ekonomi sebagai respons terhadap dinamika masyarakat Indonesia. Pendekatan ini mengaplikasikan hasil ijtihad istinbathi dalam menyelesaikan kasus-kasus empiris baru, seperti optimalisasi zakat produktif melalui lembaga profesional yang disertai monitoring berkelanjutan. Konstruksi ijtihadnya bertumpu pada maslahah mursalah sebagai prinsip universal dengan prioritas memelihara jiwa (hifzh an-nafs), menghindari kemudaratan (dar’u al-mafasid), dan menyelaraskan tujuan-tujuan syariah (maqashid asy-syari’ah).

Dalam pandangan normatif K.H. Sahal Mahfudh, yang menguasai kedua lapisan hukum islam, baik fiqh praktis (furu’) maupun teori hukumnya (ushul fiqh), fiqh sosial yang ideal harus mencakup dimensi muamalah, munakahat, dan jinayat secara proporsional di samping ibadah mahdhah, sehingga mampu mengatur kehidupan secara kaffah. Hukum Islam dituntut fleksibel melalui mekanisme ijtihad tathbiqi untuk merealisasikan kemaslahatan di tengah transformasi sosial, teknologi, dan ekonomi, di mana seorang mujtahid harus peka terhadap realitas tanpa mengabaikan otoritas nash. Pendekatan sosial historical diperlukan untuk menjembatani otentisitas teks klasik dengan konteks modern, menghindari jebakan tradisionalisme yang sempit dan skripturalisme yang kolot.

Secara empiris, praktik fiqh di Indonesia cenderung terbatas pada persoalan ibadah mahdhah, sementara para fuqaha menunjukkan kelemahan dalam aspek manajerial pemberdayaan ekonomi umat akibat pemahaman yang tekstual dan absennya program sistematis. Pada level komunitas, seperti di Kajen, kemiskinan struktural diperkuat oleh internalisasi doktrin tasawuf yang memaknai kemiskinan sebagai takdir. Dominannya kelompok normatif yang menerapkan teks secara harfiah tanpa penalaran kritis, serta belum masifnya pendekatan kultural seperti fiqh sosial, memperlihatkan kesenjangan antara teori dan praktik.

K.H. Sahal Mahfudh sebagai pembaharu tradisionalis yang mengembangkan fiqh kontekstual berbasis maslahah, sebagaimana tergambar dalam karya Nuansa Fiqh Sosial. Abdul Moqsith Ghazali (2016) menyoroti penguasaannya yang mendalam pada ilmu fiqh (furu’) dan teori hukum Islam (ushul fiqh), sementara Mahsun (2015) mencatat perannya sebagai pelopor bersama K.H. Ali Yafie. Jamal Mamur Asmani (2014) telah mengelaborasi lima ciri fiqh sosialnya, namun analisis terhadap aplikasi metodologis ijtihad tathbiqi dalam konteks pemberdayaan ekonomi masih terbatas. Kesenjangan dalam hal ini terletak pada belum adanya kajian mendalam yang membedah konstruksi metodologis ijtihad tathbiqi K.H. Sahal Mahfudh sebagai sebuah model pengembangan fiqh Indonesia.

Baca juga: Menguatkan Akuntabilitas BAZNAS agar Amanah Zakat Tidak Rapuh di Era Digital

Karakter masyarakat Indonesia yang dinamis memerlukan penafsiran yang praktis untuk menerapkan produk hukum ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat memperkaya kekayaan fiqh moderat dan meningkatkan kaitannya dengan masalah-masalah terkini. Penulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan model penafsiran K.H. Sahal Mahfudh dalam konteks penguatan ekonomi masyarakat, menganilisis latar belakang sosial dan sejarah yang memengaruhinya, serta memeriksa relevansinya bagi pembaruan fiqh di Indonesia. Penerapan nyata dapat dilihat pada pendirian Badan Pelaksana Pengelolaan Keuangan pada tahun 1979, yang mengembangkan sistem dana bergulir, kelompok swadaya masyarakat serta berdirinya BPR Artha Huda dengan cara menggabungkan pelatihan, pengawasan dan instrument zakat produktif untuk membangun kemandirian ekonomi yang berbasis pada ketakwaan.

Ijtihad tathbiqi K.H. Sahal Mahfudh telah melahirkan fiqh sosial yang berkontribusi pada masa depan fiqh Indonesia, diwujudkan melalui kelembagaan seperti BPPK, serta respons institusi seperti MUI, DSN-MUI, dan NU terhadap gagasan-gagasan pemberdayaannya. Beberapa saran yang diajukan mencakup pengembangan metodologi ijtihadnya yang bersifat praktis-metodologis di lingkungan pesantren, verifikasi terhadap kategori ajaran pokok dan cabang, serta reinterpretasi kitab kuning secara kontekstual agar responsif terhadap tantangan global. Pendekatan ini memastikan fiqh tetap relevan secara metodologis dan berorientasi pada masa depan.

Penulis: Zienatun Mufidah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *