Milenianews.com, Mata Akademisi – Otak manusia merupakan organ yang sangat kompleks dan terus berkembang sejak dalam kandungan hingga dewasa. Perkembangan ini tidak terjadi secara otomatis, tetapi dipengaruhi oleh pengalaman, lingkungan, dan stimulasi yang diterima setiap hari. Dalam ilmu neurosains, proses perkembangan ini dikenal sebagai neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk membentuk dan menguatkan sambungan antar sel saraf atau neuron.
Ketika anak belajar merangkak, berbicara, mengenali warna, atau berinteraksi dengan orang di sekitarnya, jutaan sinyal listrik bergerak di dalam otaknya. Sambungan yang sering digunakan akan semakin kuat, seperti jalan kecil yang perlahan berubah menjadi jalan raya. Sebaliknya, sambungan yang jarang digunakan akan melemah dan terhapus secara alami. Oleh karena itu, tahun-tahun pertama kehidupan disebut sebagai masa emas, ketika otak membangun fondasi yang sangat menentukan kecerdasan, emosi, dan perilaku anak di masa depan.
Pada masa ini, otak anak sangat membutuhkan pengalaman langsung, seperti menyentuh benda, melihat ekspresi wajah, bermain, dan berbicara dengan orang lain. Pengalaman-pengalaman tersebut mengaktifkan berbagai bagian otak, mulai dari area bahasa, motorik, hingga pusat emosi. Namun, perkembangan otak tidak hanya berlangsung dari dalam, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan modern yang kini akrab dengan teknologi dan media sosial. Perubahan gaya hidup digital membawa dampak besar terhadap cara otak menerima dan memproses informasi. Hal ini tentu memberikan tantangan tersendiri, terutama bagi anak dan remaja yang otaknya masih dalam tahap perkembangan.
Baca juga: Moralitas Ditengah Arus Informasi
Media sosial pada dasarnya dirancang untuk menarik perhatian otak. Setiap kali seseorang melihat sesuatu yang menyenangkan, seperti video lucu, gambar menarik, atau mendapatkan “like”, otak melepaskan senyawa kimia bernama dopamin yang membuat seseorang merasa bahagia dan ingin menonton lebih banyak. Jika hal ini terjadi terus-menerus, otak akan terbiasa mencari kesenangan instan.
Pada orang dewasa, sistem kontrol diri di otak sudah lebih matang sehingga mereka lebih mampu mengatur dorongan tersebut. Namun, pada anak dan remaja, bagian otak yang bertanggung jawab untuk berpikir panjang, mengontrol impuls, dan membuat keputusan—yaitu lobus prefrontal—belum berkembang sempurna. Akibatnya, media sosial dapat memengaruhi fokus, emosi, dan perilaku mereka lebih kuat dibandingkan orang dewasa.
Dampak media sosial pada otak dapat terlihat dari perubahan pola perhatian. Anak yang sering terpapar layar cenderung memiliki rentang fokus yang lebih pendek karena otak terbiasa dengan rangsangan cepat dari gerakan scroll, warna terang, dan suara yang terus berganti. Selain itu, media sosial dapat mengaktifkan pusat emosi di otak secara berlebihan, terutama jika anak melihat konten yang tidak sesuai usia, membandingkan diri dengan orang lain, atau mengalami tekanan sosial daring.
Ketika sistem emosi terlalu aktif sementara sistem kontrol diri belum matang, anak menjadi lebih mudah stres, impulsif, dan sulit mengatur perasaan. Inilah sebabnya penggunaan gawai tidak hanya memengaruhi kecerdasan, tetapi juga perkembangan sosial dan emosional.
Untuk memahami kondisi ini lebih jelas, penting melihat bagaimana otak anak usia dini bekerja. Pada masa 0–5 tahun, otak tumbuh sangat cepat dan membentuk sambungan saraf dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan masa remaja atau dewasa. Namun, otak anak belum mampu membedakan dunia nyata dan dunia digital sepenuhnya. Ketika anak menatap layar terlalu lama, otak menerima stimulasi visual yang kuat, tetapi tidak mendapatkan pengalaman sensorik nyata seperti menyentuh, berlari, atau melihat ekspresi wajah orang lain.
Peningkatan penggunaan gawai pada anak usia sekolah dasar kini menjadi fenomena yang sangat umum. Banyak anak setiap hari menghabiskan waktu berjam-jam bermain gim digital, menonton video, atau menggunakan media sosial anak tanpa pengawasan. Kondisi ini berdampak signifikan terhadap perkembangan otak dan perilaku mereka. Beberapa jalur otak berkembang secara tidak seimbang: jalur visual digital menjadi sangat kuat, sementara jalur motorik, sosial, dan bahasa tidak berkembang secara optimal. Akibatnya, sebagian anak mengalami keterlambatan bicara, kesulitan fokus, atau kematangan emosi yang lebih lambat.
Perkembangan otak manusia yang dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan sebagaimana dijelaskan dalam filsafat pengetahuan dan filsafat kebenaran. Dalam teori kebenaran pragmatis, sesuatu dianggap “benar” jika memberikan manfaat, kepuasan, atau hasil yang dianggap berguna bagi individu. Dalam konteks media sosial, anak dan remaja yang otaknya masih berkembang cenderung menganggap informasi atau konten yang menyenangkan—seperti video pendek dan gambar menarik—sebagai sesuatu yang bernilai.
Namun, lingkungan digital dan media sosial mengubah cara anak memperoleh dan memproses informasi secara instan, sehingga mereka cenderung mencari kesenangan cepat tanpa proses verifikasi. Akibatnya, kemampuan untuk memilah antara fakta dan opini menjadi lemah.
Untuk menjaga agar otak anak berkembang secara sehat di era digital, beberapa solusi dapat diterapkan. Pada usia di bawah 5 tahun, sebaiknya pemakaian handphone dihindari dan diganti dengan permainan yang bersumber pada pengetahuan, seperti mainan huruf hijaiyah dan sejenisnya. Idealnya, layar dihindari sama sekali karena otak anak membutuhkan pengalaman nyata.
Pada usia di atas 5 tahun, penggunaan layar sebaiknya dibatasi maksimal satu jam per hari dengan pendampingan orang tua, agar anak tidak hanya menatap layar, tetapi juga memahami isi konten. Waktu layar perlu digantikan dengan kegiatan yang membangun otak, seperti membaca buku, bermain balok, menggambar, bermain di luar, atau berbicara dengan orang tua. Kegiatan-kegiatan ini mengaktifkan banyak bagian otak sekaligus, mulai dari motorik, bahasa, hingga emosi.
Interaksi emosional juga harus diperbanyak. Kontak mata, pelukan, bermain bersama, atau bercerita dapat memperkuat jalur otak sosial dan membuat anak merasa aman. Rasa aman merupakan dasar penting agar otak dapat belajar secara optimal. Selain itu, anak perlu mendapatkan tidur yang cukup karena tidur adalah waktu ketika otak memperbaiki sambungan saraf dan memindahkan informasi dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Penggunaan gawai sebaiknya dihentikan satu hingga dua jam sebelum tidur agar hormon melatonin tidak terganggu oleh cahaya layar.
Baca juga: Memahami Konsep Dalil dalam Hukum Islam
Selain untuk anak, orang tua juga dapat menggunakan “bahasa otak” agar anak memahami alasan pembatasan gawai. Contohnya, “Otak kamu butuh istirahat supaya bisa berpikir lebih cepat”, “Kalau kamu bermain di luar, otakmu membuat jalur baru supaya kamu makin pintar” atau “Kalau kamu melihat layar terlalu lama, otak jadi cepat lelah dan sulit fokus.” Kalimat-kalimat ini membantu anak memahami batasan bukan sebagai larangan semata, tetapi sebagai upaya menjaga kesehatan otaknya.
Dengan memahami cara otak berkembang dan bagaimana media sosial memengaruhinya, orang tua dan pendidik dapat menciptakan lingkungan yang seimbang antara teknologi dan aktivitas nyata. Tujuannya bukan melarang teknologi, melainkan menggunakannya secara bijak agar perkembangan otak tetap optimal. Melalui stimulasi yang tepat, interaksi sosial yang hangat, dan pengawasan penggunaan gawai, anak dapat tumbuh dengan kecerdasan yang seimbang, emosi yang sehat, serta kemampuan berpikir yang kuat untuk menghadapi dunia modern.
Penulis: Dina Fitria Ramadhani, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







