Mata Akademisi, Milenianews.com – Ilmu kalam merupakan cabang ilmu dalam Islam yang membahas persoalan-persoalan teologis, termasuk masalah qadha dan qadar, yaitu takdir dan kehendak Tuhan terhadap makhluk-Nya. Dalam sejarah pemikiran Islam, muncul berbagai aliran yang memiliki pandangan berbeda mengenai hubungan antara kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Dua di antara aliran teologi Sunni yang paling berpengaruh adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua aliran ini sama-sama mempertahankan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, namun memiliki perbedaan mendasar dalam menyikapi masalah kehendak bebas dan takdir ilahi.
Tulisan ini bertujuan untuk membandingkan pandangan teologis keduanya terhadap masalah qadha dan qadar, serta meninjau relevansinya dalam konteks kehidupan modern.
Baca juga: Integrasi dan Relevansi Ilmu Kalam dalam Menyikapi Kompleksitas Dunia Modern
Aliran Asy’ariyah didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, yang sebelumnya merupakan pengikut Mu’tazilah sebelum akhirnya beralih dan membela akidah Sunni. Asy’ariyah memegang teguh prinsip kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu. Menurut mereka, seluruh peristiwa, termasuk perbuatan manusia, adalah ciptaan Allah. Manusia hanya menjadi tempat “terjadinya” perbuatan tersebut. Pandangan ini dikenal dengan teori kasb (perolehan), yang menyatakan bahwa manusia tidak menciptakan perbuatannya, tetapi memperoleh atau “mengambil” perbuatan yang telah diciptakan oleh Allah.
Dalam pandangan ini, Allah menciptakan kemampuan dan kehendak manusia bersamaan dengan perbuatannya. Dengan demikian, tanggung jawab manusia tetap diakui karena adanya hubungan antara kehendak dan perbuatan, meskipun hakikatnya Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Konsep ini dimaksudkan untuk menjaga dua hal sekaligus: keadilan Tuhan dan kekuasaan-Nya yang mutlak.
Berbeda dengan Asy’ariyah, aliran Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi memberikan ruang yang lebih luas bagi rasionalitas dan kebebasan manusia. Maturidiyah berpandangan bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang nyata. Manusia tidak hanya sekadar “menerima” perbuatan, tetapi benar-benar memilih dan melakukan perbuatannya berdasarkan akal dan kemampuan yang telah diberikan Allah.
Menurut Maturidiyah, Allah memang menciptakan hukum-hukum alam dan memberikan potensi kepada manusia, namun manusia bertanggung jawab secara penuh atas tindakannya. Dalam hal ini, qadha dan qadar tidak meniadakan ikhtiar manusia. Konsep ini menunjukkan keseimbangan antara kekuasaan Tuhan dan tanggung jawab moral manusia, serta mencerminkan pendekatan yang lebih rasional dalam memahami keadilan ilahi.
Perbandingan Teologis dan Peran Manusia dalam Takdir
Secara prinsip, perbedaan utama antara Asy’ariyah dan Maturidiyah terletak pada sejauh mana manusia dianggap berperan dalam menciptakan perbuatannya:
Asy’ariyah menekankan determinisme ilahi. Tuhan adalah pencipta mutlak seluruh perbuatan. Manusia tidak menciptakan, hanya memperoleh (kasb).
Maturidiyah memberikan tempat bagi kehendak dan pilihan manusia. Tuhan menciptakan potensi, tetapi manusialah yang menentukan tindakannya.
Walaupun berbeda, kedua aliran ini tetap bersepakat bahwa tidak ada sesuatu pun yang berada di luar pengetahuan dan kehendak Allah. Namun, cara mereka menjelaskan keterlibatan manusia dalam sistem ketuhanan menunjukkan perbedaan epistemologis: Asy’ariyah lebih mengandalkan wahyu dan teks, sementara Maturidiyah memberikan peran lebih kepada akal.
Isu takdir dan kebebasan manusia tetap menjadi pembahasan penting hingga kini, terutama dalam konteks keadilan sosial, tanggung jawab individu, dan etika. Pandangan Asy’ariyah mengajarkan manusia untuk berserah dan menyadari keterbatasan, sehingga memperkuat kesadaran spiritual. Sementara itu, pandangan Maturidiyah lebih relevan dengan semangat zaman yang menuntut kebebasan berpikir, tanggung jawab individu, dan rasionalitas.
Keseimbangan antara kedua pendekatan sangat penting dalam kehidupan modern. Dalam membangun masyarakat, dibutuhkan keyakinan kepada ketetapan Allah sekaligus semangat untuk berikhtiar. Terlalu menekankan pada takdir bisa melahirkan fatalisme, sedangkan mengabaikan takdir bisa membuat manusia sombong atas kemampuannya. Maka dari itu, sinergi antara tawakal dan usaha adalah jalan tengah yang ideal.
Baca juga: Ilmu Kalam di Pusaran Pluralisme dan Liberalisme Global
Perbandingan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam memahami qadha dan qadar memperlihatkan dinamika pemikiran dalam tradisi teologi Islam. Asy’ariyah menekankan kemahakuasaan Allah secara absolut, sementara Maturidiyah menekankan keseimbangan antara kehendak Tuhan dan kebebasan manusia.
Kedua pandangan ini saling melengkapi dalam menjawab pertanyaan besar tentang takdir, keadilan, dan tanggung jawab manusia. Dalam konteks kekinian, pandangan Maturidiyah cenderung lebih diterima karena mengedepankan rasionalitas, tetapi nilai-nilai spiritualitas Asy’ariyah tetap diperlakukan sebagai landasan keimanan. Oleh karena itu, kajian teologis semacam ini perlu terus dikembangkan agar mampu menjawab persoalan-persoalan umat di era modern tanpa kehilangan ruh Islam yang sejati.
Penulis: Saepullah, Dosen serta Rihadatul Aisy Qothrun Nada AF, dan Maharani Taufan Putri, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













