Objektivitas Ilmiah di Era Krisis: Dari Cermin Datar Menuju Kompas Etis

Objektivitas Ilmiah

Milenianews.com, Mata Akademisi – Objektivitas ilmiah sering dibayangkan seperti cermin datar: diam, bening, dan memantulkan realitas apa adanya, tanpa sedikit pun goresan nilai atau kepentingan. Gambaran ini tampak meyakinkan, tetapi di tengah krisis iklim, polarisasi politik, dan ledakan kecerdasan buatan, metafora cermin justru terasa usang. Sains hari ini bukan lagi sekadar soal “melihat” dunia, melainkan ikut menentukan ke mana dunia bergerak. Dalam konteks ini objektivitas perlu ditafsir ulang bukan sebagai cermin yang dingin, melainkan sebagai kompas etis yang bekerja di tengah arus nilai, konflik kepentingan, dan tuntutan kemanusiaan.

Di balik narasi “sains bebas nilai”, selalu ada keputusan diam-diam: topik mana yang layak diteliti, risiko siapa yang boleh diambil, dan suara siapa yang diabaikan. Keputusan-keputusan itu tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari horizon budaya, struktur sosial, dan ideologi yang membentuk cara ilmuwan memandang dunia. Justru di titik ini objektivitas menjadi problematis sekaligus menarik. Jika sains tidak pernah netral, apakah berarti kita harus merelakan objektivitas runtuh, lalu menggantinya dengan relativisme? Atau justru sebaliknya: pengakuan bahwa sains sarat nilai menjadi pintu masuk untuk membangun objektivitas yang lebih jujur dan bertanggung jawab?

Baca juga: Dakwah Walisongo Dalam Mengislamkan Nusantara

Generasi awal filsafat ilmu modern berupaya keras memurnikan sains dari segala bentuk nilai. Objektivitas dipahami sebagai kemampuan memisahkan fakta dari penilaian; ilmuwan ideal digambarkan sebagai pengamat yang berdiri di luar realitas, tanpa sentuhan emosi dan kepentingan. Namun seiring berkembangnya kritik, gambaran ini terlihat lebih mirip mitos moral daripada deskripsi faktual. Pilihan metode, batas signifikansi statistik, bahkan cara menyajikan grafik bukanlah tindakan teknis murni, melainkan keputusan yang mengandung pertimbangan risiko dan kepentingan manusia tertentu.

Di sinilah pergeseran penting terjadi: objektivitas bukan lagi berarti “bebas nilai”, tetapi kemampuan untuk mengakui bahwa nilai selalu hadir, lalu menatanya secara reflektif. Alih-alih menyembunyikan bias di balik jargon teknis, ilmuwan dituntut berani mengatakan: “Saya berangkat dari nilai tertentu, dan inilah bagaimana nilai itu memengaruhi pertanyaan, metode, dan interpretasi saya.” Kejujuran epistemik semacam ini tidak melemahkan sains; justru ia mencegah penyalahgunaan otoritas ilmiah sebagai kedok ideologis.

Objektivitas yang reflektif tidak menuntut ilmuwan menjadi makhluk tanpa nilai, tetapi manusia yang sadar diri. Keberpihakan diakui sebagai titik tolak, bukan aib metodologis. Dengan cara itu, objektivitas bergeser dari klaim kemurnian menuju praktik keterbukaan: siapa berbic ara, dari posisi mana, dan untuk kepentingan siapa. Ketika pertanyaan-pertanyaan ini dijawab secara eksplisit, publik memiliki ruang untuk menilai sains, bukan sekadar tunduk pada frasa “menurut penelitian”.

Dalam dunia nyata, laboratorium tidak pernah benar-benar tertutup. Di luar dindingnya, ada perusahaan yang mendanai riset, pemerintah yang menunggu rekomendasi kebijakan, kelompok masyarakat yang merasa terdampak, dan komunitas korban yang sering tidak punya suara. Sains bukan hanya perangkat pengukur, melainkan simpul negosiasi antara berbagai horizon nilai. Di sinilah objektivitas ilmiah memperoleh dimensi politis yang sering diabaikan: setiap “fakta ilmiah” potensial menjadi dasar keputusan yang menguntungkan sebagian pihak dan merugikan pihak lain.

Mengakui dimensi ini tidak berarti menuduh semua ilmuwan sebagai alat kekuasaan, tetapi menyadari bahwa kebenaran ilmiah selalu lahir dari proses sosial. Peer review adalah bentuk negosiasi, bukan sekadar penyaringan teknis; standar metodologis dibentuk oleh komunitas dengan sejarah, tradisi, dan hirarki tertentu. Objektivitas tidak lagi cukup dipahami sebagai “kesesuaian antara teori dan fakta”, tetapi juga sebagai keadilan dalam siapa yang boleh mendefinisikan fakta dan menetapkan risikonya.

Karena itu, sains yang ingin objektif tidak cukup hanya kuat secara metodologis; ia juga harus transparan tentang jaringan kepentingan yang mengitarinya. Riset yang didanai industri, misalnya, memerlukan protokol keterbukaan yang lebih ketat, bukan karena penelitinya pasti curang, tetapi karena struktur insentifnya rentan memengaruhi apa yang dianggap sebagai “hasil yang dapat diterima”. Objektivitas di sini berarti mengatur mekanisme koreksi kolektif terhadap tekanan ekonomi dan politik, bukan berpura-pura tekanan itu tidak ada.

Selama ini rasionalitas ilmiah sering dibaca semata sebagai kemampuan menghitung, memprediksi, dan mengendalikan. Rasionalitas teknis ini penting, tetapi tidak cukup. Dunia dihadapkan pada persoalan yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan angka: keadilan distribusi vaksin, dampak sosial otomatisasi, atau pertanyaan tentang siapa yang paling berhak menentukan batas “normal” dalam praktik medis dan psikologis. Jika sains hanya menawarkan solusi teknis tanpa horizon emansipatoris, ia berisiko menjadi alat yang canggih tetapi buta arah.

Rasionalitas emansipatoris memandang pengetahuan bukan hanya sebagai alat menguasai alam, tetapi juga sebagai sarana membebaskan manusia dari dominasi: baik dominasi mitos, dominasi pasar, maupun dominasi politik yang menindas. Di sini objektivitas tidak berhenti pada “kebenaran korespondensial”, tetapi bergerak menuju pertanyaan: pengetahuan ini membebaskan siapa, dan menyingkirkan siapa? Dalam kacamata ini, teori yang sangat presisi sekalipun bisa dinilai problematis bila dipakai untuk memperkuat ketidakadilan struktural.

Pendekatan semacam ini menuntut ilmuwan melampaui kenyamanan zona laboratorium. Menghasilkan data yang rapi tidak lagi cukup; diperlukan keberanian untuk bertanya bagaimana data tersebut akan digunakan. Objektivitas, dalam pengertian ini, justru menolak sikap “saya hanya penyedia fakta, urusan moral bukan wilayah saya”. Memisahkan fakta dan nilai secara kaku justru membuka ruang bagi kekuasaan untuk memonopoli tafsir atas fakta itu sendiri.

Di tengah kompleksitas nilai, konteks, dan kekuasaan, objektivitas yang layak dipertahankan bukanlah objektivitas yang melarikan diri dari dunia, tetapi yang berani masuk ke dalamnya dengan kompas etis yang jelas. Objektivitas kontekstual dapat dipahami sebagai tiga hal yang saling terkait. Pertama, kesadaran posisi: ilmuwan mengakui bahwa ia selalu bekerja dari suatu titik pandang tertentu budaya, kelas, gender, ideologi, dan bahwa titik pandang itu memengaruhi pertanyaan yang diajukan maupun fakta yang dipandang relevan. Dengan kesadaran posisi, klaim ilmiah tidak dibungkus sebagai suara “manusia universal” yang abstrak  melainkan sebagai kontribusi yang dapat diuji dan dikoreksi dari perspektif lain.

Kedua, disiplin metodologis: pengakuan terhadap nilai tidak berarti melegalkan “apa saja boleh”. Justru sebaliknya, kesadaran akan risiko dan dampak sosial menuntut standar bukti, transparansi data, dan mekanisme kritik yang lebih ketat. Objektivitas tidak bertolak belakang dengan nilai; ia bertolak belakang dengan dogma yang menolak diuji. Di sini, nilai utama bukan “kemurnian”, tetapi keterbukaan terhadap koreksi dan perbaikan.

Ketiga, orientasi kemanusiaan: pengetahuan yang paling objektif bukan sekadar pengetahuan yang paling tepat secara teknis, tetapi juga yang paling jujur terhadap konsekuensi moralnya. Objektivitas yang menutup mata terhadap penderitaan manusia hanya akan melahirkan sains yang dingin dan mudah diperalat. Sebaliknya, objektivitas yang menyadari dirinya bagian dari perjuangan kemanusiaan akan mencari bentuk-bentuk rasionalitas yang tidak hanya menghitung, tetapi juga menimbang.

Kita hidup di zaman ketika slogan “percaya pada sains” sering berhadapan dengan kecurigaan dan teori konspirasi. Salah satu akar kegelisahan ini adalah ketidakjujuran lama: sains mengklaim diri netral, sementara publik merasakan bahwa keputusan ilmiah nyata-nyata menguntungkan sebagian dan merugikan sebagian yang lain. Menghidupkan kembali objektivitas ilmiah berarti berani membongkar mitos netralitas itu dan menggantinya dengan praktik reflektif yang mengakui nilai, memperlihatkan mekanisme koreksi, dan membuka ruang bagi suara yang selama ini tersingkir.

Baca juga: Kerangka Berpikir Ilmu Sosial Dalam Menganalisis Dampak Media Sosial

Dalam pengertian ini, ilmuwan ideal bukan lagi figur yang berdiri jauh dari masyarakat, melainkan aktor yang sadar bahwa setiap angka dan grafiknya beresonansi dalam kehidupan nyata. Tugasnya bukan sekadar memastikan bahwa prosedur di laboratorium benar, tetapi juga bahwa pengetahuannya tidak digunakan untuk mengukuhkan ketimpangan dan kekerasan. Objektivitas bukan pelarian dari dunia, tetapi cara paling jujur untuk terlibat di dalamnya.

Jika sains ingin tetap relevan di tengah krisis global, ia harus meninggalkan ambisi menjadi cermin tanpa wajah dan berani menjadi kompas yang berpihak pada kemanusiaan. Kompas bisa saja goyah sesekali, tetapi selama ia terus dikalibrasi melalui kritik, dialog, dan refleksi etis, ia akan selalu lebih berguna daripada cermin yang hanya memantulkan kenyataan tanpa pernah bertanya: ke arah mana kita seharusnya melangkah?

Penulis: Mudhiatul Huda, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *