Murji’ah dan Romansa Nalar: Tafsir Ulang atas Keimanan di Era Modern

Murjiah

Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam sejarah Islam, muncul beberapa aliran yang memiliki sudut pandang berbeda tentang iman dan amal. Salah satu yang paling terkenal adalah aliran Murji’ah. Murji’ah merupakan kelompok yang meyakini bahwa iman cukup hanya diyakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, tanpa harus disertai dengan amal perbuatan.

Kelompok Murji’ah meyakini bahwa iman cukup ditunjukkan melalui keyakinan dalam hati dan pernyataan lisan, tanpa harus dibuktikan dengan amal perbuatan. Bagi mereka, dosa besar tidak menggugurkan iman seseorang selama ia masih memiliki keyakinan dalam hatinya. Pandangan ini sering dianggap sebagai bentuk toleransi terhadap perilaku buruk, bahkan memisahkan antara amal dan iman. Meskipun awalnya muncul sebagai respons terhadap konflik politik dan keagamaan pada masa awal perkembangan Islam, pandangan Murji’ah hingga kini masih dikaitkan dengan fenomena umat Islam yang secara identitas mengaku beriman, namun sering kali abai dalam melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh.

Baca juga: Khawarij dan Murji’ah sebagai Cermin Polarisasi Teologis

Indonesia adalah negara yang mempunyai populasi Islam terbanyak di dunia. Memang benar, ketika dilihat berdasarkan data administrasi negara, pemeluk agama Islam menjadi mayoritas, bahkan hampir keseluruhan, namun, yang dipertanyakan dari banyaknya pemeluk agama Islam yang ada indonesia tersebut apakah benar-benar mantaati ajaran agama Islam sekaligus menjalankan ibadah dan amal yang sesuai syari’at.

Kita tidak dapat mengukur seberapa pondasi keimanan seseorang atau menilai perbuatan tanpa mengetahui niatnya. bisa jadi, yang kita anggap baik ternyata buruk, dan sebaliknya. Namun, jika ditelaah dari kehidupan di lingkungan sekitar, banyak penyelewengan terjadi pada aturan agama. seolah-olah agama tidak lagi menjadi hal yang penting dan terabaikan. dari situ timbul pertanyaan:  akankah islam masa kini benar-benar islam yang murni, ataukah hanyalah label bagi identitas nasional atau yang sering kita kenal dengan “islam KTP”?

Kerusakan moral harus dibetulkan oleh tokoh agama

Islam KTP adalah sebutan bagi orang-orang yang mengaku Islam dan beridentitas sebagai Muslim namun tidak menjalankan perintah agama. Hal ini banyak terjadi di negara kita. Katanya Islam tapi tidak sholat; katanya Islam tapi berbuat maksiat menjadi kebiasaan; katanya Islam tapi berjudi di warung pinggiran setiap hari. Sungguh miris. Ketika sudah begini, lalu siapa yang akan membenahi kerusakan moral agama kalau bukan tokoh atau pemuka agama? Setidaknya, mereka lebih memiliki kuasa untuk bersuara dibanding rakyat. Namun sangat disayangkan, sekali banyak pemuka agama, tokoh-tokoh dakwah yang justru menyalahgunakan kedudukannya untuk hal-hal yang salah.

Pada era modern ini, banyak sekali ditemukan kasus- kasus penyimpangan ajaran agama, yang bahkan pelakunya adalah orang-orang yang dianggap paham agama oleh masyarakat  luas. berdasarkan data kasus kekerasan seksual dilingkungan Pendidikan yang diadukan komnas Perempuan priode 2015-2020, pesantren menempati urutan ke-2 setelah perguruan tinggi. Pesantren dan Lembaga Pendidikan agama lambat laun dicitrakan sebagai tempat yang tidak lagi aman dan mulai dipandang negatif.

Ditengah gelombang perubahan global dan meningkatnya tensi keagamaan, istilah Islam “moderat” kian sering digaungkan. Banyak tokoh, institusi, bahkan negara berlomba-lomba menunjukkan wajah Islam yang ramah, terbuka, dan inklusif. Di Indonesia sendiri, semangat moderasi menjadi arus utama, terutama setelah diangkat sebagai bagian penting dalam narasi kebangsaan dan keislaman yang harmonis. Tapi satu pertanyaan muncul: apakah nilai-nilai seperti toleransi, tidak mudah menghakimi, dan mengedepankan kasih sayang hanyalah hasil adaptasi terhadap zaman modern? Ataukah nilai-nilai ini justru memiliki akar kuat dalam sejarah intelektual Islam?

Ketika membuka lembar-lembar sejarah Islam klasik, kita menemukan berbagai aliran pemikiran yang muncul akibat konflik politik, teologis, dan sosial. Salah satu yang menarik adalah Murji’ah, sebuah kelompok yang kerap disebut sebagai “penyeru kedamaian” di tengah konflik. Meski tidak sepopuler Mu’tazilah atau Khawarij dalam pelajaran umum, Murji’ah memiliki gagasan yang unik dan bisa jadi relevan bagi kita hari ini.

Murji’ah tampil dengan pandangan yang pada zamannya dianggap “lunak”. mereka percaya bahwa iman adalah urusan hati, dan amal perbuatan tidak menentukan status keimanan seseorang. Bahkan ketika seseorang melakukan dosa besar, Murji’ah tetap menyebutnya sebagai mukmin selama hatinya masih mengimani Tuhan. Di tengah suasana politik dan keagamaan yang saat itu penuh saling tuding dan saling kafir-mengkafirkan, Murji’ah memilih jalan yang berbeda: menangguhkan penghakiman, menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan fokus pada keimanan batiniah. Sebuah sikap yang jika dilihat dari kacamata sekarang, sekilas terlihat moderat.

Viral dan FOMO bikin ukuran iman jadi dangkal

Namun pengaruh pemikiran murjiah juga menimbulkan beberapa kebobrokan. Banyak orang awam yang menilai seseorang hanya dari tampilan luarnya saja. orang dianggap beriman bermodalkan pakaian atau outfit Islami seperti gamis, jubah atau sorban; berdakwah di media sosial demi kepentingan pribadi: banyak bermunculan ustadz-ustadz dan kyai-kyai yang belum jelas sanad keilmuannya tapi berani membuat konten perihal keagamaan dengan tujuan ingin viral atau terkenal, begitupula orang dianggap paham agama karena menyanyikan lagu-lagu religi atau lagu-lagu berbahasa arab yang dianggap setara dengan shalawat padahal jika dilihat dari makna lagu tersebut tidak lain adalah lagu bergenre romance. kenyataannya iman tidak bisa dilihat dari sekedar cover seseorang saja, mayoritas orang lebih suka mengikuti hal-hal yang viral (fomo), mereka cenderung lebih suka mengikuti yang viral atau “fomo” tanpa mengetahui hal tersebut fakta atau hanya sekedar rekayasa.

Banyak pula kasus kriminal yang dilakukan oleh para pemuka, seperti kekerasan seksual, yang dilakukan oleh mereka yang bersembunyi dibalik topeng kesucian agama. Orang yang awam megikutinya dengan senang hati, mengira apa yang mereka ikuti akan mendekatkan diri mereka pada jalan yang dekat dengan tuhan. Contoh kasus yang sempat viral pada tahun 2019 di ponpes Al-Minhaj, Dimana seorang kyai yang mencabuli 15 santriwati dengan menjanjikan mendapatkan “karomah” kepada santriwati tersebut. Kejadian seperti ini tidak bisa dibenarkan karena menyimpang dari ajaran syari’at Islam.

Permasalahan ini sangat dikhawatirkan oleh masyarakat Indonesia. Banyak orang secara terang-terangan meyatakan tidak ingin anaknya dimasukkan kedalam pesantren padahal tidak semua pesantren memiliki sisi gelap seperti yang terjadi pada kasus diatas. Perlakuan yang tidak bisa dibenarkan ini seharusnya dilenyapkan dari lingkungan pesantren, karena orang tua menitipkan anaknya dipesantren dengan niat untuk menjaga diri dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Dari kasus yang telah dirinci diatas dan kasus penyimpangan yang mulai dinormalisasi karena pengaruh pemikiran yang mengandung pernyataan doktrin murjiah yaitu amal perbuatan bukan bagian dari iman menjadi dalih melakukan perbuatan dosa seakan akan hanya sesuatu yang sepele, namun pandangan moderat ahlussunnah, amal perbuatan adalah bagian dari iman, tapi bukan penentu utama. Antara iman dan amal harus seimbang. Amal memperkuat iman, tetapi tidak beramal tidak otomatis membuat seseorang kafir. Iman bisa bertambah seseorang sesuai dengan amal dan ketaatan seseorang.

Adapun Solusi dari beberapa oknum penyimpangan agama dan penyalahgunaan kedudukan yaitu harus ada penegakan hukum secara tegas, Islam menjunjung tinggi keadilan. Pelaku harus diperoses hukum, karena Islam melarang  keras kezdaliman dan pelecehan. Tabayyun dan tansparansi juga perlu dilakukan dengan tidak menutupi kasus yang terjadi meskipun dalihnya menjaga nama baik pesantren karena aswaja mengajarkan menegakkan kebenaran, bukan menutup nutupi keburukan. Selain itu, Lembaga harus membangun sistem pengawasan, Pembina akhlak para pengajar dan memberi sarana aman bagi santri untuk melapor apabila terjadi hal-hal yang menyimpang.

Baca juga: Radikalisme dan Over Toleransi dalam Refleksi Pemikiran Khawarij dan Murji’ah di Masyarakat Islam Kontemporer

Literasi islam jadi tameng dari konten provokatif

Konten provokatif yang berbau agama namun  tidak mengandung sisi positif dan tidak berdasar pada ilmu pengetahuan bahkan hanya demi popularitas atau penghasilan, hendaknya ditanggapi dengan literasi keislaman dan konten-konten positif yang mengedukasi. Masyarakat perlu dididik agar mampu membedakan antara ulama yang benar-benar memiliki sanad keilmuan jelas dengan ulama yang hanya sekedar mengaku dirinya sebagai ulama tetapi tidak berilmu. Selain itu penting juga lembaga keulama’an seperti MUI, Nahdatul Ulama, dan lain sebagainya untuk membina generasi muda dan mengelola konten sosial media dengan baik agar tidak mudah terpengaruh oleh konten-konten negatif.

Untuk menghadapi penyimpangan agama seperti bid’ah yang sesat, takfiri, dan ekstremisme, Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) menawarkan solusi dengan mengedepankan pendekatan dakwah bil hikmah sebagaimana termaktub dalam QS. An-Nahl: 125, yaitu dengan cara yang lemah lembut, penuh hikmah, dan berbasis argumen ilmiah, bukan dengan cara marah-marah atau menghujat. Aswaja juga meneguhkan prinsip moderasi (wasathiyyah), yakni menolak paham ekstrem kanan yang radikal maupun ekstrem kiri yang liberal, dan senantiasa menjaga keseimbangan dalam memahami serta mengamalkan ajaran Islam. Selain itu, Aswaja mendorong dialog dan edukasi yang konstruktif untuk mengajak masyarakat kembali kepada pemahaman Islam yang rahmatan lil ‘alamin, penuh kasih sayang, dan toleran.

Penulis: Syarif Hidayatullah, Dosen serta Nurafifatul Adzkia-Naily El Safithah-Adhwa Syawalia Faizah Syafi’i, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *