Mata Akademisi, Milenianews.com – Di era digital ini, informasi bisa diakses dalam hitungan detik. Seharusnya, ini menjadi kesempatan emas bagi remaja untuk meningkatkan literasi mereka. Namun, kenyataan berkata lain: minat baca justru makin menurun. Buku kalah telak dengan media sosial, video pendek, dan hiburan instan lainnya. Membaca terasa seperti tugas berat, sementara menggulir layar ponsel begitu mengasyikkan.
Banyak yang terang-terangan mengakui tidak suka membaca. “Kalau baca buku bikin ngantuk,” ujar mereka. Ada juga yang beralasan, “Pusing lihat teks yang terlalu banyak.” Ini bukan hanya masalah akses, tapi pola pikir yang sudah tertanam sejak dini. Membaca tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan, melainkan beban.
Baca juga: Duta Literasi Muda Indonesia: Bangun Generasi Peduli Literasi
Realitas di Sekolah, Literasi Hanya Formalitas
Untuk memahami kondisi literasi remaja lebih jauh, beberapa pengurus Duta Literasi Muda Indonesia (DLMI) berbagi pandangan mereka. Jawaban mereka seragam: literasi di sekolah masih sangat minim.
Seperti yang dikatakan Kak Syafira, “Memang minim literasi, tapi Alhamdulillah di kelasku masih ada yang suka buku.”
Namun, Kak Whydari menambahkan bahwa minat baca remaja sering kali terbatas pada fiksi. “Di kelasku banyak yang kutu buku, tapi sayangnya hanya buku fiksi. Non-fiksinya enggak. Dulu sekolah sempat menerapkan program baca buku seminggu sekali sebelum pelajaran dimulai. Awalnya banyak yang antusias ke perpustakaan, tapi lama-lama bosan, akhirnya enggak diterapkan lagi.”
Lebih ironis lagi, ada yang sadar akan rendahnya literasi, tetapi bukannya berusaha memperbaikinya, mereka justru sibuk mengkritik atau mencari kesalahan orang lain. Seperti yang dikatakan Kak Rafael, “Banyak yang sadar kalau literasi masih kurang, tapi malah lebih sering mengomentari orang lain daripada memperbaiki diri sendiri.”
Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar kurangnya akses terhadap buku, melainkan kurangnya kesadaran untuk berubah.
Mengapa Minat Baca Remaja Begitu Rendah?
Penyebab utamanya? Hiburan instan. Media sosial, game, dan video pendek menawarkan kesenangan cepat tanpa perlu usaha berpikir. Sementara membaca, bagi banyak remaja, terasa membosankan dan butuh fokus lebih.
Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh besar. Tidak semua keluarga dan sekolah menanamkan budaya membaca. Banyak sekolah punya program literasi, tapi sering kali hanya formalitas—sekadar memenuhi kewajiban, bukan untuk membangun kecintaan membaca.
Menariknya, ketika remaja mau membaca, mereka cenderung hanya tertarik pada satu jenis bacaan, yaitu fiksi. Padahal, buku non-fiksi berperan besar dalam membangun wawasan dan pemikiran kritis. Jika membaca terus dipandang sebagai sesuatu yang membosankan, jangan heran jika generasi ini tumbuh dengan pemahaman yang dangkal dan mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya.