Metode Talaqqi Wa Musyafahah dalam Pengajaran Modern: “Relevansi Pendekatan Syaikh Aiman Rusydi Suwaid”

Talaqqi Wa Musyafahah

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era digital yang berkembang pesat, ilmu pengetahuan termasuk ilmu agama bisa diakses dengan mudah dan cepat melalui ponsel atau komputer. Namun, situasi ini menciptakan dua sisi yang bertolak belakang. di satu sisi, akses informasi menjadi sangat mudah. di sisi lain, ada resiko terhadap keaslian dan kedalaman pemahaman ilmu tersebut. Hal ini terutama terlihat dalam pembelajaran Al-Qur’an, yang bukan sekedar memindahkan teks, melainkan juga menyampaikan cara membaca, suara, dan rangkaian periwayatan yang bersambung langsung hingga Rasulullah SAW.

Di tengah banyaknya rekaman bacaan dan aplikasi Al-Qur’an yang tersedia, ada satu metode tradisional yang justru semakin menunjukkan pentingnya Talaqqi wa Musyafahah, yaitu cara belajar melalui pertemuan tatap muka langsung antara guru dan murid, di mana bacaan diajarkan dari mulut ke mulut dan disimak dengan seksama. Keaslian Al-Qu’ran tidak terlepas dari proses turunnya yang bertahap dan sampai kepada umat Islam secara mutawatir, melalui talaqqi Rasulullah SAW kepada malaikat Jibril As. Proses talaqqi telah dicontohkan langsung oleh Jibril dan Rasulullah, dan metode asasi (asli) itulah juga semestinya dijalankan oleh umat Islam, untuk menjamin kebersambungan sanad bacaan kepada Rasulullah SAW.

Baca juga: Relevansi Teori Kepribadian Big Five Dalam Kitab Al-Firosat Karya Imam Fakhruddin Ar-Razi: Studi Komparatif Antara Psikologi Modern Dan Fisiognomi Islam

Sejarah turunnya Al-Qur’an adalah sejarah pengajaran bacaan Al-Qur’an melalui talaqqi Musyafahah, sehingga secara otomatis dapat kita pahami bahwa Rasulullah adalah peletak pondasi pertama metode talaqqi. Rasulullah bertalaqqi secara mujawwad kepada Malaikat Jibril, demikian pula para Sahabat bertalaqqi dan mendengar bacaan dari Nabi SAW, berikutnya para Tabi‘in bertalaqqi kepada para sahabat, hingga demikian semestinya sampai kepada umat Islam melalui talaqqi kepada guru-gurunya.

Pada sebuah referensi yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ), disebutkan bahwa pada talaqqi, proses memperdengarkan hafalan Al-Qur’an di hadapan seorang guru, lebih dititikberatkan pada bunyi hafalan. sedangkan pada musyafahah, proses setoran bacaan lebih dititikberatkan pada hal-hal yang terkait dengan Ilmu Tajwid, seperti makharijul huruf.

Dalam khazanah keilmuan Al-Qur’an, metode ini bukan sekedar teknik belajar, melainkan benteng terakhir yang menjaga keotentikan firman Allah dari penyimpangaan dan kelalaian. Salah satu sosok yang menjadi pilar hidup tradisi ini di era kontemporer adalah Syaikh Aiman Rusydi Suwaid, seorang ahli pakar qira’at dari Al-Azhar Kairo, yang mengajarkan bahwa Al-Qur’an bukanlah teks mati untuk dibaca sendiri, melainkan “suara hidup” yang harus diwariskan melalui pertemuan jiwa dan pendengaran.

Talaqqi wa Musyafahah adalah transaksi langsung yang penuh kehadiran. Talaqqi berarti penyambutan dan penerimaan, sedangkan Musyafahah mengisyaratkan percakapan dari mulut ke mulut dan dari hati ke hati. Dalam praktiknya, sang murid duduk menghadap guru, lalu membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Guru tidak hanya mendengar tetapi juga mengamati gerak bibir, posisi lidah, durasi nafas, dan getaran suara. Setiap sekecil apa pun dalam makhraj (tempat keluar huruf), ghunnah (dengung), atau mad (panjang pendek) langsung dikoreksi pada saat itu juga.

Proses ini menghidupkan kembali praktik Nabi Muhammad SAW yang menerima wahyu langsung dari Malaikat Jibril, lalu membacakannya kembali kepada para sahabat, yang kemudian menyalinnya dalam hati dan hafalan mereka. Sanad atau rantai periwayatan yang bersambung, menjadi tali emas yang menghubungkan bacaan seorang muslim abad ke-21 dengan lisan Rasulullah  SAW. Oleh karena itu, tulisan ini berargumen bahwa melalui pendekatan adaptif Syaikh Aiman Rusydi Suwaid, metode Talaqqi Musyafahah tidak hanya bertahan tetapi justru menemukan relevansi barunya dalam pengajaran Al-Qur’an di abad ke-21.

Di sinilah peran Syaikh Aiman Rusydi Suwaid menjadi sangat sentral. Sebagai seorang Syaikhul Maqari’ (Guru Besar Ilmu Qira’at) di Masjid Al-Azhar, beliau adalah simpul hidup dari sanad emas itu. Dalam sebuah majelisnya beliau pernah menegaskan, “Al-Qur’an ini adalah amanah suara (amanat al-sawt), bukan hanya amanah teks. Ia harus didengar dari guru yang mengambilnya dari gurunya, hingga sampai kepada Rasulullah SAW. “Rekaman sehebat apa pun, adalah  suara yang terputus sanadnya pada mesin.”

Pernyataan ini mencerminkan komitmen filosofisnya yang mendalam. Suaranya yang merdu dan penguasaannya yang mendalam atas sepuluh qira’at menjadikannya magnet bagi penuntut ilmu dari seluruh dunia. Namun, kehebatannya tidak terletak pada suaranya semata, melainkan pada komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap prinsip Talaqqi. Di majelisnya, baik yang diselenggarakan di serambi Al-Azhar yang bersejarah maupun melalui layar video call, esensi pertemuan langsung tetap dijaga. Murid tetap harus membaca di depannya, dan koreksi tetap diberikan dengan ketelitian seorang ahli waris.

Syaikh Aiman sering menambahkan, “Koreksi saya terhadap bacaanmu hari ini adalah bagian dari sanad itu sendiri. Itulah yang tidak akan kamu dapatkan hanya dengan mendengar rekaman berulang kali.” Beliau menegaskan bahwa menonton rekaman, seberapa pun sempurnanya, tidak akan pernah menggantikan keharusan “membaca di depan guru”. Sebab, kesalahan yang tersembunyi (lahn khafi) hanya dapat dideteksi oleh telinga seorang guru yang terlatih dalam interaksi real time.

Adaptasi Syaikh Aiman terhadap teknologi justru mengukuhkan prinsip dasar Talaqqi, bukan melupakannya. Beliau memanfaatkan platform daring untuk menjangkau murid di benua lain, tetapi dengan syarat mutlak sesi harus dilakukan dengan live, interaktif, dan memungkinkan koreksi detail. Dengan demikian teknologi menjadi jembatan bukan pengganti. Hal ini menunjukkan bahwa Talaqqi wa Musyafahah bukan anti modernitas, tetapi sangat menolong komodifikasi dan penyederhanaan ilmu Al-Qur’an menjadi sekadar konten pasif. Ijazah sanad yang beliau berikan bukanlah sekedar sertifikat, melainkan sebuah kesaksian bahwa si penerima telah melalui proses penyempurnaan langsung, menyambung rantai yang tidak terputus selama empat belas abad.

Lebih dari sekedar transfer skill, metode ini juga bisa disebut dengan sekolah karakter, dimana Murid belajar adab dengan hadir untuk persiapan, rendah hati menerima koreksi, dan disiplin dalam muraja’ah (pengulangan). Proses yang seringkali memakan waktu lama ini tentunya melatih kesabaran, ketekunan, dan cinta yang mendalam terhadap Kitabullah. Hasilnya bukan hanya bacaan yang secara teknis sahih, tetapi juga hubungan spiritual dengan Al-Qur’an yang mengakar.

Sebaliknya, mempelajari Al-Qur’an hanya dengan mendengarkan rekaman digital secara mandiri memiliki beberapa kekurangan penting. Pertama, tidak ada koreksi langsung dari guru. Seorang pelajar mungkin mengira bacaannya sudah benar karena mirip dengan rekaman, padahal bisa saja ada kesalahan kecil dalam pengucapan huruf yang hanya bisa didengar dan dibetulkan oleh guru yang ahli. Kedua, cara ini memutuskan mata rantai keilmuan yang menjaga keaslian bacaan dari generasi ke generasi. Rekaman digital tidak bisa memberikan pengakuan atau jejak transmisi ilmu yang sah seperti seorang guru. Ketiga, belajar sendiri sering kali kehilangan unsur adab dan bimbingan spiritual yang didapatkan dari interaksi langsung dengan guru.

Perbandingan ini semakin menegaskan bahwa Talaqqi Musyafahah (belajar langsung dari guru) bukan sekedar metode biasa, melainkan sebuah keharusan untuk menjaga kemurnian bacaan Al-Qur’an. Dengan demikian, teknologi digital sebaiknya berfungsi sebagai alat pendukung untuk mempertemukan murid dengan guru dalam proses belajar yang hidup, bukan untuk menggantikan peran guru itu sendiri.

Metode Talaqqi wa Musyafahah, sebagaimana yang diajarkan Syaikh Aiman Rusydi Suwaid, membuktikan bahwa tradisi dan modernitas bukanlah musuh. Justru, di era informasi berlebih, kita membutuhkan filter kualitas yang hanya bisa diberikan oleh guru kompeten melalui interaksi langsung. Sebagaimana kata pepatah Arab: “Al-Ilmu nuqulun, laa ahkaamun” Ilmu adalah yang ditransmisikan (langsung), bukan sekedar hukum-hukum (Teori). Di tangan guru seperti Syaikh Aiman, transmisi ilmu Al-Qur’an tetap hidup, tidak beku dalam teks atau rekaman, tetapi mengalir dinamis dalam ruang kelas virtual yang tetap menjaga kehangatan hubungan antara guru dan murid

Baca juga: Ekoteologi Perspektif Syekh Nawawi al-Bantani

Kesimpulannya, bahwa di tengah kemudahan akses informasi digital yang justru beresiko terhadap keaslian dan kedalaman pemahaman, metode tradisional Talaqqi wa Musyafahah (belajar langsung tatap muka dari guru) tetap merupakan benteng terpenting untuk menjaga keotentikan bacaan dan sanad Al-Qur’an yang bersambung hingga Rasulullah SAW.

Melalui figur kontemporer pengajaran Syaikh Aiman Rusydi Suwaid, Talaqqi wa Musyafahah menampilkan dirinya bukan sebagai peninggalan masa lalu, tetapi sebagai metodologi yang relevan dan kritis di era digital. Ia adalah penjaga kemurnian sekaligus penanam makna. Dalam dunia yang semakin individualistik, metode ini mengingatkan kita bahwa Al-Qur’an pada hakikatnya adalah warisan komunitas (ummah) yang dijaga melalui hubungan manusiawi yang dekat antara guru dan murid. Dengan demikian, setiap lantunan ayat yang teruji dalam majelis Talaqqi bukan sekedar suara, melainkan gema dari masa lalu yang masih hidup, bersambung, dan terus bergema hingga akhir zaman dengan izin Allah.

Penulis: Siti Aisyah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *