Memilih Sikap Wara

Dr. KH. Syamsul Yakin MA. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Secara generik, makna wara adalah berpaling dari apa saja yang haram dan syubhat (remang-remang). Namun bagi Harits al-Muhasibi dalam kitabnya al-Makasib, wara memiliki tiga spektrum.

Pertama, meninggalkan apa saja yang membuat hati diliputi keragu-raguan. Nabi Muhammad SAW  bersabda, “Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. Nasa’i).

Bagi Imam Nawawi dalam al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), apabila muncul rasa ragu tentang  halal dan haramnya satu perkara yang dibarengi dengan tidak ada dalil yang tegas sehingga meninggalkan perkara yang  remang-remang atau syubhat, maka memilih bersikap wara adalah solusinya. Jadi dalam perspektif ini wara adalah kemauan dan kemampuan meninggalkan yang masih diliputi rasa ragu.

Kedua, berpaling dari yang syubhat. Hampir semisal dengan yang pertama. Kalau rasa ragu muncul karena tidak menemukan sandaran hukum berdasar konsensus ulama, maka syubhat adalah yurisdiksi yang datang kemudian.

Menurut Harits al-Muhasibi, ulama terbelah-belah dalam memaknai syubhat. Sebagian mengatakan bahwa syubhat hanya memiliki dua pilihan haram atau haram. Tidak ada posisi tawar untuk yang ketiga. Sementara mendekati yang haram itu dilarang. Nabi Muhammad  menegaskan, “Janganlah kamu mendekati perkara yang haram.” (HR. Daruquthni).

Lagi-lagi untuk merespons perkara yang syubhat harus juga dengan memilih sikap wara. Sikap wara seperti ini, pertama-tama merupakan pengejawantahan dari hadits Imam Nasa’i di atas. Atau hadits dengan makna serupa, seperti dikutip Imam Nawawi, “Siapa saja yang selamat dari apa saja yang syubhat, maka dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.”

Ketiga, makna wara adalah seperti bunyi hadits Nabi yang dikutip Harits al-Muhasibi, “Kamu akan menjadi seorang yang benar-benar tertakwa apabila kamu meninggalkan perkara yang sejatinya tidak dosa, hanya karena takut (apabila dikerjakan) berdosa.”  Makna hadits ini bisa dipahami sebagai upaya untuk menghindari mubah yang berlebihan. Sebab perkara apa saja yang berlebihan, termasuk perbuatan mubah, dapat menggelincirkan pelakunya pada jurang api neraka.

Nabi sendiri memuji-muji sikap wara. Pertama, beliau bersabda, “Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Sementara yang terbaik dari  agama kalian adalah sikap wara.” (HR. Thabrani).

Kedua, Nabi berwasiat kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang wara,  maka kamu akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah.” (HR. Ibnu Majah). Jadi wara adalah perkara yang terbaik dalam agama dan sikap yang terbaik dari seorang ahli ibadah.

Ketiga, sabda Nabi, seperti dikutip Ibnu Qayyim  dalam Madarijus Salikin, “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat.”  Perkara yang tidak bermanfaat tak lain adalah wara. Dalam konteks kekinian perkara yang tidak bermanfaat adalah berlama-lama berselancar di media sosial dengan bermain game, ghibah, menebar kebencian dan berita bohong.

Sebagai penegas apa yang telah dikemukakan di atas, wara dalam pandangan Harits al-Muhasibi adalah menjauhi apa saja yang dibenci Allah, baik perkataan maupun perbuatan. Termasuk gerak hati  dan gerak badan. Cara meraih sikap  wara agar menjadi pilihan hidup adalah dengan banyak melakukan perenungan (muhasabah) mengenai perkara yang harus dilakukan atau tidak harus dilakukan. Tujuannya, supaya jelas hukumnya: dilakukan atau ditinggalkan.

Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA.,  Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *