Memahami Syiah: Antara Perbedaan dan Kesalahpahaman

Mata Akademisi, Milenianews.com – Di tengah derasnya arus informasi dan opini yang berseliweran di media sosial, perbincangan tentang Sunni dan Syiah tak pernah benar-benar padam. Dalam lanskap masyarakat Muslim Indonesia yang mayoritas menganut mazhab Sunni, keberadaan Syiah kerap menjadi sorotan—sayangnya, lebih sering dalam nada curiga dan negatif. Tidak sedikit masyarakat yang terjebak dalam informasi yang sepotong-sepotong, bahkan keliru, mengenai keyakinan dan praktik Syiah.

Namun, di balik semua itu, tersimpan satu pertanyaan reflektif: Mengapa perbedaan teologis yang telah berusia lebih dari 14 abad ini masih menjadi bara dalam sekam di tubuh umat Islam, dan bagaimana kita seharusnya memahami perbedaan ini dalam kerangka sosial dan keagamaan yang lebih luas?

Antara Sejarah dan Keyakinan: Awal Mula Perbedaan

Syiah, secara historis, muncul dari peristiwa politik yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Persoalan utama bukan terletak pada akidah, tetapi pada siapa yang seharusnya melanjutkan kepemimpinan umat. Kelompok yang kemudian dikenal sebagai Syī‘atu ‘Alī—pengikut Ali—meyakini bahwa kepemimpinan Islam semestinya berada di tangan Ahlul Bait, dimulai dari Ali bin Abi Thalib. Sedangkan kelompok yang kelak disebut Sunni menerima proses pemilihan khalifah melalui musyawarah.

Perbedaan awal ini berkembang ke ranah fikih, hadis, dan praktik ibadah. Namun demikian, keduanya tetap mengimani Al-Qur’an dan dua kalimat syahadat yang sama. Dari sinilah lahir sebuah kesadaran penting: perbedaan tidak selalu berarti pertentangan hakiki, melainkan beragam cara menafsirkan wahyu dalam konteks sejarah dan sosial masing-masing.

Durkheim dan Solidaritas Sosial: Mengapa Kita Takut Beda?

Dalam perspektif sosiolog Émile Durkheim, agama bukan hanya soal keyakinan, melainkan juga mekanisme sosial yang menciptakan keteraturan dan solidaritas. Ketika suatu kelompok merasa identitasnya terancam oleh kelompok lain yang berbeda, maka muncul resistensi yang kadang diselimuti fanatisme. Perbedaan Sunni-Syiah dalam konteks ini bisa dilihat sebagai ketegangan antara dua sistem kepercayaan yang membentuk solidaritas berbeda.

Sayangnya, ketika solidaritas ini diperkuat dengan eksklusivisme, maka perbedaan yang semula bersifat teologis bisa bergeser menjadi konflik sosial. Di sinilah letak pentingnya kesadaran kolektif yang sehat—kesadaran bahwa keberagaman adalah keniscayaan dalam masyarakat muslim global, dan bahwa pluralitas mazhab adalah bagian dari kekayaan khazanah Islam, bukan ancaman.

Baca juga: Konflik dan Ketegangan Sunni–Syiah: Identitas, Politik, dan Jalan Menuju Rekonsiliasi

Membongkar Mitos, Meluruskan Fakta

Banyak tuduhan terhadap Syiah yang tidak berdasar atau diambil di luar konteks: menyembah Ali, mengkafirkan sahabat, bahkan memiliki versi Al-Qur’an yang berbeda. Padahal, sebagian besar tuduhan ini telah diklarifikasi oleh para ulama dan peneliti. Sebagai contoh, Syiah Imamiyah tetap memegang Al-Qur’an yang sama dan meyakini keesaan Allah. Mereka memiliki pendekatan tafsir dan hukum yang berbeda, tetapi tetap berada dalam lingkup Islam.

Masalah semakin kompleks ketika isu ini dijadikan alat politik. Di Indonesia, pelabelan terhadap Syiah sebagai “sesat” kerap digunakan untuk membangun identitas eksklusif atau sebagai alat mobilisasi massa. Alih-alih memperkuat umat, cara ini justru merusak simpul-simpul ukhuwah.

Menuju Jalan Tengah: Pendidikan, Dialog, Literasi

Dalam menghadapi keragaman pandangan dalam Islam, setidaknya ada tiga pendekatan yang relevan menurut pendekatan sosiologi pendidikan dan komunikasi sosial.

Pertama, pendidikan yang inklusif dan informatif. Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu membuka ruang untuk memperkenalkan berbagai mazhab dalam Islam tanpa menanamkan prasangka. Dengan memahami Syiah dari sumber primer dan akademik, generasi muda tidak akan mudah terseret narasi kebencian atau merasa paling benar sendiri.

Kedua, dialog terbuka antarmazhab. Forum ilmiah dan keagamaan yang mempertemukan perwakilan Sunni dan Syiah dapat menjadi ruang klarifikasi dan penguatan empati. Seperti dikatakan Habermas, komunikasi rasional dalam ruang publik adalah kunci membentuk kesepahaman di tengah keberagaman.

Ketiga, peningkatan literasi digital dan keagamaan. Di era post-truth ini, masyarakat harus diajak untuk lebih kritis terhadap informasi yang diterima, terutama yang bernuansa provokatif. Pemerintah dan tokoh agama bisa berperan dalam menyediakan konten edukatif yang menyatukan, bukan memecah-belah.

Islam dan Keberagaman: Belajar dari Sejarah

Jika menengok sejarah Islam, kita akan menemukan berbagai mazhab tumbuh dan berkembang—dari Syafi’i, Maliki, Hanbali, hingga Ja’fari (Syiah Imamiyah). Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali atau Syekh Shaduq pernah hidup berdampingan, meski berbeda dalam cara berpikir. Ini menunjukkan bahwa Islam pernah menjadi ruang luas yang memeluk perbedaan sebagai rahmat.

Durkheim menyebut bahwa ritual, nilai, dan norma sosial diwariskan tidak hanya melalui doktrin, tetapi melalui pengalaman bersama. Maka, membiasakan masyarakat hidup berdampingan dalam perbedaan adalah cara terbaik untuk merawat identitas sosial Islam yang utuh dan inklusif.

Menemukan Kembali Esensi Persaudaraan

Masyarakat Indonesia adalah mozaik keyakinan yang kompleks. Perbedaan antara Sunni dan Syiah bukanlah jurang pemisah, melainkan tantangan untuk saling memahami. Tidak semua yang berbeda adalah ancaman. Bahkan dalam keragaman, ada keindahan yang hanya bisa dirasakan jika kita mau mendengarkan, membuka hati, dan merangkul.

Sudah saatnya umat Islam berhenti memelihara prasangka, dan mulai membangun jembatan pemahaman. Seperti sungai yang mengalir dari hulu yang berbeda menuju muara yang sama, perjalanan spiritual kita pun mungkin berbeda, tapi tujuan kita satu—mendekatkan diri kepada Allah dan mempererat tali persaudaraan.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Penulis: Abdullah Safei, Fika Fitriana Miina, Adinda Zahra Kamila, Shofaa MaryamEditor: Reyvan Aldyan Yahya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *