Milenianews.com, Mata Akademisi – Media massa memiliki peran penting dalam membentuk opini publik pada pemerintah di Indonesia, sering kali berfungsi untuk menginformsikan, mendidik, menghibur, dan menyampaikan pesan-pesan moral, namun tak jarang justru menjadi alat propaganda untuk mempertahankan reputasi pemegang kebijakan. Fenomena ini belakangan menjadi tidak asing, di mana media yang seharusnya independen seringkali selaras dengan kepentingan para pemegang kekuasaan. Artikel ini bertujuan menganalisis propaganda media Indonesia menggunakan teori Model Propaganda Chomsky-Herman, yang menjelaskan bagaimana penyaringan media membatasi kebebasan berita untuk mendukung para pemegang kebijakan.
Menurut Noam Chomsky dan Edward S. Herman, model propaganda dapat diidentifikasi menjadi lima aspek utama: kepemilikian media (media ownership) oleh korporasi besar, ketergantungan pada iklan (Advertisement Revenue), sumber berita (Sourcing), flak atau kritik terorganisir atau dalam beberapa sumber, serta anti-komunisme atau di beberapa sumber disebut sebagai ideologi. Aspek penyaringan media ini menciptakan sistem yang secara struktural membatasi sudut pandang lain yang tidak sejalan. Teori ini cukup dekat jika dikaitkan dengan media di Indonesia, di mana kepemilikannya terfokus pada kelompok oligarki yang dekat dengan pemerintah.
Baca juga: Masjid Ahmadiyah: Ditutup Paksa di Indonesia
Media Indonesia menerapkan penyaringan media Chomsky-Herman untuk menjaga reputasi pemegang kebijakan, seperti ketika terjadi demonstrasi pada 25-28 Agustus 2025 terhadap tunjangan Rp50 juta/bulan anggota DPR dan beberapa permasalah genting lainnya, tidak sulit untuk menemukan media yang menggiring opini masyarakat dengan pemberitaan bahwa kerusuhan, penjarahan, serta perusakan fasilitas terjadi akibat rakyat anarkis yang tidak menyuarakan suara dengan etika yang baik. Pada kenyataannya kondisi di lapangan tidak bisa sepenuhnya dikatakan demikian. Adanya spekulasi bahwa hal tersebut justru dilakukan oleh oknum yang sengaja mengadu domba, menunjukkan bahwa media di Indonesia tidak sepenuhnya bersuara untuk rakyat, melainkan menggiring opini mengikuti kepentingan para pemegang kekuasaan.
Flak muncul melalui tekanan hukum seperti UU ITE terhadap mereka yang kritis. Hal ini sering kita temukan, salah satunya berita yang sempat menyorot perhatian publik, seorang jurnalis Tempo mendapatkan ancaman berupa paket kepala babi pada Maret 2025 lalu, setelah aktif menyuarakan dan meliput isu-isu sensitif. Kejadian ini kemudian diikuti berita memilukan para jurnalis yang ditemukan meninggal disebabkan beragam dugaan, mirisnya setelah mereka juga turut menyuarakan opini yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah. Hal ini tentunya menjadi peringatan keras bahwa propaganda media di Indonesia sangat mengancam kebebasan bersuara rakyat.
Hal di atas juga berkaitan dengan aspek Anti-Komunisme dalam teori Chomsky-Herman. Ideologi nasionalisme membingkai kritik dan oposisi sebagai ancaman terhadap stabilitas NKRI. Contohnya ketika masyarakat menyuarakan tagar “Kabur Aja Dulu” sebagai bentuk protes atas kehidupan sulit yang mereka jalani di Indonesia akibat egoisnya kebijakan pemerintah, justru dikecam dan dianggap sebagai bentuk lunturnya nilai nasionalisme pada rakyat Indonesia. Tagar ini mencerminkan kekecewaan gen Z terhadap sulitnya lapangan kerja dan kebijakan ekonomi. Fenomena ini bahkan diliput oleh media asing seperti South China Morning Post sebagai simbol migrasi muda ke luar negeri.
Salah satu contoh nyata ketergantungan iklan (advertising revenue) terlihat pada pemberitaan video Presiden Prabowo Subianto yang diputar di bioskop pada September 2025. Media yang bergantung pada iklan pemerintah cenderung menonjolkan narasi ini sebagai “informasi publik”, sementara mengabaikan kritik masyarakat yang menyebutnya sebagai propaganda paksaan, karena bioskop tidak memungkinkan penggunanya untuk melompati durasi seperti TV. Hal ini memperkuat penyaringan sumber berita (sourcing) dari kalangan pro-pemerintah, dan membatasi perspektif oposisi.
Propaganda media akan membentuk pandangan masyarakat yang menguntungkan pemerintah, melemahkan transparasi demokrasi di Indonesia, dan mengurangi ruang diskusi kritis. Seperti yang pernah disampaikan Bapak Anies Baswedan dalam Debat Capres 2024, bahwa “Produk hukum yang tidak melewati proses dialog publik yang lengkap, sehingga dialognya (terjadi) sesudah (hukum tersebut disahkan) jadi undang-undang, dan ketika siapapun yang kritis dianggap oposisi, siapapun yang pro dianggap pro pemerintah. Kenapa? Karena tidak ada proses pembahasan yang komprehensif yang memberikan ruang kepada publik. Ini negara hukum, bukan negara kekuasaan. Dan negara hukum (seharusnya) berikan ruang kepada publik untuk membahas sebuah peraturan sebelum ia ditetapkan.”
Di dalam sebuah negara demokrasi terdapat tiga hal wajib yang harus dimiliki agar negara tersebut dapat tetap berjalan dengan semestinya. Kedaulatan rakyat, kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta pemerintah yang bertanggung jawab, diimbangi dengan oposisi yang kuat. Kedaulatan rakyat dibutuhkan sebagai pondasi, dimana kekuasaan tertinggi seharusnya berada ditangan rakyat, dan seluruh pemegang kekuasaan yang menjabat merupakan bentuk persetujuan dari rakyat pula. Hal ini kemudian mendukung adanya kebebasan berpendapat bagi siapapun untuk bersuara dan berekspresi. Dalam berdemokrasi, oposisi juga dibutuhkan untuk menyeimbangkan pemerintahan, sehingga ketika oposisi mengktritisi kebijakan pemerintah tidak sepantasnya mereka disebut membelot, tidak nasionalis, atau memecah belah bangsa. Hal yang sangat disayangkan bahwa ketiga hal tersebut belum berjalan dengan lancar, khususnya dalam media massa yang seharusnya menjadi kesejahteraan bersama dan menjalankan fungsinya sebagai pengawas publik.
Memahami sudut pandang model propaganda Chomsky-Herman membantu kita untuk sekaligus menganalisis solusi agar media kembali menjalankan fungsi yang seharusnya dalam mementingkan kesejahteraan publik. Kita perlu memperhatikan kelima aspek penyaringan media untuk menargetkan solusinya secara spesifik. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah mendukung pendanaan komunitas atau non-profit bagi jurnalisme independen dan menggalakkan penerapan kebijakan hukum antitrust sebagai langkah mengatasi kepemilikan media oleh para pemegang kekuasaan dan monopoli oligarki. Masyarakat juga harus terus menyuarakan revisi undang-undang yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, seperti UU KUHP belum lama ini dianggap mengancam kebebasan bersuara.
Propaganda media di Indonesia melalui lensa Chomsky-Herman membuktikan bagaimana lima penyaringan struktural—kepemilikan oligarki, iklan, sumber, flak, dan ideologi—mengaburkan citra pemegang kebijakan demi mempertahankan kekuasaan. Contoh seperti demo Agustus 2025, teror jurnalis Tempo, dan #KaburAjaDulu menunjukkan media bukan lagi pengawas, melainkan alat pembentuk opini yang menguntungkan elite. Hal ini melemahkan kedaulatan rakyat, kebebasan berpendapat, dan memberikan stigma buruk pada oposisi yang seharusnya termasuk unsur penting dalam demokrasi. Pada akhirnya, media bebas adalah pondasi negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Penulis: Faridah Rafifah Alya, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







