Maraknya Kasus Bunuh Diri dan Bagaimana  Cara Menghindarinya

Milenianews.com, Mata Akademisi– Berita seorang mahasiswa bunuh diri (https://www.detik.com/jogja/berita/d-7096643/pilu-mahasiswa-ini-gantung-diri-beberapa-jam-sebelum-wisuda) mengejutkan masyarakat. Seorang mahasiswa dikabarkan tewas dengan cara gantung diri di rumahnya di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mirisnya, dia bunuh diri hanya beberapa jam sebelum wisuda. Peristiwa tersebut diketahui oleh kakak kandung dan ipar korban yang kebetulan sedang lewat di depan rumahnya. Saat mereka lewat, mereka melihat pintu rumah tersebut dalam keadaan terbuka dan langsung memeriksanya. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat adiknya tidak bernyawa dengan tubuh yang tergantung pada kayu penyangga plafon rumah. Kematiannya diyakini karena ada masalah pribadi (Bria, 2023).

Masa remaja sering kali disebut sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa. Remaja mengalami banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik, psikologis, hormonal, dan sosial. Tekanan-tekanan sosial yang memaksa generasi muda memasuki pola-pola baru dalam kehidupan sosialnya seperti mengubah tingkah laku anak-anak ke dewasa membuat remaja merasa tidak nyaman dan menimbulkan ketidakstabilan emosi yang berakhir pada timbulnya ide bunuh diri (Putri & Tobing, 2020).

World Health Organization (WHO) menyampaikan, bunuh diri telah menjadi fenomena global sebagai penyebab kematian kedua terbanyak pada tahun 2016 dengan temua terbanyak terjadi pada rentang usia 15-29 tahun. Diperkirakan ada lebih dari 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya, dan lebih dari 29% kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah sampai menengah (Putri & Tobing, 2020).

Permasalahan

Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri hidup. Ada beberapa kasus bunuh diri yang sudah terjadi di Indonesia, termasuk seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jakarta yang meninggal dunia setelah melompat dari lantai empat gedung sekolahnya pada pertengahan Januari 2021, dikabarkan karena mengalami maslah depresi (Febrianti et al., 2021).

Semakin banyak generasi muda yang memilih untuk mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri. Menurut laporan World Health Organization (WHO),  800.000 orang yang melakukan bunuh diri sertiap tahunnya, bebebarapa diantaranya terjadi dikalangan anak muda (Febrianti et al., 2021).

Pikiran untuk bunuh diri pada remaja seringkali dibarengi dengan depresi. Beck mengartikan depresi sebagai suatu kondisi psikologis pada seseorang yang ditandai dengan gangguan mood, gejala gangguan kognitif, gangguan motivasi dan gangguan fisik. Remaja merupakan generasi penerus negri ini, sehingga perilaku negatif di kalangan remaja dapat berujung pada bunuh diri harus ditanggulangi dan dicegah (Putri & Tobing, 2020).

Tidak ada alasan tunggal untuk bunuh diri. Korban bunuh  diri seringkali memiliki sistem dukungan sosial yang rendah, termasuk keluarga dan teman, agama, pekerjaan, dan kelompok dukungan masyarakat. Adanya perceraian orang tua mempunyai dampak tersendiri bagi remaja, seperti malu, mudah tersinggung, kehilangan konsentrasi, kehilangan rasa hormat kepada orang tua, menyalahkan orang tua, berbuat salah, tidak ada makna dalam hidup, kecemasan terhadap lingkungan, dan lain-lain.

Konflik dengan orang tua atau kakak dapat menyebabkan distres bertahun-tahun dan emosi negatif seperti perasaan stres, marah dan malu. Orang dengan distres psikologis memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan orang tanpa distres psikologis. Resiliensi diketahui dapat mengurangi tekanan psikologis seseorang sehingga menurunkan angka kematian akibat bunuh diri.

Diperkirakan sekitar 20% kasus bunuh diri di seluruh dunia disebabkan oleh keracunan pestisida dan sebagian besar terjadi di daerah pedesaan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, metode bunuh diri umum lainnya termasuk bunuh diri dengan gantung diri   dan senjata api. Strategi pencegahan yang terbukti efektif, seperti membatasi akses terhadap cara bunuh diri, yang dituangkan dalan LIVE LIFE: Panduan impementasi pencegahan bunuh diri di berbagai negara tentang metode bunuh diri yang paling umum digunakan penting untuk dikembangkan (World Health Organization, 2023).

Stigma, terutama seputar penyakit mental dan bunuh diri, berarti banyak orang yang mempertimbangkan atau mencoba bunuh diri tidak mencari bantuan sehingga tidak menerima dukungan yang mereka butuhkan. Pencegahan bunuh diri kurang ditangani karena kurangnya kesadaran bahwa bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius dan diskusi terbuka tentang bunuh diri adalah hal yang tabu di banyak masyarakat (World Health Organization, 2023).

Hingga saat ini, hanya 38 negara yang menjadikan pencegahan bunuh diri sebagai salah satu prioritas kesehatan mereka dan hanya 38 negara yang dilaporkan memiliki strategi penegahan bunuh diri nasional. Agar suatu negara dapat mencapai kemajuan dalam pencegahan bunuh diri, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendobrak hal-hal yang tabu (World Health Organization, 2023).

Solusi

Mengingat frekuensi bunuh diri yang marak terjadi, hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang serius. Penting untuk mengambil tindakan pencegahan yang tepat untuk melindungi diri sendiri dan orang disekitar kita dari fikiran untuk bunuh diri. Jadi langkah apa yang bisa kita ambil untuk menghindari timbulnya pikiran untuk bunuh diri?

Pertama, Mendekatkan diri kepada Allah. Jika umat Islam ingin merenungkan sebenarnya Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan itu sangat patut disyukuri. (Q.S. At-Tin: 4). Allah pun telah memuliakan manusia, menganugerahkan mereka rezeki yang baik, dan melebihkan manusia dari mahluk lain dengan kelebihan yang sempurna (Q.S. Al-Israa’: 70) (Nugroho, 2016).

Kedua, Ingat bahwa emosi bisa berubah. Ingatlah selalu bahwa emosi tidak selalu sama setiap waktu. Ibarat roda yang berputar, emosi akan berubah seiring berjalannya waktu. Begitu anda menanamkan keyakinan ini, keputusan akan berubah menjadi kebahagiaan esok hari (Juniman, 2018).

Ketiga, Berbicara dengan orang lain. Berbagi perasaan dengan orang terdekat adalah salah satu cara terbaik untuk menghilangkan pikiran untuk bunuh diri. Bagikan kisah anda dengan keluarga, pasangan, atau sahabat. Namun harus bersabar karena terkadang mereka ingin membantu, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Saat situasi ini terjadi, jangan ragu untuk meminta bantuan (Permana, 2022).

Keempat, Lakukan aktivitas yang membuat anda lupa waktu. Cobalah alihkan fokus anda ke aktivitas yang membuat anda lupa waktu. Misalnya membaca buku, menonton film, mengunjungi tempat wisata, bermain game, hingga menghabiskan waktu brsama orang terdekat atau hewan peliharaan anda (Permana, 2022).

Kelima, Cari alasan untuk tetap hidup. Carilah berbagai alasan mengapa anda perlu bertahan untuk hidup. Misalnya saja ingatan akan segala hal indah dalam hidup, keinginan untuk mewujudkan rencana di masa depan, dan perasaan orang-orang terdekat (Permana, 2022).

Keenam, Berolahraga. Berolahraga dapat membuat anda merasa lebih baik, terutama  saat berolahraga bersama teman. Dengan melakukan ini, rasa ingin bunuh diri anda akan berkurang. Saat anda berolahraga, tubuh anda akan melepaskan hormon dopamin dan serotonin. Kedua hormon ini bermanfaat untuk membuat perasaan anda lebih bahagia (Permana, 2022).

Ketujuh, Menerapkan teknik relaksasi. Langkah sederhana yang bisa anda gunakan adalah teknik relaksasi. Teknik ini membantu mengurangi stres dan membuat pikiran anda menjadi lebih positif (Permana, 2022).

Penulis: Sarah Asya Nur Rahman, Mahasiswa STEI SEBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *