Maqāshid Di Era Digital: Kerangka Tafsir Hidup Yusuf al-Qaradawi

Maqāshid

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era yang bergerak begitu cepat seperti sekarang, umat Islam dituntut untuk memiliki cara membaca Al-Qur’an yang bukan hanya menghormati teks, tapi juga peka terhadap perubahan realitas. Dunia digital, media sosial, sistem ekonomi baru, dan munculnya profesi-profesi yang dulu tak pernah terbayangkan membuat banyak orang merasa pendekatan tafsir klasik tidak selalu cukup jika tidak diberi ruang pembaruan. Di tengah kondisi ini, Yusuf al-Qaradawi hadir sebagai tokoh yang menawarkan metode tafsir yang moderat, lentur, dan tetap setia pada nilai-nilai dasar syariat. Melalui konsep wasathiyah, maqāshid al-syarī‘ah, dan prinsip kemudahan (taysīr), Qaradawi mengingatkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup yang relevan sepanjang masa—bukan teks yang membeku dalam sejarah.

Baca juga: Humanisasi di Era Modern: Integrasi Nilai Kemanusiaan Dalam Al-Qur’an dan Realitas Sosial

Metode tafsir Qaradawi berdiri di atas empat gagasan besar yang saling melengkapi. Ia menekankan bahwa tafsir harus berorientasi pada tujuan syariat, bukan sekadar terpaku pada redaksi lahiriah. Akal dan wahyu harus berjalan beriringan; teks diterangi oleh rasionalitas yang jernih. Setiap ayat perlu dipahami dalam konteks sosial manusia yang terus bergerak agar pesan Al-Qur’an tetap hidup dan membumi. Di saat yang sama, ia menolak sikap ekstrem, baik yang terlalu kaku maupun yang terlalu bebas, demi menjaga keseimbangan antara prinsip syariat dan kebutuhan zaman.

Qaradawi melihat bahwa Al-Qur’an sendiri memberikan banyak isyarat bahwa syariat diturunkan bukan untuk menyulitkan, tapi untuk memudahkan, melindungi, dan mengangkat martabat manusia. QS. Al-Baqarah:185 menegaskan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya, menjadi dasar penting bagi spirit taysīr. QS. Al-Hajj:78 mengingatkan bahwa agama ini tidak diciptakan untuk menimbulkan kesempitan, sehingga ayat ini sangat relevan ketika menghadapi persoalan fikih modern seperti sistem digital, jenis pekerjaan baru, atau transaksi global. QS. Al-Ma’idah:48 menunjukkan bahwa keberagaman hukum dan ijtihad adalah bagian dari karunia Allah, sehingga fleksibilitas hukum bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari hikmah syariat. Dan QS. Al-Anbiya’:107 menetapkan misi utama Nabi: membawa rahmat bagi seluruh alam, sehingga setiap penafsiran hukum harus berorientasi pada kemaslahatan, bukan sebaliknya.

Pendekatan Qaradawi menjadi sangat terasa manfaatnya dalam dunia kerja modern. Banyak profesi baru—digital marketer, content creator, UI/UX dsigner, financial advisor, dan lain-lain—yang tidak dikenal dalam buku fikih klasik. Menurut Qaradawi, pekerjaan seperti ini tidak boleh langsung dilabeli haram atau syubhat hanya karena tidak pernah disebutkan ulama terdahulu. Pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah pekerjaan itu membawa manfaat atau mudarat? Apakah ada unsur penipuan, riba, atau kezhaliman? Apakah nilai-nilai keadilan dan kejujuran dijaga? Jika tidak bertentangan dengan syariat, maka ia berada dalam ruang kemaslahatan yang dibenarkan.

Sebagai contoh, seorang perempuan muslim yang bekerja sebagai graphic designer di perusahaan fashion global mungkin menghadapi dilema ketika beberapa produk perusahaan tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai Islam. Dalam kerangka maqāshid ala Qaradawi, ia tidak wajib langsung keluar. Ia bisa meminta pemindahan ke divisi yang lebih netral, memilih proyek yang aman, mengajukan desain alternatif, atau sambil bekerja tetap mencari peluang lain yang lebih bersih. Pendekatan ini lahir dari pemahaman bahwa menjaga agama itu penting, namun menjaga rezeki dan stabilitas hidup juga bagian dari maqāshid yang tidak boleh diabaikan.

Bagi Yusuf al-Qaradawi, Al-Qur’an bukan sekadar teks yang berhenti pada masa tertentu. Ayat-ayatnya terus hidup dan berbicara kepada manusia seiring perubahan zaman. Karena itu, menurutnya, tafsir nggak boleh dipahami secara kaku. Selama tujuan utama syariat adalah menghadirkan kemudahan, kasih sayang, dan keadilan, cara kita membaca ayat-ayat itu pun harus membawa nilai yang sama.

Baca juga: Peran Mahasiswa dalam Bela Negara Melalui Literasi Digital

Dengan pendekatan ini, umat Islam bisa tetap bergerak maju—profesional, kreatif, dan relevan—tanpa merasa terpisah dari agamanya. Al-Qaradawi ingin menunjukkan bahwa dunia dan akhirat bukan dua hal yang saling bertentangan. Keduanya bisa jalan bareng, asalkan nilai-nilai dasar syariat dijadikan landasan.

Akhirnya, pendekatan tafsir al-Qaradawi menawarkan keseimbangan yang jarang ditemui: menghormati tradisi klasik, tapi tetap peka terhadap kebutuhan zaman modern. Ia menegaskan bahwa Al-Qur’an mampu menjawab persoalan hari ini tanpa harus meninggalkan akar keilmuannya. Tafsir, baginya, bukan hanya soal menjelaskan teks, tapi membantu manusia memahami bagaimana petunjuk Al-Qur’an bisa dipakai dalam kehidupan nyata.

Penulis: Nadinna Azzahra, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *