Milenianews.com, Mata Akademisi – Konsep hidayah Adalah salah satu fondasi utama dalam eologi islam karena ia menentukan dan mengarahkan manusia pada keridhoan Allah. Hidayah bukan hanya sekedar informasi ataupun hanya dorongan batin, tetapi juga melibatkan ilmu, penerangan, keteguhan iman, kekuatan spiritual, serat kepatuhan terhadap syariat. Dalam khazanah keilmuan para mufassir klasik, Tafsir Jalalain memiliki kedudukan penting dalam tradisi tafsir karena menggabungkan keringkasan dengan ketajaman analisis, dengan Imam Jalaluddin al-Mahalli sebagai salah satu penyusunnya yang utama. Kajian penafsiran al-Mahalli menunjukkan bahwa ia membangun paradigma yang kuat dan mendalam tentang hidayah. Pemahamannya tidak terbatas pada ayat-ayat yang secara langsung menggunakan frasa tersebut, itu meluas ke berbagai konteks yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan teologi, etika, dan hukum, sehingga menunjukkan relevansinya secara metodologis.
Baca juga: Revolusi Kecerdasan Buatan dan Batasan Pengetahuan Manusia
Salah satu penafsirannya yaitu pada surah alfatihah ayat ketujuh mengenai hidayah.pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk meminta ditunjukkan jalan orang-orang yang diberi nikmat. Al-Mahalli menjelaskan bahwa nikat yang dimaksud Adalah hidayah yaitu petunjuk yang mengantar seseorang menuju iman dan keselamatan. Penjelasan al-Mahalli tidak berhenti sampai situ, ia menghubungkan dengan surah An-Nisa ayat 69 yang menyebutkan empat golongan penerima nikmat: para nabi, ṣiddīqīn, syuhadā’, dan ṣāliḥīn. Dalam penjelasan ini menunjukkan bahwa bagi al-Mahalli, hidayah melibatkan dimensi teladan: mengikuti jalan para nabi dan orang-orang saleh berarti mengikuti bentuk hidayah yang paling sempurna. Menurut al-Mahalli, surah al-fatihah yang biasa dibaca setiap sholat merupakan doa untuk meminta nikmat hidayah kepada Allah.
Akan tetapi penafsiran tentang hidayah tidak berhenti sampai dua ayat ini saja. Ketika meneliti tafsir jalalain secara menyeluruh, tampak bahwa al-Mahalli memahami hidayah dalam beberapa tingkatan. Tingkatan yang pertama Adalah hidayah sebagai penjelasan (hidayah al-bayān wa al-irsyād). Dalam pandangan ini, hidayah hadir dalam menunjukan penerangan yang menuju jalan kebenaran. Misalnya, ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah:2, al-Mahalli menjelaskan bahwa Al-Qur’an Adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa. Petunjuk yang dimaksud Adalah tentang mana yang benar dan salah, mana yang mendatangkan pahala dan mana yang menimbulkan dosa. Pada QS. An-Nahl:9, “wa ‘ala Allāhi qasdu al-sabīl”, ia menjelaskan bahwa Allah menerangkan jalan lurus dengan menunjukkan tanda-tanda dan bukti kebenaran-Nya. Pada tingkatan ini hidayah bersifat universal, yaitu bagi siapa saja yang ingin mencarinya, baik orang yang beriman maupun yang tidak beriman.
Tingaktan yang lebih tinggi Adalah hidayah sebagai Taufiq, yaitu kemampuan untuk menjalankan kebenaran. Al-Mahalli menjelaskan bahwa penjelasan dan Taufiq itu berbeda. Contohnya, pada QS. Al-Qasas:56, “innaka lā tahdī man ahbabta”. Al-Mahalli menegaskan bahwa hidayah yang dimaksud disini Adalah Taufiq, karena nabi Muhammad dapat mengajarkan dan menunjukan jalan, tetapi ia tidak dapat membuat seseorang beriman. Dengan kata lain, Taufiq ini hanya berada salam kehendak Allah. Pemahaman ini menegaskan prinsip teologis bahwa iman tidak hanya bergantung pada upaya manusia, tetapi merupakan karunia ilahi yang Allah letakkan di dalam hati. Dengan demikian, wajar apabila dua individu yang mendengar keterangan yang sama menghasilkan respons yang berbeda: satu memperoleh taufiq untuk tunduk dan beriman, sementara yang lain tidak diberi kemampuan tersebut.
Selain kedua bentuk tadi, al-Mahalli juga sering menafsirkan hidayah sebagai Cahaya batin yang sering mengeluarkan manusia dari kebodohan dan kesesatan menuju iman dan ketentraman hati. Hal ini tampak pada penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah:257, ketika ia menjelaskan makna al-nur sebagai al-īmān wa al-huda. Artinya, Hidayah dalam ayat tersebut bukan sekadar informasi atau kemampuan memahami, melainkan perubahan batiniah yang menghadirkan cahaya sehingga manusia terangkat dari kondisi kegelapan. Pemahan ini menujukkan bahwa AL-Mahalli tidak memandang hidayah hanya sebagai proses intelektual saja, tetapi juga proses spiritual yang berkaitan dengan pembersihan hati, kelembutan jiwa, serta kesiapan batin untuk menerima petunjuk Ilahi.
Di sisi lain, Al-Mahalli memahami hidayah sebagai jlan hidup, yaitu Syariat dan aturan Allah yang disampaikan lewat nabi Muhammad. Hal ini terlihat ketika ia menafsirkan QS. Al-Jatsiyah:18, yang menyebutkan bahwa Allah menempatkan Nabi Muhammad diatas syariat. Bagi al-Mahalli, syariat yang Allah turunkan kepada Nabi merupakan bentuk konkret dari hidayah Ilahi. Melalui ketentuan-ketentuannya yang mencakup seluruh dimensi kehidupan, syariat berfungsi membimbing manusia menuju kemaslahatan dunia dan keselamatan akhirat. Dengan begitu, hidayah bukan hanya berupa konsep spiritual dan teologis saja, namun juga berupa aturan praktik yang mengarahkan manusia pada kehidupan sehari-hari. Pemahaman tersebut mempertegas bahwa al-Mahalli memandang hidayah sebagai integrasi antara aspek spiritual yang berkaitan dengan pembinaan batin dan aspek praktis yang terwujud dalam pelaksanaan syariat sebagai pedoman hidup.
Al-Mahalli juga menjelaskan bahwa hidayah terdiri dari pengetahuan awal tentang kebenaran serta keteguhan (tsabāt) yang memungkinkan seseorang untuk tetap setia pada iman dan ketaatan. Beliau menafsirkan QS. Maryam:76 untuk menunjukkan bahwa Allah menambah hidayah bagi hamba-Nya yang telah diberi hidayah sebelumnya, yaitu dengan taufiq tambahan dan kekuatan iman yang lebih besar. Oleh karena itu, hidayah dianggap sebagai proses yang berlangsung dan berubah-ubah daripada keadaan yang tetap. Meskipun seseorang tahu kebenaran, kemampuan untuk terus mengikutinya merupakan jenis hidayah yang lebih besar yang diberikan Allah kepada mereka yang Dia kehendaki.
Sebaliknya, al-Mahalli menyatakan bahwa beberapa orang tidak menerima hidayah karena mereka sendiri menolak kebenaran. Banyak ayat, seperti QS. As-Saff :5, menjelaskan bahwa Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum fasik karena mereka memilih untuk menentang. Hal ini menunjukkan bahwa tertutupnya hidayah adalah akibat dari sikap manusia, bukan tindakan sewenang-wenang. Jika Anda melihat seluruh penafsiran al-Mahalli, tampak bahwa hidayah mencakup beberapa komponen: ilmu, penjelasan wahyu, taufiq, cahaya batin, syariat, dan keteguhan iman. Hidayah adalah nikmat paling fundamental, yang menyatukan aspek intelektual, spiritual, dan moral dalam perjalanan seorang hamba menuju keridhaan Allah, seperti yang ditunjukkan oleh enam komponen ini.
Penulis: Nazma Aida Nabilah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













