“Komunikasi Edukatif Dialogis ala Mohammad Hatta: Strategi Dakwah Digital untuk Pembentukan Karakter dan Ketahanan Informasi Remaja”

Mohammad Hatta

Milenianews.com, Mata Akademisi – Teori Komunikasi Edukatif-Dialogis Mohammad Hatta menjelaskan bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan atau mempengaruhi pendapat, tetapi merupakan proses pendidikan yang membentuk kecerdasan moral, intelektual, dan sosial masyarakat. Dalam pandangan Hatta, komunikasi harus menjadi ruang pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran kritis, memperluas wawasan, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama.

Pendekatan ini menempatkan dialog sebagai inti komunikasi. Bagi Hatta, komunikasi ideal harus berlangsung dua arah, membuka kesempatan bagi masyarakat untuk bertukar pandangan, berpikir rasional, serta menghargai perbedaan pendapat. Melalui dialog, komunikasi berfungsi memperkuat sikap demokratis dan mendorong masyarakat terlibat aktif dalam kehidupan sosial.

Baca juga: Penghilangan Liputan Demonstrasi Agustus 2025 di Televisi Nasional: Analisis Teori Agenda Setting McCombs & Shaw dan Dampaknya terhadap Kesadaran Politik Anak Muda Indonesia

Peran komunikator juga sangat ditekankan. Seorang komunikator, menurut Hatta, harus memiliki integritas moral dan ketajaman intelektual agar pesan yang disampaikan dapat dipercaya dan dihayati oleh penerima. Komunikator tidak boleh hanya pandai berbicara, tetapi harus menunjukkan kesesuaian antara ilmu, ucapan, dan tindakan.

Selain itu, pesan yang disampaikan harus bersifat mendidik, menstimulasi pemikiran, dan mengarahkan pada tindakan sosial yang positif. Komunikasi dalam kerangka Hatta tidak boleh menjadi alat dominasi, melainkan sarana pemberdayaan yang mendorong masyarakat mampu mengambil keputusan yang bijaksana dan beretika. Karena itu, komunikasi harus selaras dengan tindakan nyata dan memberi dampak pada pembentukan karakter.

Dengan demikian, teori ini memandang komunikasi sebagai sarana pembentukan manusia dan masyarakat: manusia yang kritis, berakhlak, dan bertanggung jawab, serta masyarakat yang hidup berdasarkan musyawarah, kerja sama, dan nilai-nilai kebajikan bersama.

Pada era digital, platform media sosial seperti YouTube, Instagram, dan TikTok telah menjadi ladang utama interaksi sosial dan sumber informasi bagi remaja. Arus informasi yang cepat membawa tantangan serius: konten yang bersifat manipulatif, hoaks, atau pesan yang mengobarkan emosi dapat menyebar luas dan cepat, memengaruhi sikap dan perilaku generasi muda. Dalam konteks dakwah, hal ini menuntut pendekatan komunikasi yang tidak sekadar persuasif tetapi juga mendidik, kritis, dan berjangka panjang. Gagasan Mohammad Hatta tentang komunikasi yang edukatif dan dialogis relevan sebagai kerangka untuk merespons tantangan tersebut.1 Hatta menekankan pentingnya pendidikan moral dan tanggung jawab

Intelektual bagi kaum terpelajar sebagai fondasi perubahan sosial suatu landasan yang dapat diterjemahkan ke strategi dakwah digital modern.2

Pertama, konsep komunikator dalam kerangka Hatta menekankan kredibilitas moral dan kapasitas intelektual. Di ranah digital, ini berarti para pendakwah dan pembuat konten harus memelihara legitimasi, berbasis ilmu dan perilaku yang konsisten. Ketika komunikator memiliki rekam jejak yang jelas dan memperlihatkan konsistensi antara omongan dan tindakan, pesan dakwah yang disampaikan lebih mungkin diterima dan diinternalisasi oleh remaja sejalan dengan prinsip Hatta bahwa integritas intelektual membangun kepercayaan publik. Oleh karena itu, verifikasi sumber, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi standar bagi komunikator dakwah digital.3

Kedua, struktur pesan harus edukatiff dan dialogis. Hatta mengedepankan pendidikan berkelanjutan sebagai cara membentuk kebudayaan dan kesadaran kolektif. Pesan dakwah digital yang hanya bersifat ajakan emosional cenderung bersifat sementara dan rentan dimanfaatkan; sebaliknya, pesan yang mengandung pengetahuan, alasan moral, dan mengundang refleksi serta diskusi akan membantu remaja mengembangkan pemahaman kritis. Praktik seperti menggabungkan materi singkat dengan sumber bacaan, sesi diskusi online, atau modul pembelajaran singkat merupakan penerapan praktik edukatif-hattaian di ranah digital.4

Ketiga, konteks sosial audiens harus diperhatikan. Hatta selalu menempatkan pendidikan dan pembentukan karakter dalam kerangka pengalaman kolektif bangsa nilai ini menuntut pendekatan komunikatif yang sensitif terhadap latar belakang budaya, pendidikan, dan kondisi lokal. Di era algoritma, pesan yang tidak relevan dengan pengalaman audiens akan terabaikan. Oleh karenanya dakwah digital yang efektif perlu menyesuaikan bahasa, contoh, dan medium agar punya resonansi budaya dan psikologis bagi remaja. Ini juga membantu membangun ketahanan terhadap mis/disinformasi karena audiens yang teredukasi dan merasa ‘terlibat’ lebih mampu berpikir kritis.

Baca juga: Mekanisme Stimulus-Respons dalam Pemberitaan Bencana: Analisis Repetisi Media atas Banjir Aceh dan Sumatra dalam Pembentukan Opini Publik sebagai Isu Nasional

Kempat, Hatta menekankan praktik nyata komunikasi harus diikuti tindakan (mis. koperasi, kerja sosial). Dalam konteks dakwah digital, inisiatif offline/nyata yang terhubung ke kampanye online (seperti kegiatan komunitas, program literasi media sekolah, atau aksi sosial) akan memperkuat internalisasi nilai bagi remaja. Ketika pesan bertemu pengalaman nyata, perubahan sikap menjadi lebih awet dan produktif, sesuai pesan Hatta bahwa pembelajaran harus membentuk karakter yang berperilaku.

Akhirnya, jika diaplikasikan, kerangka Komunikasi Edukatif-Dialogis ala Hatta memberikan pendekatan yang tidak cepat puas pada dampak sementara: ia menekankan pendidikan, dialog, kredibilitas moral komunikator, dan praktik nyata. Untuk membantu remaja menghadapi banjir informasi di media sosial, program dakwah digital yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ini dapat meningkatkan literasi informasi, memupuk kebiasaan refleksi, dan membentuk perilaku sosial proaktif hasil yang sejalan dengan visi Hatta mengenai pembentukan bangsa melalui pendidikan dan tanggung jawab intelektual.

Penulis: Azmiya Nisa Zhafira, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *