Kerangka Berpikir Ilmu Sosial Dalam Menganalisis Dampak Media Sosial

Dampak Media Sosial

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Adapun Instagram, Tiktok, Twitter, dan platform lain bukan hanya sekadar alat komunikasi, tapi juga memengaruhi cara kita bagaimana berinteraksi, membuat pendapat, bahkan memengaruhi nilai dan norma dalam Masyarakat. Fenomena ini menuntut kita untuk menganalisis media sosial lebih dari sekadar melihat angka atau tren; kita perlu memahami dampaknya terhadap masyarakat secara menyeluruh. Disinilah kerangka berpikir ilmu sosial berperan penting karena bisa membantu kita melihat fenomena sosial dengan lebih kritis, reflektif, dan sistematis (terstruktur).

Media sosial juga mempunyai dampak positif dan negatif, tergantung kita yang menggunakan media sosial tersebut. Media sosial itu punya sisi positif yang jelas. Misalnya, orang bisa tetap terhubung meski berada di lokasi yang berbeda, berbagi informasi dengan cepat dan membuka peluang ekonomi melalui bisnis online atau konten kreatif. Namun disisi lain media sosial juga menimbulkan masalah serius. Yaitu ketergantungan digital, tekanan untuk selalu “update”, penyebaran informasi palsu, hingga munculnya norma baru yang kadang merugikan, ini merupakan dampak yang tidak bisa diabaikan. Jika kita hanya melihat fenomena ini secara permukaan, kita mungkin akan menganggapnya biasa saja. Maka dari itu kerangka berpikir ilmu sosial menjadi alat penting untuk memahami bagaimana media sosial membentuk perilaku manusia, kita bisa menganalisis mengapa fenomena ini terjadi, siapa yang paling terpengaruh, dan apa konsekuensinya bagi Masyarakat.

Baca juga: Kesuksesan Dengan Jalan Yang Berbeda

Pendekatan ilmu sosial itu membantu kita melihat media sosial dari berbagai sudut yaitu dari sisi sosiologi; maksudnya, kita melihat media sosial sebagai ruang interaksi baru, memengaruhi hubungan antarindividu, dan bahkan menciptakan norma sosial baru, misalnya fenomena culture of likes yang bikin banyak orang menilai diri mereka berdasarkan jumlah likes atau followers. Lalu ada dari sisi psikologi sosial; maksdunya, menyoroti bagaimana interaksi di dunia maya memengaruhi identitas, harga diri, dan perilaku kita sehari-hari.

Dan ada juga dari sisi Antropologi; maksudnya kita melihat media sosial sebagai bagian dari budaya modern yang terus berkembang, dimana nilai-nilai baru terbentuk, dan bagaimana masyarakat belajar menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan. Sementara filsafat membantu kita menilai makna dari fenomena ini, apakah kebiasaan digital ini benar benar membuat hidup lebih baik, atau justru mengubah manusia menjadi lebih tergantung pada teknologi?

Adapun ada contoh nyata yang bisa kita lihat adalah fenomena influencer dan budaya viral. Banyak orang menilai kesuksesan berdasarkan jumlah likes atau followers, yang memengaruhi pola pikir dan perilaku sosial. Dampaknya, sebagian orang merasa harus selalu menampilkan citra terbaik diri mereka, kadang sampai mengorbankan kenyamanannya. Dengan kerangka ilmu sosial, fenomena ini bisa dianalisis yaitu dari sisi interaksi sosial, pengaruh kelompok, dan kontruksi identitas (menunjukkan identitas). Dari sisi filsafat, kita bisa bertanya; apakah masyarakat sedang menilai sesuatu yang benar benar penting, atau hanya terjebak pada pengakuan semu? pertanyaan seperti ini membantu kita memahami dampak media sosial bukan hanya dari data, tapi juga dari perspektif makna dan nilai.

Selain itu, media sosial juga bisa menjadi alat perubahan sosial seperti aktivisme digital, kampanye sosial, dan penyebaran kesadaran politik melalui media sosial. Ini menunjukkan sisi positif dari fenomena ini. Analisis berbasis ilmu sosial membantu kita menilai sejauh mana media sosial mampu memengaruhi pendapat orang banyak, membangun solidaritas, atau memunculkan perubahan nyata dalam masyarakat. Namun, kita juga harus kritis terhadap potensi penyebaran informasi yang salah atau manipulatif, karena dampak negatifnya bisa menimbulkan konflik atau polarisasi sosial (pembagian masyarakat).

Adapun kerangka berpikir ilmu sosial juga membantu masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Misalnya, kita memahami bagaimana hoaks dan berita palsu tersebar, jadi kita bisa lebih kritis sebelum membagikan informasi itu. Dengan memahami dinamika tekanan sosial di dunia maya, kita juga bisa lebih peduli terhadap kesehatan mental dan membangun interaksi yang lebih sehat. Singkatnya, kerangka berpikir ilmu sosial bukan hanya soal menganalisis fenomena, tapi juga soal memberikan pemahaman yang bisa diterapkan untuk kehidupan sehari-hari.

Jadi kesimpulannya, menganalisis dampak sosial itu tidak cukup dengan hanya menyatakan bahwa ia “bagus” atau “buruk”. Dengan menggunakan kerangka berpikir ilmu sosial, kita dapat memahami dampaknya dari berbagai sisi: yaitu seperti hubungan sosial, identitas diri, budaya, dan aliran informasi. Hal ini membantu kita menggunakan media sosial dengan lebih cerdas, memanfaatkan manfaatnya dan mengurangi dampak negatifnya terhadap diri sendiri dan Masyarakat.

Baca juga: Dakwah Walisongo Dalam Mengislamkan Nusantara

Singkatnya, kerangka berpikir ilmu sosial itu seperti alat bantu untuk mengerti masyarakat. Positifnya, kita bisa lebih paham perilaku manusia, ambil keputusan lebih tepat, dan lebih empati sama orang lain. Tapi kalau dipakai sembarangan, bisa bikin analisis terlalu ribet, bias (sudut pandang yang miring), atau susah dipahami. Jadi yang intinya, “Media sosial itu kayak pisau: tergantung bagaimana kita gunakannya. Dan dengan kacamata ilmu sosial, kita bisa menggunakannya lebih bijak”.

kutipan itu menyampaikan dua hal. Yang pertama, media sosial itu sendiri tidak ada yang “sempurna” atau “sangat buruk” secara pasti seperti pisau yang bisa dipakai buat memotong makanan (manfaat) atau bahkan menyakiti orang (bahaya), tergantung siapa dan bagaimana menggunakannya. Arti yang Kedua, jika kita menggunakan kerangka berpikir ilmu sosial, kita bisa melihat dampak media sosial lebih luas dan mendalam (bukan hanya permukaan), sehingga kita bisa membuat keputusan yang lebih cerdas saat menggunakannya misalnya, menghindari filter bubble atau tidak terlalu terjebak dalam Fomo (Fear Of Missing Out).

Penulis: Khodijah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *