Kebaikan Tanpa Menjadi Korban: Prinsip Perlindungan Diri dan Kebijaksanaan Sosial Dalam Perspektif Tafsir Tsa’laby

Kebaikan Tanpa Menjadi Korban

Milenianews.com, Mata Akademisi – Bernama lengkap Abu Ishaq Ahmad ibn Ibrahim Al Tsa’laby Al Naisabury, beliau dikenal sebagai ulama besar dalam bidang tafsir al Qur’an. Karya monumentalnya, Tafsir Al Kasyf wa Al Bayan, berusaha mengumpulkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan riwayat dari generasi awal Islam. Di dalamnya termuat, antara lain, penafsiran para sahabat dan tabi’in tentang bagaimana bersikap dalam pergaulan sosial.

Di masyarakat, kita sering mendengar ungkapan seperti, “Jangan terlalu baik sama orang,” atau “Boleh baik, tapi jangan berlebihan.” Ungkapan ini muncul dari pengalaman bahwa kebaikan tak jarang dibalas dengan sikap tidak semestinya dimanfaatkan, dianggap kelemahan, atau diabaikan. Realitas ini memicu pertanyaan: di manakah batas kebaikan yang seharusnya?

Baca juga: Bagaimana Interkoneksi Bahasa dan Pesan Moral dalam Surah Al-Qari’ah Menurut Perspektif Tafsir Bintu Syathi: Analisis Komparatif dengan Tafsir Klasik dan Relevansi Kontemporer

Pertanyaan ini menemukan jawaban prinsipil dalam ajaran Islam, yang mengarahkan niat sekaligus mengatur praktiknya. Pada hakikatnya, tujuan akhir dari berbuat baik adalah meraih ridha Allah, bukan sekadar penghargaan manusia. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 195

وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri…” (QS. Al-Baqarah: 195)

Kita didorong untuk berinfak di jalan Allah, sekaligus dilarang menjerumuskan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Menurut penafsiran praktis Ibnu Abbas dan As-Suddi yang dikutip oleh Ats-Tsa’labi dalam tafsirnya Al-Kasyf wa Al-Bayan, larangan ini mencakup sikap enggan berinfak dengan alasan “tidak punya apa-apa”, yang justru dapat menutup pintu rezeki dan pahala. Dengan demikian, kebaikan finansial tetap harus dimulai, sekecil apa pun, dengan niat yang lurus karena Allah.

Namun, Islam juga sangat menekankan keseimbangan dan kebijaksanaan. Konsep ini dijelaskan dengan indah dalam QS. Al-Furqan: 67

وَٱلَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

“Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu) ialah orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan (infak mereka) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

Para mufassir seperti Ibnu Abbas menjelaskan bahwa boros (israf) bukan sekadar soal jumlah besar, tetapi adalah mengeluarkan harta berapa pun nilainya untuk kemaksiatan. Sebaliknya, kikir (qatar) adalah menahan hak yang wajib, seperti zakat dan nafkah. Dengan kata lain, tolok ukurnya adalah halal-haram dan kewajiban, bukan semata nominal. Ilustrasi dari Nabi Ibrahim ‘alaihisalam menggambarkan sikap qawam dengan sempurna: memberi cukup untuk kebutuhan tanpa sampai membuat keluarganya kelaparan (bukan kikir), namun juga tidak berlebihan hingga dicap boros. Inilah prinsip kecukupan dan kebijaksanaan yang menjadi panduan.

Prinsip seimbang ini diperkuat oleh panduan kerja sama sosial dalam QS. Al-Ma’idah: 2,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰن….

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”

Ats-Tsa’labi dalam tafsirnya Al-Kasyf wa Al-Bayan memberikan batasan yang jelas yaitu kebaikan yang kita sebarkan harus berada dalam koridor ketaatan, bukan untuk mendukung kezaliman atau kemaksiatan. Bahkan, Nabi ﷺ memberikan alat ukur batin yang mendalam untuk membedakan kebaikan (al-birr) dan dosa (al-itsm). Kebaikan adalah apa yang menenangkan hati dan sesuai dengan akhlak mulia. Sementara dosa adalah apa yang menggelisahkan hati nurani, meskipun orang lain mungkin memberi “fatwa” yang membolehkannya. Inilah pendidikan kepekaan moral tertinggi: hati nurani yang terhubung dengan fitrah dan takwa adalah barometer spiritual pertama. Jika hati sudah gelisah, itu adalah tanda untuk berhenti dan mengevaluasi, meski secara formal terlihat “baik”.

Konsekuensi dari mengabaikan prinsip kehati-hatian dan keseimbangan ini bisa sangat fatal, sebagaimana diperingatkan dalam QS. Al-Hujurat: 6

فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَـٰلَةٍۢ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَـٰدِمِينَ

“Maka telitilah kebenarannya (tabayyun), agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu.”

Ayat ini menetapkan standar etika komunikasi dan sosial yang tinggi. Ia mengajarkan untuk tidak mudah menerima berita terutama dari sumber yang dipertanyakan kredibilitas moralnya tanpa klarifikasi. Kegagalan melakukan tabayyun bisa berakibat pada kezaliman, mencelakakan orang yang tidak bersalah hanya karena kecerobohan atau ikut-ikutan. Akhir dari semua itu dalah penyesalan mendalam, baik di dunia maupun di akhirat.

Baca juga: Kajian Teori Talak: Perselingkuhan Emosional Pada Media Sosial Yang Berujung Talak (Perceraian)

Jadi, islam tidak melarang kita untuk berbuat baik. Justru, kebaikan adalah perintah yang mulia. Namun, Islam membimbing kita agar kebaikan tersebut:

1. Diniatkan dengan ikhlas karena Allah, bukan untuk mengharapkan balasan manusia.

2. Dilaksanakan dengan hikmah dan seimbang, tidak ekstrem antara boros dan kikir, serta berada dalam koridor halal dan kewajiban.

3. Dijaga dengan kepekaan hati nurani yang menjadi detektor internal sebelum merujuk pada hukum formal.

4. Didahului oleh kehati-hatian dan klarifikasi (tabayyun) untuk memastikan kebaikan kita tidak justru menjadi alat kezaliman atau disalahgunakan.

Dengan panduan ini, kita bisa tetap menjadi pribadi yang dermawan dan baik hati, tanpa perlu menjadi korban eksploitasi atau, naudzubillah, terjerumus dalam membantu kemungkaran. Kebaikan yang ikhlas, proporsional, cerdas, dan bertanggung jawab adalah kebaikan yang sejati dan berkelanjutan.

Penulis: Aqma, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *