Milenianews.com, Mata Akademisi – Kasus polemik satire tentang pesantren yang diberitakan oleh Antara News memunculkan perhatian publik setelah sebuah program televisi di Indonesia menayangkan konten yang dianggap menyinggung lembaga pesantren. Tayangan tersebut memicu kegaduhan di masyarakat, terutama di kalangan santri, kyai, dan kelompok yang memiliki hubungan emosional dengan pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang memiliki sejarah panjang dalam membentuk karakter bangsa. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kemudian mengeluarkan pernyataan resmi yang meminta seluruh pihak untuk menghormati pesantren dan tidak menjadikan lembaga ini sebagai objek olok-olok. Tindakan Menag tersebut dilatarbelakangi oleh kekhawatiran bahwa satire semacam ini tidak hanya melukai perasaan masyarakat pesantren, tetapi juga dapat menciptakan ketegangan, polarisasi, dan menurunkan rasa percaya masyarakat terhadap media. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana komunikasi di ruang publik membutuhkan sensitivitas budaya, khususnya ketika menyentuh nilai agama dan identitas kolektif masyarakat.
Baca juga: Ketergantungan Media Sosial (Tik Tok) dalam Mengikuti Tren Budaya atau Gaya di Indonesia
Dalam perspektif teori komunikasi Joseph A. DeVito, kasus ini dapat dianalisis melalui konsep Content and Relational Messages yang menyatakan bahwa setiap pesan memiliki dua dimensi: pesan isi (content message) dan pesan relasional (relational message). Pada tingkat pesan isi, tayangan satire tersebut mungkin dimaksudkan sebagai kritik sosial atau sekadar humor. Namun, dalam komunikasi, pesan isi bukanlah satu-satunya elemen yang menentukan bagaimana pesan tersebut diterima. Justru pesan relasional—yakni bagaimana pesan tersebut memengaruhi hubungan, perasaan, dan persepsi penerima—memiliki dampak lebih kuat dalam komunikasi antarmanusia, terutama pada konteks budaya yang sensitif. Dalam kasus ini, pesan relasional yang ditangkap masyarakat adalah bahwa satire tersebut menggambarkan pesantren sebagai sesuatu yang inferior, tertinggal, atau layak ditertawakan. Makna relasional inilah yang kemudian memicu reaksi emosional berupa kemarahan, kekecewaan, dan rasa dilecehkan. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi relasional sering kali menjadi faktor utama dalam konflik komunikasi di ruang publik.
DeVito juga menjelaskan pentingnya konteks interpersonal dalam memahami bagaimana pesan diterima. Walaupun kasus ini terjadi dalam ruang publik dan melibatkan media massa, pola penerimaan pesan tetap bersifat interpersonal karena publik menginterpretasikan pesan berdasarkan pengalaman pribadi, nilai budaya, dan identitas kelompok. Ketidakpekaan komunikator (dalam hal ini, media) terhadap nilai budaya pesantren menunjukkan adanya kegagalan dalam aspek empati komunikasi. Dalam teori Interpersonal Communication, DeVito menegaskan bahwa komunikasi yang efektif mensyaratkan adanya kemampuan melihat dari perspektif orang lain serta memahami konteks emosional dan sosial penerima. Ketika pihak media tidak mempertimbangkan nilai sakral dan kehormatan yang melekat pada pesantren, maka proses komunikasi telah mengabaikan unsur empati yang menjadi fondasi penting hubungan yang sehat antara komunikator dan audiens.
Selain itu, dinamika konflik yang muncul dalam kasus ini dapat dianalisis melalui teori Relationship Stages dari DeVito yang membagi perkembangan hubungan menjadi lima tahap: contact, involvement, intimacy, deterioration, dan dissolution. Hubungan antara media dan masyarakat pesantren sebelumnya dapat dikatakan berada pada tahap involvement atau intimacy, karena selama ini media sering bekerja sama dengan tokoh pesantren untuk menghasilkan konten edukatif atau pemberitaan positif. Namun, setelah munculnya tayangan satire tersebut, hubungan tersebut bergerak ke tahap deterioration. Pada tahap ini terjadi penurunan kepercayaan, munculnya prasangka, dan meningkatnya sensitivitas negatif. Publik pesantren merasa bahwa media tidak menghargai nilai yang mereka junjung tinggi, sehingga jarak emosional antara media dan masyarakat pun bertambah. Apabila tidak ada langkah pemulihan, hubungan ini bahkan dapat memasuki tahap dissolution, ditandai dengan penolakan, boikot, atau hilangnya kredibilitas media di mata masyarakat pesantren.
Langkah Menteri Agama dalam merespons situasi ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya relationship repair menurut DeVito. Melalui pernyataannya, Menag berusaha meredakan konflik, memulihkan perasaan komunitas pesantren, serta mendorong pihak media untuk lebih sensitif terhadap nilai keagamaan dalam tayangan mereka. Pemulihan hubungan ini penting karena komunikasi yang buruk antara media dan masyarakat dapat menimbulkan ketegangan sosial yang lebih luas. Dengan mengajak publik untuk menghormati pesantren, Menag tidak hanya menyampaikan pesan normatif, tetapi juga mencoba memperbaiki hubungan relasional yang rusak akibat tayangan tersebut. Upaya ini menjadi langkah penting dalam menjaga stabilitas sosial dan mendorong terciptanya komunikasi yang lebih etis di ruang publik.
Baca juga: Kasus Anita Tumbler tTuku di KRL dalam Teori Lingkungan Semi
Dari perspektif dakwah, kasus ini juga menunjukkan bahwa media massa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga simbol moral dan budaya yang telah berkontribusi besar bagi sejarah Indonesia. Oleh karena itu, representasi pesantren dalam media seharusnya dilakukan secara hati-hati dan penuh penghormatan. Dalam konteks komunikasi dakwah, prinsip bil hikmah dan mau‘izhah hasanah menekankan pentingnya menyampaikan pesan yang baik, santun, dan tidak menyinggung kelompok lain. Satire yang menyentuh aspek keagamaan tidak hanya berpotensi menimbulkan konflik, tetapi juga dapat merusak citra media sebagai sumber informasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Secara keseluruhan, analisis teori DeVito menunjukkan bahwa konflik komunikasi sering kali muncul bukan semata-mata karena isi pesan, tetapi karena makna relasional yang ditangkap oleh penerima. Kasus satire pesantren memberikan pelajaran penting bahwa dalam komunikasi publik, terutama di masyarakat multikultural seperti Indonesia, kepekaan budaya dan etika komunikasi harus menjadi pertimbangan utama. Kehadiran media sebagai agen informasi seharusnya memperkuat harmoni sosial, bukan sebaliknya memicu ketegangan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama antara media, pemerintah, dan masyarakat untuk terus menjaga ruang komunikasi yang sehat, beretika, dan menghormati nilai keberagaman.
Penulis: Salsabiilaa Nurmuhamad, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













