Jadi Warga Negara Indonesia Seutuhnya Bukan Sekadar Hafal Pancasila

pancasila

Mata Akademisi, Milenianews.com – Saat negara Pancasila tak kunjung tiba; saat republik jadi oligarki; saat KKN jadi tradisi; saat konglomerasi jadi penjajah baru; saat pejabat jadi penjahat, apa arti dan maknanya menjadi warga negara Indonesia?

Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi jawabannya tidak sungguh-sungguh kita renungkan. Dalam praktik sehari-hari, makna kewarganegaraan sering direduksi menjadi hal-hal administratif dan prosedural belaka: punya KTP, tercatat di DPT, bayar pajak, dan cukup hadir saat pemilu. Namun, apakah dengan memiliki NIK dan ikut mencoblos lima tahun sekali seseorang sudah sungguh menjadi bagian dari bangsa ini?

Baca juga: Ekonomi Pancasila? Ingat, Fondasinya Koperasi!

Di tengah derasnya arus digitalisasi, individualisme ekonomi, dan reduksi politik menjadi transaksi elektoral, kita perlu mendefinisikan ulang arti menjadi warga negara. Bukan sekadar status legal, tetapi sebagai postur hidup manusia seutuhnya dalam komunitas bernegara. Dan dalam konteks Indonesia, satu-satunya jawaban fundamental yang bisa kita gali datang dari dasar negara itu sendiri: Pancasila.

Antropologi Politik Pancasila

Kita terlalu lama melihat warga negara sebagai roda dalam mesin: patuh pada hukum, bayar pajak, dan tidak bikin gaduh. Ini bayangan rezim administratif yang hanya memerlukan statistik, bukan manusia. Padahal, warga negara Pancasila adalah makhluk moral, intelektual, dan sosial. Ia bukan objek kekuasaan, melainkan subjek pembentuk peradaban. Ia berpikir, merasa, mencipta, dan bertanggung jawab terhadap sesama dan masa depan bangsa.

Pancasila menawarkan semacam antropologi politik—sebuah pandangan utuh tentang manusia dalam kehidupan berbangsa. Lihat saja lima silanya:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa: Warga adalah makhluk spiritual. Ia sadar bahwa hidupnya bukan sekadar soal materi dan algoritma. Ia ber-Tuhan sekaligus beragama.

  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Warga adalah makhluk bermartabat. Ia menghargai sesama sebagai pribadi, bukan sebagai angka produksi. Ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.

  3. Persatuan Indonesia: Warga hidup dalam ikatan kebangsaan dan kenegaraan. Ia bukan pecahan suku, agama, atau kelas, melainkan bagian dari satu tubuh bernama Indonesia.

  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan: Warga adalah makhluk demokratis. Ia berpikir, berdiskusi, dan mengambil keputusan bersama dengan akal sehat melalui musyawarah.

  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Warga berhak sekaligus wajib menuntut dan memperjuangkan keseimbangan sosial, agar tak ada yang tenggelam dalam jurang ketimpangan. Tidak ada satupun warga yang tertinggal secara politik, sosial, maupun ekonomi.

Konsep “Warga Negara Pancasila” menolak model manusia yang diringkus dalam angka dan akun. Ia bukan sekadar pemilik saldo, pendaftar kartu bantuan, atau pengisi kolom statistik. Ia adalah manusia utuh—yang berpikir, bermoral, dan bersosial.

Warga seperti itu tumbuh dari pendidikan yang tidak hanya menekankan nilai ujian, tetapi membangun kesadaran diri dan tanggung jawab sosial. Ia belajar bernalar, berdialog, dan berempati. Ia tidak hanya didorong untuk sukses pribadi, tetapi juga untuk berkontribusi bagi sesama.

Secara spiritual, warga negara Pancasila sadar akan transendensi moral. Ia hidup bukan untuk mengejar untung pribadi, tetapi untuk kebaikan bersama. Dalam dunia yang makin kapitalistik dan kompetitif, kesadaran ini adalah antitesis yang penting. Kita tidak bisa membiarkan pasar menentukan seluruh makna hidup berbangsa.

Secara sosial, warga negara Pancasila membangun jejaring kepercayaan—solidaritas horizontal (gotong-royong) yang menjadi fondasi masyarakat sentosa. Ia aktif di komunitas, bukan pasif di akun media sosial. Ia tahu bahwa hidup bersama membutuhkan keterlibatan, bukan hanya opini.

WNI sebagai Manusia Indonesia Seutuhnya

Warga Negara Indonesia sejatinya bukan makhluk pasif dalam sistem. Ia bukan konsumen demokrasi. Ia adalah pelaku sejarah, yang hidup dengan akal sehat, hati nurani, dan semangat kolektif. Ia tidak menyerahkan hidupnya pada rezim data, tetapi merancang masa depannya dengan kesadaran penuh.

Baca juga: Prabowonomics versus Serakahnomics: Ketika Masa Depan Ekonomi Dipertaruhkan

Maka, membangun Negara Pancasila sejati artinya menghadirkan ekosistem sosial-politik-budaya yang memungkinkan setiap warganya dan komunitas menjadi versi terbaik dari dirinya—tanpa takut tertinggal, tanpa ditindas oleh modal, dan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa.

Warga Negara Indonesia seharusnya tidak hanya bisa menghafal lima sila. Warga Negara Indonesia adalah manusia seutuhnya, yang berpikir, beriman, bersolidaritas, dan bertindak demi keadilan sosial. Itulah arti sejati menjadi Warga Negara Pancasila. Dan itu tidak bisa ditunda lagi.

Penulis: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre & Ryo Disastro, Peneliti Senior Banrehi

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *