Mata Akademisi, Milenianews.com – Framing isu anti Syi’ah banyak terjadi akibat perbedaan ideologi keagamaan, pola fikir, Sejarah, maupun sosio kultural. Faktor ideologi seperti mereka menolak penafsiran intelektual Islam dan menganjurkan penafsiran langsung, serta menolak sistem taqlid dan mazhab. Ideologi ini menolak pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, serta bersatu di bawah bendera antiwesternisasi dan antipluralisme. Faktor Sejarah terutama di Indonesia secara kultural dianggap sebagai negara dengan mayoritas Islam Sunni. Pola pikir mayoritas ini menciptakan asumsi normatif yang mendasari pemahaman arus utama Islam, sehingga meniadakan hak kelompok minoritas muslim seperti Syiah untuk menjalankan kewajiban, norma, dan ritual keagamaan.
Melalui pendekatan kritis dan dibahas bagaimana isu anti Syiah dibangun, serta konsekuensinya bagi kerukunan beragama. Studi ini akan mengkaji bagaimana framing anti-Syi’ah memengaruhi hubungan antarumat beragama, termasuk potensi kekerasan dan diskriminasi. Media, baik mainstream maupun digital, sering menjadi saluran penyebaran hoaks tentang Syi’ah Media publik ini memainkan peran kunci dalam membentuk opini publik tentang Syiah melalui pemberitaan sepihak yang tidak berimbang. Contoh kasus konflik Sampang menunjukkan bagaimana media publik konflik sebagai “pertikaian Sunni-Syiah”, tanpa menggali akar masalah seperti adanya persaingan sumber daya atau politik lokal.
Baca juga: Faham Jabariyah dan Qodariyah: Dari Akar Sejarah Hingga Relevansi Masa Kini
Pemberitaan ini memperkuat persepsi bahwa Syiah adalah “aliran sesat” yang harus diwaspadai. Indonesia memiliki sejarah panjang kerukunan antarumat beragama, tetapi isu sektarian seperti anti Syi’ah dapat memicu perpecahan. Memahami framing ini membantu mencegah eskalasi konflik.
Identitas politik konflik Sunni dan Syi’ah telah lama ada. Hal ini semakin memburuk ketika beberapa individu menggunakan sentimen anti Syi’ah untuk menggabungkan hidayah dengan cerita perwalian Sunni. Meskipun ada banyak penganut Syi’ah yang hidup berdampingan secara damai di dalam komunitas, retorika digunakan lagi dalam pemilihan untuk mendorong basis agama dan meningkatkan antipati publik terhadap objek.
Perdebatan tentang siapa yang akan mengambil alih posisi Nabi Muhammad Saw masih sering diulang-ulang, tetapi hampir selalu diputar sedemikian rupa untuk alasan politik daripada alasan sektarian yang sebenarnya. Dari sisi lain, bahkan yang lebih memperburuk masalah seperti ISIS mengkonstruksi kelompok Syi’ah sebagai murtad, buat alasan untuk melakukan kekerasan atas dasar mereka dari sudut pandang teologi, sosial politik, yang semakin memperparah perang antar sekte.
Selain itu, media sosial menjadi sarana penyebaran hoaks dan konten radikal yang mendemonisasi sisi negatif Syiah. Seperti, Video ceramah ustadz yang menyerang doktrin Syiah seringkali tanpa konteks yang lengkap menjadi viral dan membuat memperkuat kebencian. Dampaknya, masyarakat awam yang tidak memiliki akses pada literasi keagamaan yang komprehensif dan mudah terpengaruh oleh berita negatif ini.
Organisasi massa (Ormas) dan tokoh agama tertentu berkontribusi besar dalam menyebarkan stigma anti Syiah. Fatwa MUI tahun 2013, misalnya, menyebutkan bahwa adanya “penyimpangan” dalam doktrin Syiah, meskipun tidak secara terang-terangan melarangnya. Fatwa ini digunakan sebagai bentuk pengakuan untuk tindakan diskriminatif, seperti pembubaran pengajian Syiah atau penolakan pemangunan rumah ibadah.
Stigma anti-Syiah di Indonesia sebagian besar dipegang oleh ormas dan otoritas agama, terutama karena fatwa MUI Indonesia tahun 2013 yang menggambarkan keyakinan Syiah sebagai ‘deviasi’ tanpa larangan langsung. Karena fatwa MUI sering digunakan oleh pejabat negara untuk membenarkan pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan kebebasan beragama, mereka jelas berfungsi sebagai alat legitimasi untuk diskriminasi yang mengarah pada tindakan seperti pembubaran pendidikan Syiah, penutupan tempat ibadah Syiah, dan bahkan penghancuran tempat ibadah Syiah.
Selain itu, penggambaran Islam sebagai “Syiah” dan pernyataan agresif dari pihak non-negara seperti Aliansi Anti-Syiah Nasional telah meningkatkan konflik di masyarakat dan mendukung. Diskriminasi sistemik ini diperparah oleh narasi budaya yang lebih luas yang berusaha membungkam suara Syiah, terlepas dari upaya mereka untuk mengadvokasi perdamaian dan pluralisme melalui saluran media mereka.
Kelompok seperti FPI (Front Pembela Islam) atau GNPF-MUI juga aktif mengampanyekan anti Syiah melalui aksi unjuk rasa dan tekanan kepada pemerintah. Mereka menuduh Syiah sebagai “proxy Iran” yang ingin merusak Sunni Indonesia, meski tanpa bukti empiris. Berita ini mengabaikan fakta bahwa tidak semua penganut Syiah di Indonesia terafiliasi dengan politik Iran.
Pandangan masyarakat juga semakin nyata. Di beberapa daerah, warga Sunni dan Syiah yang sebelumnya hidup rukun dan menjadi terpecah akibat hasutan tokoh radikal. Anak-anak sekolah dari keluarga Syiah kerap mengalami bullying, sementara bisnis milik Syiah dihindari dengan alasan “tidak halal”.
Dampak jangka panjangnya adalah keadaan Syiah dari ruang publik banyak penganut Syiah yang menyembunyikan identitasnya demi keamanan, atau berpindah mazhab secara paksa dan ini bertentangan dengan prinsip kebhinekaan dan hak konstitusional sebagai warga negara. Dari WhatsApp, Facebook, Twitter (X), hingga Telegram, disinformasi dan konten yang provokatif tentang Syiah beredar dengan sangat cepat. Sering disertai dengan klaim yang sangat mengada-ada, konten-konten tersebut seperti menuduh bahwa Syiah menghalalkan nikah mut’ah dengan anak dibawah umur atau didanai Iran untuk merongrong Kedaulatan Indonesia.
Narasi-narasi ini tampaknya tidak dibuat secara sembarangan, dan memang sengaja untuk menebarkan ketakutan dan kebencian terhadap masyarakat Syiah, sampai stigma negatif yang sudah ada semakin menguat.
Radikalisasi digital tidak dengan sendirinya memperparah masalah ini. Ditambah lagi dengan pemanfaatan algoritma media sosial dan bot terpisah yang sengaja dibuat. Dalam hal ini, YouTube dan TikTok bisa jadi secara tidak langsung melakukan “kejahatan” dengan merekomendasikan konten anti Syiah lewat algoritm yang memang mendorong iklan dan konten sensasional cyber troop dan buzzer account bisa memberikan branding dan menyebarkan hashtag bomber yang lebih bersifat hate speech, seperti Syi’ah Bukan Islam untuk keuntungan politik tertentu, seakan-akan mengada-ada pandangan simpatisan Islam Syiah. Dengan semua ini, masyarakat luas khususnya pengguna media sosial yang notabene less educated akan terjebak di dunia yang dikenal sebagai echo chamber tempat di mana hanya mendapatkan satu informasi dari berbagai sisi tanpa mendengarkan narasi lain yang lebih seimbang.
Upaya melawan isu anti Syiah dilakukan oleh organisasi seperti NU melalui program antaraliran. Lembaga seperti Lakpesdam NU yang aktif mengedukasi masyarakat tentang keragaman dalam Islam, termasuk sejarah hubungan Sunni Syiah yang kompleks. Beberapa pesantren juga mengajarkan pendekatan toleransi, seperti Pesantren Al-Hikam Malang yang membuka ruang diskusi tentang Syiah.
Masalah ini perlu dipecahkan melalui kerja sama antara pemerintah, penyedia platform digital, dan masyarakat sipil. Penegakan hukum yang lebih ketat pada penyebaran konten kebencian harus sejalan dengan upaya besar literasi digital agar masyarakat dapat membedakan informasi yang valid dan yang merupakan disinformasi. Di samping itu, para pendeta moderat juga perlu lebih proaktif mendorong narasi toleran dan menanggapi hoaks yang ada.
Tanpa tindakan nyata, disinformasi disertai persekongkolan informasi berbahaya akan tetap mengintai sebagai salah satu ancaman serius terkait struktur kohesi sosial berasaskan demokrasi yang ada di Indonesia.
Melihat fenomena pemframingan anti Syiah di Indonesia, yang berasal dari perpecahan ideologis antara ‘Sunni’ sebagai kelompok mayoritas dan ‘Syiah’ sebagai minoritas. Perbedaan dalam interpretasi Islam, sistem sektenya, dan penolakan terhadap taqlid memberikan dasar bagi narasi negatif yang sudah ada sebelumnya tentang Syiah. Ditambah dengan budaya sosio, sejarah, dan kontinuitas sejarah yang dominan memperkuat kerangka ini di mana norma Sunni yang dominan menenggelamkan hak-hak komunitas Syiah.
Politik identitas memperburuk situasi di mana isu Anti Syiah sering diangkat sebagai titik awal unjuk rasa, apalagi dalam konteks pemilihan, baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum.
Gagasan menyesatkan “membela doktrin Sunni” mendorong orang untuk bertindak, sementara kenyataan bahwa banyak Syiah hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat dan klaim tersebut dengan nyaman diabaikan.
Penanggulangan sudah dilakukan oleh beberapa pihak. Dalam konteks ini, NU melalui Lakpesdam dan beberapa pesantren seperti Al-Hikam Malang, telah secara aktif mendidik masyarakat pada keragaman dalam agama Islam. Namun, solusi komprehensif yang memiliki lebih dari satu unsur, seperti yang dipetakan oleh banyak pihak, masih memerlukan kolaborasi.
Di sisi lain, literasi digital perlu diperbaiki guna membuat masyarakat mampu menemukan informasi yang autentik dan bukan hoaks. Penegakan hukum terhadap konten kebencian atau diskriminasi masih kurang. Peran moderat dalam agama juga turut menahan penyebaran Syi’ah dengan narasi non toleran yang membaja.
Pada umumnya, anti Syi’ah di Indonesia adalah kombinasi dari teologi, stais politik, media, dan media sosial yang terbagi dalam multi budaya. Tidak dalam skala kecil, hal ini diharapkan memberikan dampak bagi komunitas Syi’ah sebagai minoritas, bahkan dalam jangka panjang bisa mencetus bagi bangsa. Holistik di sini bisa diartikan menyelesaikan persoalan dengan pendekatan keilmuan dan melibatkan banyak pihak.
Penulis: Dewi Maharani, Dosen serta Husni Lely, Neza Nurul Fajriel, Nawal Syatila, Mahasiswa Institut Ilmu Al- Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.