Milenianews.com, Mata Akademisi — Bayangkan Anda sedang berada di dalam mobil, bersiap menempuh perjalanan panjang menuju tujuan yang belum pernah dikunjungi. Anda menyalakan GPS, memasukkan alamat, dan dalam hitungan detik sistem itu menghitung rute tercepat. Peta digital, algoritma kompleks, data lalu lintas real time, serta suara navigasi yang netral seakan menampilkan wajah sains yang murni, objektif, dan bebas nilai.
GPS, dalam dirinya sendiri, hanyalah sebuah alat. Ia tidak peduli apakah penggunanya seorang dokter yang hendak menyelamatkan nyawa atau seorang penjahat yang melarikan diri. Ia tidak membedakan apakah rute yang dipilih melewati jalan tol yang mahal atau jalan desa yang lengang. Ilmu di baliknya—matematika, geometri, teori relativitas umum Einstein yang memperhitungkan pergeseran waktu satelit, serta ilmu komputer—dirumuskan untuk menggambarkan realitas sebagaimana adanya. Inilah wajah ilmu bebas nilai: pengetahuan yang berdiri independen dari etika, budaya, maupun subjektivitas manusia.
Ilmu yang Netral Bertemu Dunia Bernilai
Namun, situasi berubah ketika roda mobil mulai bergerak dan arahan GPS diikuti. Ilmu yang bebas nilai itu segera masuk ke dalam dunia yang tidak bebas nilai. Pilihan antara rute tercepat, rute terpendek, atau menghindari jalan tol tidak lagi semata persoalan matematika. Pilihan tersebut mencerminkan nilai ekonomi, kepedulian lingkungan, hingga preferensi estetika penggunanya.
Lebih jauh, algoritma yang tampak netral kerap menyimpan bias tersembunyi. Apakah GPS selalu mengarahkan pengguna ke jalan-jalan utama di kawasan perkotaan, sambil secara tidak sadar menghindari permukiman miskin? Siapa yang menentukan data mana yang dianggap relevan? Perusahaan pengembang bisa saja memprioritaskan efisiensi lalu lintas komersial dibandingkan aksesibilitas komunitas terpencil. Pada titik ini, GPS berhenti menjadi sekadar alat dan mulai berfungsi sebagai agen nilai yang mencerminkan kepentingan, prioritas, dan bias pembuatnya.
Ilmu Memberi Cara, Nilai Menentukan Tujuan
Ketegangan antara ilmu bebas nilai dan ketidakbebasan nilai menjadi nyata dalam praktik sehari-hari. Seorang pengemudi, misalnya, menggunakan GPS untuk menghindari kemacetan dengan melewati jalan sempit di pemukiman warga. Secara teknis, keputusan tersebut optimal. Namun, konsekuensinya tidak netral: meningkatnya polusi udara, kebisingan, bahkan potensi bahaya bagi anak-anak yang bermain.
Di sini terlihat jelas bahwa ilmu hanya menjawab pertanyaan “bagaimana caranya sampai”, sementara etika dan kebijaksanaan sosial menjawab pertanyaan “haruskah kita lewat sini”. Ilmu menyediakan sarana, tetapi nilai manusia menentukan arah dan batasannya.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Teknologi, Kebijakan, dan Muatan Nilai
Contoh yang lebih kompleks dapat ditemukan dalam kebijakan pengelolaan lalu lintas kota berbasis data GPS. Data yang dikumpulkan bersifat bebas nilai dan dapat dianalisis secara ilmiah. Namun, keputusan apakah optimalisasi lalu lintas diarahkan untuk kendaraan pribadi, transportasi umum, atau pesepeda merupakan keputusan politik yang sarat nilai.
Nilai-nilai seperti keadilan, keberlanjutan, dan inklusivitaslah yang membentuk hasil akhir. Bahkan ketika GPS melakukan kesalahan—mengarah ke jalur berbahaya atau lokasi yang tidak semestinya—yang dipersoalkan bukan ilmunya, melainkan tanggung jawab manusia di balik sistem tersebut: akurasi data, pembaruan sistem, dan desain peringatan. Tanggung jawab ini sepenuhnya berada dalam ranah nilai.
Ilmu dan Nilai sebagai Relasi Simbiotik
Perjalanan bersama GPS menjadi metafora yang kuat untuk memahami hubungan simbiotik antara ilmu dan nilai. Ilmu ibarat kendaraan dan peta digitalnya: netral, akurat, dan efisien. Nilai-nilai kemanusiaan adalah sopirnya, yang memegang kemudi, menentukan tujuan, dan bertanggung jawab atas dampak perjalanan.
Tanpa nilai, ilmu dapat membawa manusia ke tepi jurang dengan efisiensi sempurna. Sebaliknya, tanpa ilmu, nilai-nilai dapat kehilangan arah dan efektivitas. Dikotomi ilmu bebas nilai versus tidak bebas nilai pada akhirnya tampak keliru. Yang ada adalah sebuah siklus: ilmu lahir dari rasa ingin tahu manusia, lalu diterapkan dalam dunia bernilai, memunculkan konsekuensi etis baru, yang kembali memicu pencarian ilmiah berikutnya.
Menjadi Navigator yang Bijak
Sebagai pengguna GPS—baik secara literal maupun metaforis—kita dituntut menjadi navigator yang bijak. Objektivitas ilmu perlu dihargai, namun peta nilai yang kita bawa juga harus disadari. Bias algoritma perlu dipertanyakan, dan setiap teknologi harus diarahkan pada tujuan yang lebih manusiawi.
Pada akhirnya, ilmu tanpa nilai adalah buta, sementara nilai tanpa ilmu adalah lumpuh. Keduanya bukan musuh, melainkan pasangan tak terpisahkan dalam perjalanan peradaban. Seperti mobil dan sopirnya, ilmu memberi kecepatan dan presisi, sementara nilai menentukan arah, tanggung jawab, dan makna dari perjalanan itu sendiri.
Penulis: Zhaqilla Nurul Anbiyaa, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













