Milenianews.com, Mata Akademisi – Dalam era digital saat ini, penyebaran informasi yang cepat melalui media sosial membawa dampak besar bagi masyarakat. Salah satu masalah utama yang muncul adalah maraknya hoaks atau berita palsu yang dapat menimbulkan kepanikan, kebingungan, dan ketidakstabilan sosial. Contohnya adalah hoaks yang beredar pada November 2025 yang menyatakan bahwa produk non-halal akan dianggap ilegal dan dilarang dijual mulai tahun 2026. Klaim ini bahkan menyebut adanya fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan resolusi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mewajibkan seluruh produk makanan, minuman, dan kosmetik untuk bersertifikat halal. Berita tersebut menimbulkan keresahan, panic buying, dan kenaikan harga produk makanan dan minuman yang bersifat halal maupun non-halal.
Baca juga: Objektivitas Ilmiah di Era Krisis: Dari Cermin Datar Menuju Kompas Etis
Namun, setelah diverifikasi oleh lembaga resmi seperti Kominfo Purworejo, Tribratanews Polri, Tempo Cek Fakta, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), klaim tersebut terbukti hoaks. Tidak ada fatwa MUI atau resolusi PBB yang melarang penjualan produk non-halal secara total. Yang berlaku adalah Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU 33/2014) yang mewajibkan label halal pada produk tertentu mulai 17 Oktober 2026, sementara produk non-halal tetap boleh dijual dengan label komposisi yang jelas.
Dalam konteks Islam, prinsip tabayyun atau verifikasi berita sangat ditekankan dalam Al-Qur’an, khususnya pada Surah Al-Hujurat ayat 6, yang mengingatkan agar umat memeriksa kebenaran informasi sebelum menerima dan menyebarkannya. Pendekatan filosofis Islam dalam mengkaji kebenaran pun bisa menggunakan tiga teori utama, yaitu teori korespondensi, teori koherensi, dan teori pragmatis. Ketiga teori ini memberikan kerangka pemikiran yang dapat diterapkan untuk memahami dan mengatasi masalah hoaks seperti kasus “produk non-halal ilegal” ini.
Teori korespondensi menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. Dalam konteks hoaks mengenai produk non-halal yang dianggap ilegal mulai tahun 2026, klaim tersebut dapat diuji melalui pemeriksaan fakta dari sumber resmi. Berdasarkan informasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), tidak terdapat fatwa atau peraturan yang melarang penjualan produk non-halal secara keseluruhan. Yang ada adalah peraturan yang mewajibkan adanya label halal bagi produk makanan, minuman, dan kosmetik tertentu untuk memberikan transparansi kepada konsumen.
Selain itu, pemeriksaan fakta oleh media kredibel seperti Tempo dan klarifikasi dari Pemerintah Kota Tangerang juga menegaskan bahwa klaim tersebut merupakan informasi yang menyesatkan. Realitas di lapangan menunjukkan produk non-halal masih diperjualbelikan dengan ketentuan label yang sesuai. Oleh sebab itu, klaim hoaks ini tidak koresponden dengan fakta faktual yang dapat diverifikasi secara objektif.
Teori koherensi menilai kebenaran dari kesesuaian suatu pernyataan dengan sistem pengetahuan atau nilai yang sudah mapan. Dalam hal ini, klaim bahwa produk non-halal akan dilarang, bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam ajaran Islam yang dikenal fleksibel dan toleran terhadap makanan dan minuman dari kalangan Ahlul Kitab, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Maidah ayat 5. MUI juga memiliki fatwa yang mendukung transparansi sertifikasi halal tanpa melarang produk non-halal secara total. Keberadaan produk non-halal di masyarakat majemuk Indonesia selama ini tetap diterima selama sesuai dengan fatwa dan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, klaim larangan total produk non-halal tidak konsisten dengan ajaran dan fatwa Islam yang berlaku serta sistem hukum yang diatur pemerintah.
Baca juga: Memahami Keberadaan Dan Realitas Dalam Ilmu Pengetahuan Dan Kehidupan Sehari-hari
Teori pragmatis menilai suatu klaim benar jika menghasilkan manfaat praktis yang membawa kebaikan dan mencegah kerugian. Dalam kasus hoaks ini, penyangkalan dan klarifikasi resmi yang dilakukan oleh MUI, BPJPH, dan pemerintah pusat maupun daerah memiliki pengaruh positif dalam meredam kepanikan masyarakat. Hal ini menghindari panic buying yang dapat menimbulkan kekosongan stok, kenaikan harga bahan pokok, dan tekanan ekonomi bagi masyarakat, khususnya kelompok UMKM dan konsumen sehari-hari. Dengan cepatnya penyebaran informasi klarifikasi, situasi pasar dapat kembali stabil, dan masyarakat menjadi lebih cerdas dalam menerima informasi terkait sertifikasi halal. Ini merupakan bentuk kebenaran pragmatis yang mengutamakan manfaat dan kemaslahatan umat, sesuai nilai-nilai Islam.
Kasus hoaks seputar “produk non-halal ilegal mulai 2026” ini menunjukkan betapa pentingnya penerapan ketiga teori kebenaran dalam filsafat Islam untuk menyaring informasi yang diterima. Teori korespondensi membantu menilai fakta objektif, teori koherensi memastikan keselarasan dengan ajaran agama, dan teori pragmatis mengutamakan hasil serta manfaat praktis dalam kehidupan sosial. Melalui pemahaman teori-teori ini, diharapkan masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi, serta menjalankan prinsip tabayyun yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, kebenaran akan lebih mudah ditemukan dan dapat menjaga harmoni serta stabilitas sosial di tengah arus informasi yang begitu cepat dan beragam saat ini.
Penulis: Shofiatul Azhroh, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













