Dinamika Sosial dan Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku Gus dan Ning dari zaman dahulu hingga sekarang mencerminkan dinamika sosial. Dahulu, banyak dari mereka yang hanya berada di lingkungan pesantren yang cenderung tertutup dan eksklusif. Namun, seiring perkembangan zaman, kini banyak Gus dan Ning yang aktif berdialog antaragama, menjadi penceramah, aktivis, bahkan politisi. Pendidikan mereka pun tidak lagi terbatas pada pesantren. Kini, banyak yang melanjutkan pendidikan formal di perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri, bahkan dalam bidang-bidang seperti sains, teknologi, dan sosial.
Dinamika sosial ini juga memengaruhi cara mereka berdakwah. Jika dulu dakwah dilakukan secara tradisional, kini banyak Gus dan Ning dari kalangan kiai yang aktif menggunakan media sosial seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan lainnya untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang modern. Namun, ada pula Gus dan Ning yang terpengaruh oleh gaya hidup mewah, yang bertentangan dengan nilai kesederhanaan pesantren.
Pendalaman ilmu agama yang kurang menyebabkan sebagian Gus dan Ning lebih fokus pada popularitas di media sosial ketimbang penguasaan ilmu agama. Ini berbeda dengan Gus dan Ning di masa lalu yang tekun mengkaji kitab kuning sebagai bekal keilmuan. Perubahan ini juga terlihat dari meningkatnya pergaulan bebas, termasuk kasus penyalahgunaan narkoba, mabuk, hilangnya identitas sebagai santri, hingga kasus kehamilan di luar nikah. Perubahan ini menunjukkan kemajuan dalam adaptasi zaman, tetapi juga menjadi tantangan dalam menjaga nilai-nilai luhur pesantren.
Perkembangan zaman membuat masyarakat berpikir lebih logis. Penggunaan gelar Gus dan Ning yang semakin luas kini menimbulkan beragam opini publik. Jika dahulu gelar ini dihormati karena unsur garis keturunan kiai, kini masyarakat menuntut bukti nyata berupa ilmu dan moralitas.
Ketika seorang Gus atau Ning melakukan penyimpangan, publik akan bereaksi beragam. Sebagian masyarakat mengecam keras dan mengkritisi tokoh agama secara terbuka, sementara sebagian lainnya tetap mendukung secara fanatik. Perbedaan ini mencerminkan dinamika sosial yang kompleks. Kasus-kasus semacam ini seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kritisisme, akuntabilitas tokoh publik, dan penegakan hukum yang objektif.
Baca juga: Biar Nggak Ketinggalan Zaman, Pendidikan Islam Harus Berani Berubah
Namun, tidak sedikit pula Gus dan Ning yang masih mempertahankan gelar mereka dengan baik. Mereka menerapkan adab yang baik dan memiliki ilmu agama yang memadai. Contohnya adalah Gus Baha yang aktif mengajar di pesantren dan menjadi rujukan dalam diskusi keislaman, khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur’an, fikih, dan tasawuf. Ceramah-ceramahnya sering viral karena disampaikan dengan bahasa yang mengalir, ringan, dan tidak menggurui. Ia juga dikenal rendah hati serta kritis terhadap fenomena keagamaan yang dianggapnya terlalu formalistik atau jauh dari substansi ajaran Islam. Dengan caranya, Gus Baha menjaga tradisi keilmuan pesantren sekaligus menjadikannya relevan di era modern.
Era sekarang menjadi tantangan bagi Gus dan Ning dalam menjalankan perannya. Tuntutan akan “kesempurnaan citra” di mata publik, godaan popularitas digital, dan kebutuhan akan kontribusi nyata menjadikan gelar ini bukan sekadar legalitas. Tontonan viral tentang perilaku buruk “oknum” Gus dan Ning turut menentukan perubahan dinamika sosial masyarakat. Tantangannya besar, tetapi peluang untuk menjadi teladan yang otentik juga besar. Menjadi Gus dan Ning bukan lagi tentang siapa ayahmu, melainkan apa yang telah kamu berikan kepada umat.
Penulis: Siti Mu’awanah, Dosen serta Ingrid Kilani Johar, Mela Meliani, Naira Fayza, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.







