Gaza Bukan Soal Politik, Ini Darurat Kemanusiaan

Mata Akademisi, Milenianews.com – Kolom tebal asap mengaburkan langit Gaza, gambaran mengerikan akibat serangan udara yang tiada henti. Setiap percikan ledakan tidak hanya merobek bangunan, tetapi juga menyayat hati jutaan warga tak bersenjata. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan hingga Agustus 2025 sebanyak 62.895 jiwa Palestina tewas dan 158.927 luka-luka akibat perang ini. Data The Guardian bahkan mengungkapkan, dari sekitar 53.000 korban tewas hingga Mei 2025, 83% di antaranya adalah warga sipil.

Statistik korban sipil Gaza sungguh mencekam. Setiap keluarga berduka atas kehilangan orang tua, anak, atau kerabat—sering kali mereka hanyalah ibu rumah tangga, anak sekolah, atau kakek-nenek. Gerombolan remaja yang antre bantuan, guru yang mengajar anak-anaknya, bahkan jurnalis, semuanya bisa menjadi target berikutnya. Laporan PBB menegaskan bahwa sejak Mei 2025 saja, 2.014 orang yang sedang mencari bantuan kemanusiaan tewas di Gaza. Tragedi “diam-diam” ini menambah derita yang tak terbayangkan: bukan hanya bom yang mematikan, tetapi blokade dan kelaparan juga menjadi pembunuh sunyi.

Baca juga: Pentingnya Niat yang Benar dalam Aksi Bela Palestina

Gaza di Ambang Kelaparan

Sementara bom berdentum membentuk pemandangan harian, banyak warga terpaksa mencari makanan di tempat tersisa. PBB dan lembaga hak asasi mencatat bahwa Gaza kini menghadapi kelaparan. Laporan IPC resmi mengonfirmasi bahwa hampir sepertiga penduduk Gaza (640.000 orang) sudah berada dalam kondisi fase kelaparan (IPC Phase 5), dengan jutaan lainnya dalam krisis pangan akut. Al Jazeera bahkan menyebut krisis pangan Gaza sebagai “bencana buatan manusia” yang menambah “neraka hidup” bagi penduduknya.

Bayi, anak-anak, dan ibu hamil paling merana. Laporan WHO dan Save the Children menunjukkan peningkatan tajam malnutrisi: sekitar 132.000 anak di bawah lima tahun terancam kematian akibat kelaparan akut, hampir dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya. Kasus-kasus malnutrisi parah meledak; banyak keluarga terpaksa memberi anaknya teh adas karena susu formula habis akibat blokade.

Di balik data mengerikan itu, sistem kesehatan Gaza sudah jatuh terguncang. Rumah sakit hancur, tenaga medis kelelahan, dan pasokan obat kritis habis. Contohnya, dua serangan pada Agustus menimpa Rumah Sakit Nasser di Khan Younis hingga menewaskan 22 orang, termasuk dokter dan paramedis. WHO menyebut kejadian itu memperburuk krisis medis di Gaza. Penyakit menular makin marak; infeksi saluran napas akut dan diare meluas karena kekurangan air bersih. Organisasi MSF melaporkan hampir 90% permintaan impor peralatan air ke Israel ditolak, memaksa warga bergantung pada truk tangki yang tak pasti datangnya. Dalam situasi demikian, seorang ibu harus memilih anak mana yang diberi makan dan minum—pilihan tak berperikemanusiaan yang dipaksa oleh kelaparan sistematis di Gaza.

Bantuan yang Tersendat

Upaya bantuan pun terhambat. Setiap hari, truk kemanusiaan menunggu izin masuk, berganti batal dan ditunda. Terakhir dilaporkan, hanya 59% dari misi bantuan yang disetujui, sementara sisanya ditolak atau dihambat. Padahal situasi sudah setegangan ini, krisis logistik serupa menjual nyawa. Walaupun ada kenaikan aliran bantuan (misalnya 27.000 ton makanan dibawa masuk pada Agustus 2025), jumlahnya masih jauh di bawah kebutuhan. Sepinya pasokan makanan membuat dapur umum hanya sanggup menyiapkan 453.000 porsi sehari—jauh menurun dibanding jutaan porsi sebelum perang. Bantuan mendasar lain seperti obat-obatan, bahan bakar, dan perbaikan fasilitas air juga sulit didapat; misalnya ada 137 titik penyediaan air yang harus ditutup karena tidak ada perlengkapan atau bahan bakar.

Akibatnya, lebih dari 833.000 orang telah mengungsi sejak Maret 2024—relokasi massal terbesar dalam sejarah Gaza. Mereka tinggal di tenda yang sempit dan kumuh, tanpa jaminan kehidupan layak atau keamanan. Sementara itu, mereka yang saling membantu satu sama lain—memasak bersama di dapur komunitas, mengevakuasi korban dari reruntuhan—semakin kewalahan menghadapi penderitaan tanpa henti.

Diam yang Menyakitkan

Lalu, apa alasan sebagian pihak tetap bersikap bisu? Dengan ribuan anak kelaparan, ibu menangis, dan pemuda berteriak minta keadilan, masih ada yang menyebut ini “urusan politik belaka”. Betapa sinisnya argumen itu. Sudah jutaan anak, perempuan, dan lansia jadi korban; bencana kemanusiaan berlangsung di depan mata, justru didiamkan. Sekjen PBB pun mengecam keras situasi Gaza: ini “bencana buatan manusia, a moral indictment, and a failure of humanity itself.” Ia menegaskan, “Orang-orang kelaparan. Anak-anak mati. Dan mereka yang berjanji melindungi malah gagal bertindak.”

Kritik itu dilontarkan bukan tanpa sebab. Komisaris Bantuan PBB Tom Fletcher menyatakan sendiri, kelaparan Gaza terjadi “hanya dalam beberapa ratus meter dari makanan,” bahkan dikatakan “dipromosikan secara terang-terangan oleh beberapa pemimpin Israel sebagai senjata perang.” Ia menyeru Presiden Israel agar segera berhenti menggunakan kelaparan sebagai senjata dan membuka akses penuh bagi bantuan. Namun, sorotan itu sering tenggelam dalam kebisingan politik internasional. Beberapa media dan pemerintah memilih menutup telinga, seakan tragedi ini tidak menyentuh kepentingan mereka.

Baca juga: Zohran Mamdani dan Ilusi Demokrasi yang Retak oleh Ancaman Kekuasaan

Panggilan Nurani Dunia

Darurat Gaza harus menggetarkan nurani kita. Ini bukan lagi sekadar cerita politik atau berita statistik—ini tentang manusia di ambang kelaparan dan kematian. Biarkan fakta PBB dan media terkemuka membuka mata kita: anak-anak menjerit karena lapar, dan ratusan keluarganya terusir tanpa jalan pulang. Dunia sudah mendengar panggilan ini; pertanyaan terakhirnya tinggal pada kita: maukah kita tetap diam?

Kita tidak boleh membiarkan tragedi Gaza menjadi “urusan politik” bagi yang berkepentingan; ini hak asasi manusia yang terancam. Setiap orang berkemampuan harus bersuara: desak penghentian kekerasan, bukakan semua akses bantuan, tegakkan keadilan. Karena pada akhirnya, darah yang tumpah di Gaza adalah darah kita juga. Sebagaimana dikatakan Sekjen PBB, waktu untuk bertindak bukan besok, tapi sekarang.

Penulis: Muhammad Wildan Alfiansyah Munawar, Mahasiswa STEI SEBI 

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *