Fenomena “No Viral, No Justice”: Ketika Keadilan Bergantung pada Sorotan Publik

no viral no justice

Milenianews.com, Mata Akademisi – Selama beberapa bulan terakhir, media sosial telah menjadi medan baru dalam dinamika penegakan hukum di Indonesia. Fenomena “No Viral, No Justice” adalah istilah umum yang menggambarkan tren ketika keadilan baru ditegakkan setelah sebuah kasus viral di media sosial. Masyarakat tampaknya semakin resah terhadap kekerasan, pelecehan, dan ketidakadilan seperti kasus korupsi yang tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah seseorang hanya bisa mendapatkan keadilan jika kasusnya viral? Sejauh mana peran masyarakat dalam mendorong otoritas hukum untuk bertindak? Dalam tulisan ini, penulis membahas peran masyarakat dalam sistem hukum Indonesia serta potensi media sosial sebagai alat pendukung atau justru pengabur keadilan.

Baca juga: Mengapa Kita Membutuhkan Hukum Penjelasan Sederhana untuk Semua Kalangan

Fenomena Ketika Warganet Menjadi Penggerak Aparat

Salah satu pemicu munculnya istilah “No Viral, No Justice” adalah lambannya respons dari aparat terhadap laporan publik. Banyak kasus baru mendapat perhatian setelah mendapat tekanan dari warganet. Kasus pelecehan anak, pelecehan seksual di lembaga pendidikan, hingga konflik agraria menjadi sorotan setelah diviralkan.

Situasi ini memperlihatkan kelemahan penegakan hukum. Tidak semua laporan dari masyarakat ditindaklanjuti secara serius. Faktor kekuasaan, ekonomi, dan hubungan pribadi kerap lebih dominan daripada kebenaran dan keadilan. Ketika masyarakat merasa hukum tidak berpihak kepada yang lemah, mereka memilih menggunakan media sosial untuk menekan aparat.

Di sisi lain, media sosial adalah alat efektif untuk menyalurkan suara. Ia memungkinkan masyarakat biasa berbicara langsung kepada publik dan pihak berwenang. Aktivis hukum, jurnalis, dan warga biasa telah memanfaatkan platform digital ini untuk menghadirkan bukti, mengedukasi publik, dan memperkuat dukungan moral terhadap korban. Namun, media sosial juga menyimpan sisi gelap. Tidak semua informasi yang viral benar. Sering kali fakta belum jelas, namun publik sudah menjatuhkan vonis. Ini melanggar prinsip praduga tak bersalah dan berpotensi mengganggu proses hukum yang adil.

Oleh karena itu, penting bagi pengguna media sosial untuk meningkatkan literasi digital. Masyarakat harus kritis dan etis dalam menyebarkan informasi. Peran sebagai agen perubahan harus dijalankan dengan tanggung jawab.

Dalam sistem demokrasi, masyarakat memiliki posisi strategis dalam mengawasi hukum. Partisipasi tidak berhenti di pemilu, tetapi berlanjut dalam pengawasan terhadap ketertiban umum dan proses hukum.

Lembaga seperti Komisi Yudisial dan Ombudsman mendorong partisipasi masyarakat dalam melaporkan pelanggaran. Komunitas memiliki peran besar dalam mendorong reformasi hukum. Banyak kasus ditindaklanjuti oleh pemerintah setelah mendapat tekanan publik.

Selain itu, LSM, mahasiswa hukum, akademisi, dan kelompok masyarakat di media sosial menjadi pilar penting untuk mengedukasi publik tentang hak-haknya. Mereka juga membuka ruang diskusi soal implementasi hukum yang adil.

Krisis Kepercayaan terhadap Sistem Hukum

Fenomena “No Viral, No Justice” mencerminkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum formal. Ketika keadilan hanya berlaku untuk kasus yang viral, maka sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keadilan harus hadir untuk semua, bukan hanya untuk mereka yang mendapat sorotan.

Karena itu, reformasi lembaga hukum menjadi sangat mendesak. Integritas, profesionalisme, dan transparansi harus menjadi prinsip utama dalam penegakan hukum. Semua laporan harus diperlakukan setara dan ditindaklanjuti dengan serius. Perlu dibangun mekanisme pemantauan internal yang kuat dan independen.

Media sosial tidak boleh menjadi alternatif dari proses hukum. Ia hanya alat pendukung transparansi dan akuntabilitas. Peningkatan kapasitas digital dan pemahaman hukum perlu terus dilakukan agar masyarakat bisa berperan secara tepat dan bijak. Perubahan harus melibatkan semua lapisan masyarakat. Proses hukum harus terus dipantau. Penipuan dan kelalaian harus disuarakan, tetapi dengan itikad baik dan data yang valid. Tujuannya bukan untuk sensasi, apalagi menimbulkan konflik horizontal, melainkan untuk menegakkan keadilan.

Pemerintah, lembaga hukum, dan seluruh pemangku kepentingan harus memandang kritik publik sebagai cermin untuk perbaikan. Hanya dengan cara itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum bisa kembali dibangun.

Baca juga: Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat: Mengapa Anda Perlu Tahu?

Fenomena “No Viral, No Justice” menjadi penanda bahwa masyarakat Indonesia tidak tinggal diam saat menyaksikan ketidakadilan. Namun, kondisi ini juga menunjukkan bahwa sistem hukum harus dievaluasi dan diperbaiki. Dalam situasi ini, masyarakat berperan sebagai pengawas kritis sekaligus pendorong perubahan.

Keadilan tidak boleh bergantung pada popularitas kasus. Hukum harus ditegakkan berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan. Sudah saatnya sistem hukum Indonesia berubah. Penegakan hukum harus berjalan bukan karena sorotan publik, melainkan karena komitmen moral dan profesionalisme aparat.

Penulis: Ali Arifin Nasution, Mahasiswa STEI SEBI

Instagram: @ali.a.nasution.1447

Profil Singkat: Mahasiswa hukum yang saat ini sedang menekuni dunia kepenulisan khususnya di bidang hukum dan jurnalistik. Aktif dalam organisasi pers mahasiswa kampus. Berdomisili di Pondok Pesantren Annur Darunnajah 8 Cidokom, Bogor.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *