Hal ini mencerminkan ketegangan sejarah yang lebih luas dalam berbagai konteks budaya, mirip dengan apa yang terjadi disejarah terbentuknya dua paham ini sebelumnya juga bisa sejajar dengan relevansi Jabariyyah dan Qodariyyah yang sedang berlangsung dalam wacana kontemporer. Dengan demikian, interaksi antara akar sejarah dasn implikasi masa kini tetap m enjadi bidang eksplorasi kritris dalam memahami perspektif teologis ini.
Pemahaman ekstrem tentang Qodariyah dan Jabariyah menyebabkan banyak masalah dalam kehidupan modern. Seseorang sering menjadi pasif dan menyerah pada takdir tanpa berusaha karena paham Jabariyah, yang tegang bahwa Tuhan sudah menentukan segala sesuatu. Misalnya, banyak orang yang malas bekerja atau berinovasi karena mereka percaya bahwa “rezeki sudah diatur Allah”. Ini menghambat kemajuan mereka sendiri dan masyarakat. Namun pemahaman qodariyah yang terlalu liberal dapat menyebabkan pengabaian peran Tuhan dalam kehidupan karena tekanan kebebasan mutlak manusia. Misalnya, ketika kerusakan lingkungan menyebabkan bencana alam, sebagian orang langsung menyalahkan takdir tanpa menyadari bahwa tindakan manusia sendiri yang menyebabkan bencana tersebut. Contohnya, ketika terjadi bencana alam akibat kerusakan lingkungan, sebagian orang justru menyalahkan takdir tanpa mengakui bahwa bencana tersebut adalah akibat ulah manusia sendiri.
Kedua paham ini juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, politik, dan ekonomi. Dalam pendidikan, guru yang terlalu fatalis (Jabariyah) mungkin tidak mendorong siswa untuk berkembang, sementara yang terlalu liberal (Qodariyah) bisa mengajarkan bahwa kesuksesan murni bergantung pada usaha manusia tanpa melibatkan doa dan tawakal. Dalam politik, pemimpin yang fatalis mungkin tidak berusaha memperbaiki negara karena menganggap “semua sudah ditakdirkan”, sedangkan pemimpin yang ekstrem Qodariyah bisa membuat kebijakan tanpa pertimbangan nilai agama.
Dalam kehidupan nyata, paham Jabariyah dan Qodariyah yang ekstrem dapat menimbulkan masalah serius. Contoh nyata paham Jabariyah terlihat ketika seorang pencuri yang tertangkap membela diri. Pandangan ini bermasalah karena menghilangkan tanggung jawab pribadi atas perbuatan buruk, padahal Islam mengajarkan bahwa manusia diberi akal dan kemampuan untuk memilih antara yang benar dan salah. Di sisi lain, paham Qodariyah yang ekstrem tercermin dari pernyataan seseorang bahwa Allah tidak campur tangan dalam hal ini. Pernyataan ini bermasalah karena mengabaikan peran Allah dalam menentukan hasil akhir dari segala usaha manusia. Seperti yang dilakukan saat ini oleh kalangan berpenghasilan dibawah rata-rata di negara kita. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki keadaan yang menimpa dirinya dan keluarganya. Sehingga keadaan kemiskinan yang menimpanya akan terus menjadi Nasib hidupnya. Karena sesungguhnya dalam melaksanakan kehidupan sangat perlu adanya keseimbangan dari keduan karakter sifat aliran ini.
Maka dalam penanganan dalam permasalahan ini perlu dilakukan beberapa hal. Pertama yakni sadar dalam manjalani hidup. Allah memerintahkan kepada hambanya untuk memperjuangkan atas apa yang ia harapkan disertai dengan perasaan pasrah kepadaNya. Hal ini semata-mata bukan sesuatu yang tabu dilakukan karena allah menjanjikan kepada manusia hasil atas semua yang diusakan manusia. Perasaan pasrah inilah yang menjadi filter atas apa yang manusia usahakan. Yakni menghindari sifat keterpaksaan dalam hasil yang menurut manusia pantas ia dapatkan sesuai usahanya. Kedua adalah perlu adanya kepercayaan diri yang tinggi. Orang yang percaya diri dalam bersosialisasi tidak hanya pasif menunggu dihampiri, mereka adalah yang dalam aktif menciptakan interaksi. Mereka tidak takut diabaikan karena paham baliwa penolakan adalah hal wajar. Sehingga etika berbicara suaranya lantang jelas tanpa ada rasa tidak percaya diri. Dengan sikap ini, orang lain cenderung merasa nyaman dan menghargai keberadaannya, sehingga relasi sosial pun terbangun secara alami.
Begitu pula dengan mengasah keterampilan seseorang adalah suatu modal kehidupan yang akan bisa dijadikan bekal untuk menjalani kehidupan bersosial. Dengan mengasah keterampilan seseorang akan terhindar dari perasaan pasrah atas apa yang belum ia usakan karena ia telah memiliki sarana untuk mencapai keberhasilan tersebut. Modal utama dalam kehidupan sosial adalah kemampuan berkomunikasi dengan efektif, baik verbal maupun nonverbal dan kemampuan terampil dalam berperilaku. Semakin sering dipraktikkan, keterampilan ini akan menjadi kebiasaan alami yang membuatmu lebih disukai dan dihargai dalam pergaulan, baik di lingkungan kerja, pertemanan, maupun komunitas sehingga mudah seseorang mendapatkan peluang pencapaian atas hasil usahanya. Pemahaman fatalistik ini telah bertahan sangat kontras dengan qodariyah.
Aliran Qodariyyah yang menyatakan bahwa individu memiliki kehendak bebas dan otonomi dalam perbuatan mereka. Dikotomi ini secara historis telah menyebabkan perdebatan teologis yang signifikan, berkontribusi pada fragmentasi komunitas Muslim pasca-Nabi Muhammad Selain itu, integrasi pemikiran filosofis Islam ke dalam kerangka pendidikan menekankan pertunya dasar-dasar filosofis dalam membentuk pendidikan Islam, selaras dengan tujuan yang lebih luas dari ajaran Islam. Paham qodariyah ini sangat menekankan peran manusia sebagai penentu utama dalam tindakan dan perilakunya. Sehingga kurangnya rasa kepasrahan atas kehendak Tuhan.
Baca juga: Dari Huruf ke Hafalan: Perjalanan Santri Bersama Metode Yanbu’a
Paham Jabariyyah dan Qodariyyah merupakan dua aliran teologis dalam Islam yang memiliki pandangan berbeda mengenai takdir dan peran manusia. Jabariyyah, yang dipelopori oleh Jaham bin Sufyan, meyakini bahwa segala tindakan manusia sepenuhnya ditentukan oleh kehendak Allah tanpa campur tangan manusia, terbagi menjadi Jabariyyah murni (manusia tidak memiliki kekuatan apa pun) dan Jabariyyah moderat (manusia memiliki tindakan tetapi tetap terbatas). Sebaliknya, Qodariyyah, yang diusung oleh Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi, berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan perbuatannya tanpa intervensi ilahi. Kedua paham ini muncul dalam konteks sejarah yang berbeda Jabariyyah berkembang di masa Abbasiyah, sementara Qodariyyah muncul pada masa Dinasti Umayyah sebagai reaksi terhadap fatalisme Arab tradisional.
Dalam konteks modern, kedua paham ini memiliki relevansi sekaligus tantangan. Ekstremisme Jabariyyah dapat menyebabkan sikap pasif, seperti menyerah pada nasib tanpa berusaha, sementara ekstremisme Qodariyyah dapat mengabaikan peran Tuhan, menganggap kesuksesan murni hasil usaha manusia. Dampaknya terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan (guru fatalis vs liberal), politik (pemimpin yang tidak berinisiatif vs sekuler), dan ekonomi (kemiskinan akibat kurang usaha vs eksploitasi lingkungan). Contoh nyata termasuk orang miskin yang enggan berusaha karena percaya “rezeki sudah diatur” atau pelaku kerusakan lingkungan yang menyalahkan takdir tanpa introspeksi.
Solusi yang diajukan adalah sintesis seimbang antara usaha manusia (ikhtiar) dan kepasrahan kepada Tuhan (tawakal). Manusia harus berusaha maksimal disertai keyakinan bahwa hasil akhir tetap di tangan Allah. Selain itu, pentingnya kepercayaan diri, keterampilan sosial, dan komunikasi efektif menjadi kunci untuk menghindari sikap fatalis maupun liberal ekstrem. Dengan pendekatan moderat ini, umat Islam dapat menghadapi tantangan kontemporer, seperti krisis kesehatan, kecemasan sosial, dan dinamika kerja tanpa terjebak dalam dikotomi teologis yang kaku. Integrasi kedaulatan ilahi dan agensi manusia menjadi kunci dalam membentuk karakter individu dan masyarakat yang dinamis, bertanggung jawab, dan tetap berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.
Penulis: Rifdah Faridah, Nur Aini Amilatus Sholichah, Fatimah Azzahra, Anisyah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.