Etika Seorang Hakim

DR. KH. Syamsul Yakin MA.,  Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Milenianews.com – Dalam khazanah klasik Islam, misalnya kitab Bustanul Arifin karya Imam Abu al-Laits (wafat 983 Masehi) ditoreh sejumput etika yang harus dimiliki seorang hakim secara melekat pada dirinya. Misalnya, seorang hakim semestinya bersikap netral terhadap dua pihak yang sedang berselisih.

Argumen ini didukung oleh sabda Nabi yang dikutip Imam Abu al-Laits tanpa menyebut muhadits dan perawinya. “Apabila seorang di antara kamu diuji untuk memutuskan hukum, maka dia semestinya bersikap netral di antara dua orang yang bersengketa, baik dalam konteks tempat duduk, gerak tubuh, dan pandangan mata.”

Baca juga : Hukuman Untuk Penduduk Aliat

Etika Seorang Hakim dalam Proses Mengadili

Dalam proses mengadili, seorang hakim semestinya tidak meninggikan suara kepada salah satu pihak yang bersengketa. Sebab dikhawatirkan berpengaruh pada amar putusan. Seorang hakim juga harus berhati kosong saat memutus perkara. Artinya, konflik kepentingan dan keberpihakan karena ada hubungan klan, keluarga atau aspek primordial lainnya harus dihindari.

Sampai di sini aspek spiritual dan intelektual serorang hakim menjadi prasyarat fundamental agar amar putusannya  diterima dan bersifat mengikat bagi semua pihak yang berselisih. Namun Imam Abu Laits menuliskan aspek etika lain yang berdimensi fisik-jasmaniah. Misalnya, semestinya seorang hakim memutus perkara dalam keadaan kenyang.

Penegasan etika seorang hakim

Nabi mempertegas soal ini,  seperti dikutip Imam Abu al-Laits, “Seorang hakim hendaklah tidak memutus hukum kecuali dalam keadaan berperut kenyang dan merasa nyaman.”  Faktanya, memang saat lapar otak melepas hormon stres atau adrenalin kortisol. Seorang hakim yang sedang lapar akan sulit untuk mengontrol emosinya. Menariknya, hal ini dipersyaratkan ulama sebelum para psikolog mendedahnya.

Di samping itu, tulis Imam Abu Laits,  yang mempengaruhi amar keputusan hakim adalah manakala sebuah sengketa diputuskan dalam keadaan marah. Soal ini Nabi bersabda, “Seorang hakim semestinya tidak memutus perkara di antara dua pihak yang berseteru dalam keadaan marah. Sebab secara psikologis, marah adalah respons emosional yang memungkinkan seorang hakim jadi tidak adil dalam memutus perkara. Marah juga dianggap sebagai  stimulus terjadinya pelanggaran etika pribadi seorang hakim.”

Secara teologis, Hasan Basri (wafat 728 Masehi di Basrah, Irak) menyebut tiga etika hakim, seperti dikutip Iman Abu al-Laits Pertama, semestinya seorang hakim tidak memperturuti hawa nafsu. Dalilnya, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena itu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad/38: 26).

Baca juga : Hukum Endorsement Dalam Islam, Apakah Diperbolehkan?

Kedua, seorang hakim semestinya tidak takut kepada manusia. Dalilnya, “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.” (QS. al-Maidah/5: 44). Ketiga, seorang hakim seharusnya tidak menjual  ayat-ayat dengan harga yang murah. Dalilnya, ” Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah.” (QS. al-Maidah/5: 44).

Inilah etika seorang hakim yang diurai Imam Abu al-Laits dalam perspektif spiritual, intelektual, psikologis, dan teologis.

Penulis: DR. KH. Syamsul Yakin MA.,  Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *