Milenianews.com, Mata Akademisi – Era digital telah mengubah secara fundamental cara pengetahuan diproduksi, disebarkan, dan divalidasi. Penelitian ini mengkaji tantangan epistemologis yang muncul dari ekosistem informasi berbasis algoritma, khususnya pada platform seperti TikTok yang membentuk persepsi publik melalui personalisasi dan penyaringan berbasis keterlibatan. Mekanisme ini turut memunculkan misinformasi, disinformasi, serta polarisasi sosial yang semakin tajam.
Menggunakan metode kajian pustaka kualitatif, penelitian ini mengintegrasikan perspektif filsafat ilmu, sosiologi media, dan etika Islam untuk menganalisis konstruksi pengetahuan dalam ruang digital. Hasil kajian menunjukkan bahwa algoritma telah menggeser otoritas epistemik dari lembaga ilmiah menuju konten viral, sehingga melemahkan diskursus rasional dan proses verifikasi ilmiah.
Baca juga: Peran Filsafat dalam Membentuk Sikap Moral dan Kehidupan Sosial Masyarakat
Dalam perspektif Islam, kondisi ini menuntut penguatan prinsip tabayyun sebagai landasan etis untuk menangkal penyebaran informasi palsu. Penelitian ini menyimpulkan bahwa literasi digital, tanggung jawab etis, dan kesadaran epistemologis menjadi kunci utama dalam menjaga integritas kebenaran di tengah arus informasi yang masif.
Algoritma, Otoritas Pengetahuan, dan Realitas Digital
Perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap epistemologi modern, di mana pengetahuan tidak lagi dihasilkan melalui otoritas akademik semata, melainkan melalui interaksi algoritmis yang menyeleksi informasi berdasarkan perhatian, popularitas, dan preferensi pengguna. TikTok, sebagai salah satu platform digital terbesar, memanfaatkan sistem rekomendasi berbasis machine learning yang membentuk realitas informasi pengguna melalui fenomena filter bubble dan echo chamber.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan epistemologis mendasar: bagaimana kebenaran ditentukan dan diakui dalam masyarakat digital? Ketika algoritma lebih memprioritaskan keterlibatan emosional dibandingkan validitas ilmiah, maka standar kebenaran pun berpotensi mengalami pergeseran yang serius.
Dalam konteks filsafat ilmu, persoalan ini berkaitan erat dengan epistemologi (bagaimana pengetahuan diperoleh), ontologi (hakikat realitas digital), serta aksiologi (nilai, etika, dan tujuan penggunaan pengetahuan). Sementara itu, dalam perspektif Islam, penyebaran informasi merupakan tindakan moral yang terikat pada prinsip tabayyun, amar ma’ruf nahi munkar, serta larangan keras menyebarkan berita bohong. Oleh karena itu, kajian ini menjadi penting untuk memahami transformasi makna kebenaran di era digital dan dampaknya terhadap stabilitas sosial.
Hoaks sebagai Konstruksi Realitas Palsu
Di era digital, informasi menyebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Salah satu contoh signifikan adalah hoaks tentang “perempuan bercadar membawa bom” yang beredar luas melalui WhatsApp, Facebook, dan TikTok. Pesan semacam ini biasanya dikemas dengan narasi menegangkan, disertai foto atau video palsu, lalu ditutup dengan imbauan panik kepada masyarakat.
Setelah dilakukan penelusuran oleh pihak berwenang dan lembaga pemeriksa fakta, seluruh klaim tersebut terbukti tidak benar. Namun demikian, meskipun tidak memiliki dasar faktual, hoaks ini tetap menimbulkan dampak sosial yang besar, seperti ketakutan massal, stigma terhadap kelompok tertentu, dan keresahan publik. Oleh karena itu, kasus ini menjadi contoh ideal untuk dianalisis melalui kerangka filsafat ilmu, khususnya dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Secara ontologis, hoaks ini menunjukkan bagaimana realitas digital dapat dipersepsikan sebagai realitas faktual. Dunia digital membuat batas antara yang benar-benar ada dan yang semu menjadi kabur. Pesan yang tersebar luas menciptakan ilusi ancaman, padahal peristiwa tersebut tidak pernah terjadi. Dengan demikian, realitas tidak lagi ditentukan oleh fakta empiris, melainkan oleh persepsi kolektif yang dibangun melalui distribusi informasi digital.
Epistemologi Viral dan Krisis Verifikasi
Dari sudut pandang epistemologi, kasus ini memperlihatkan bagaimana masyarakat modern kerap memperoleh pengetahuan melalui cara yang tidak ilmiah. Pengetahuan tidak diperoleh melalui verifikasi, observasi, atau sumber otoritatif, melainkan melalui pesan berantai yang dianggap sah hanya karena viral. Kecepatan penyebaran kemudian dijadikan ukuran kebenaran.
Kondisi ini berbahaya karena memindahkan otoritas epistemik dari ilmuwan dan lembaga resmi ke konten viral yang sering kali tidak memiliki dasar faktual. Validitas informasi tidak lagi ditentukan oleh bukti, melainkan oleh seberapa sering informasi tersebut dibagikan dan dikomentari. Fenomena ini memperkuat pandangan bahwa algoritma media sosial cenderung mempromosikan konten yang memicu emosi, bukan yang menjunjung rasionalitas.
Oleh karena itu, epistemologi digital menuntut masyarakat untuk mengembalikan proses pencarian kebenaran pada prinsip-prinsip ilmiah seperti verifikasi, logika, analisis kritis, serta nilai tabayyun dalam Islam sebagai filter moral dan intelektual.
Aksiologi Informasi dan Tanggung Jawab Moral
Dari perspektif aksiologi, hoaks tersebut memiliki nilai etis yang sangat bermasalah. Informasi palsu tidak membawa manfaat, justru menciptakan ketakutan, merusak keharmonisan sosial, dan mendiskriminasi kelompok tertentu, khususnya perempuan bercadar. Hoaks semacam ini memperkuat stereotip negatif yang tidak berdasar dan mengikis rasa keadilan sosial.
Baca juga: Tantangan Dan Peluasan Islamisasi Di Era Digital
Dalam etika Islam, penyebaran hoaks melanggar prinsip tabayyun sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 6, serta tergolong ifk (kebohongan) yang merusak tatanan sosial. Secara aksiologis, informasi semacam ini bukan hanya tidak bernilai, tetapi juga bersifat destruktif terhadap moralitas dan kemanusiaan.
Melalui analisis ontologi, epistemologi, dan aksiologi, dapat disimpulkan bahwa hoaks bukan sekadar persoalan informasi palsu, melainkan cerminan krisis mendasar dalam cara masyarakat memahami realitas, kebenaran, dan nilai. Filsafat ilmu hadir sebagai panduan kritis agar manusia mampu membedakan fakta dari ilusi digital, sekaligus menjalankan tanggung jawab moral dalam menyebarkan informasi. Kesadaran berpikir kritis dan etika informasi menjadi kunci untuk menjaga kehidupan sosial yang stabil, adil, dan manusiawi.
Penulis: Anas Najwa Rahman, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













