Milenianews.com, Mata Akademisi – Ilmu pengetahuan dalam Islam bukan sekadar kumpulan teori abstrak, melainkan sebuah kerangka kerja yang dirancang secara sistematis untuk membimbing manusia hidup harmonis antara dimensi duniawi dan ukhrawi. Klasifikasi ilmu pengetahuan Islam secara tradisional terbagi ke dalam dua kategori fundamental, yaitu ilmu naqli, yang bersumber langsung dari wahyu Ilahi melalui Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta ilmu aqli, yang dikembangkan melalui akal, observasi empiris, dan ijtihad para ulama.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, klasifikasi ini memungkinkan individu menerapkan nilai-nilai Islam ke dalam aspek praktis, seperti ibadah, etika kerja, pengelolaan keluarga, dan interaksi sosial. Dengan demikian, kualitas hidup manusia tidak hanya meningkat secara spiritual, tetapi juga secara moral dan material.
Baca juga: Ilmu Pengetahuan Islam: Integrasi Ilmu Naqliyah dan Aqliyah
Secara historis, klasifikasi ilmu ini mulai berkembang sejak masa Nabi Muhammad SAW. Para sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab, telah mengorganisasi pengetahuan berdasarkan wahyu dan realitas sosial yang dihadapi umat. Pada abad ke-2 Hijriah, ulama seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengembangkan fiqh melalui ijtihad yang berpijak pada prinsip-prinsip Islam sekaligus mempertimbangkan konteks sosial masyarakat.
Integrasi Ilmu Naqli dan Aqli dalam Tradisi Keilmuan Islam
Puncak integrasi antara ilmu naqli dan ilmu aqli terlihat pada abad ke-5 Hijriah melalui karya monumental Al-Ghazali Ihya’ Ulum al-Din. Dalam karyanya, Al-Ghazali menekankan pentingnya keseimbangan antara rasio dan wahyu, sehingga umat Islam tidak terjebak pada rasionalisme berlebihan yang dapat menjauhkan diri dari nilai-nilai ilahiah.
Tradisi Asy’ariyah yang dipengaruhi oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari turut memperkuat pendekatan ini dengan menekankan pemahaman wahyu tanpa menafikan dimensi misteri Ilahi. Pendekatan tersebut menjadi sangat relevan dalam menghadapi skeptisisme dan relativisme pengetahuan di era modern.
Di masa kini, tantangan global seperti globalisasi ekonomi, revolusi digital, dan pluralisme budaya menuntut penerapan ilmu-ilmu Islam yang kreatif dan adaptif. Ilmu aqidah, misalnya, berperan penting dalam menguatkan keyakinan tauhid di tengah arus sekularisme. Sementara itu, fiqh memberikan pedoman etis dalam transaksi digital dan bisnis internasional, tasawuf menawarkan pendekatan spiritual untuk menjaga kesehatan mental, dan ilmu Al-Qur’an serta hadis terus menjadi sumber inspirasi moral dalam relasi sosial.
Kitab Al-Fihrist dan Pemetaan Ilmu Pengetahuan Islam
Salah satu dokumen terpenting dalam sejarah peradaban Islam adalah Kitab Al-Fihrist karya Ibn al-Nadim yang ditulis pada abad ke-10 M. Guru Besar Fakultas Sejarah dan Filsafat Pendidikan Universitas Colorado, AS, George Makdisi Nakosteen, menyebut Al-Fihrist sebagai karya bibliografi terbesar sepanjang masa. Dalam bukunya History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800–1350, Nakosteen menegaskan bahwa Al-Fihrist menjadi rujukan utama bagi para ilmuwan dan sejarawan dalam memahami ilmu-ilmu Islam dan karya-karya klasik berbahasa Arab.
Hingga akhir abad ke-19 M, banyak pengetahuan tentang peradaban Islam diperoleh berdasarkan informasi yang terdapat dalam Kitab Al-Fihrist. Karya ini tidak hanya mencatat judul-judul buku, tetapi juga menggambarkan perkembangan intelektual umat Islam melalui kajian literatur yang berkembang di dunia Muslim. Al-Fihrist pertama kali dipublikasikan pada tahun 938 M dan kemudian dikenal pula dengan sebutan Index of Nadim.
Kitab ini memberikan sumbangan besar bagi dunia dalam memahami Islam melalui pencapaian intelektual umat Islam pada masa keemasannya. Ibn al-Nadim tidak sekadar mengenalkan karya-karya ilmiah, tetapi juga menawarkan cara pandang baru dalam memahami Islam melalui pendekatan literatur dan dokumentasi pengetahuan.
Metode Bibliografis Ibn al-Nadim dan Relevansinya Saat Ini
Dalam menyusun Al-Fihrist, Ibn al-Nadim mengorganisasi karyanya berdasarkan nama pengarang, kemudian diikuti dengan judul-judul kitab yang ditulis. Ia hanya mencatat karya-karya dari para ulama dan ilmuwan yang ia kenal secara langsung atau yang informasinya diperoleh dari sumber-sumber terpercaya. Pendekatan ini menunjukkan kehati-hatian epistemologis yang tinggi dalam penyusunan data.
Baca juga: Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam dan Relevansinya di Era Modern
Menariknya, Ibn al-Nadim juga sering mencantumkan ukuran buku dan jumlah halaman karya yang ia catat. Langkah ini bertujuan untuk melindungi pembeli buku dari kecurangan para penyalin naskah. Kitab Al-Fihrist sendiri diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1970, dan hingga kini tetap menjadi rujukan penting dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan Islam.
Dengan demikian, Al-Fihrist merepresentasikan pendekatan bibliografis dalam studi Islam yang tidak hanya mencatat karya-karya umat Islam, tetapi juga memetakan berbagai disiplin ilmu yang berkembang pada masanya. Melalui karya ini, Ibn al-Nadim telah memberikan kontribusi besar bagi peradaban modern dalam memahami struktur, perkembangan, dan klasifikasi ilmu pengetahuan Islam. Relevansinya masih terasa hingga kini, terutama dalam upaya membangun kembali tradisi keilmuan Islam yang kritis, sistematis, dan kontekstual.
Penulis: Dewi Sari Intan, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.







