Milenianews.com, Mata Akademisi– Ali bin Abi Thalib menyampaikan empat nasihat, seperti ditoreh Syaikh Nawawi dalam karyanya yang terkenal dan fenomenal, yakni Nashaihul Ibad. Pertama, barangsiapa merindukan surga, maka dia harus segera berbuat kebaikan.
Perbuatan baik ada dua, yakni yang berdimensi vertikal ke langit berupa ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, dan yang berdimensi horisontal di bumi berupa ibadah sosial. Misalnya membuat orang yang menangis jadi tertawa, yang lapar jadi kenyang, yang bodoh jadi berilmu, dan sederet contoh lainnya.
Kedua dimensi tersebut harus dilakukan dengan segera. Keduanya juga harus dirajut jadi satu dalam rangka menggapai ampunan dan surga milik-Nya. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran/3: 133).
Tentu bersegera dalam ayat di atas sebangun maknanya dengan berlari, bukan berjalan. Berlari dan berjalan dalam al-Qur’an tertulis begitu jelas. Selain ayat di atas, contohnya lagi adalah terkait perintah shalat, yakni dalam surat al-Jumu’ah/62 ayat 9, kita juga diinstruksikan berlari untuk segera melaksanakannya. Sedangkam berjalan ditujukan untuk perintah menjemput rezeki. Misalnya dalam surah al-Mulk/67 ayat 15.
Ternyata kerap kita terbalik melaksanakannya. Kita lebih sering berlari untuk mencari rezeki. Rezeki dikejar-kejar dari pagi sampai pagi lagi. Dari malam hingga malam lagi. Sedangkan dalam hal shalat dan menggapai ampunan-Nya, kita lebih sering berjalan santai. Padahal yang memerintahkan berlari adalah Allah. Saatnya kita tahu kapan berlari dan kapan berjalan.
Kedua, barangsiapa takut kepada neraka, maka dia harus berhenti memperturuti gejolak nafsu atau syahwat. Kalau merujuk kepada titah Nabi, minimal ada dua syahwat yang harus diwaspadai, yakni gejolak nafsu perut dan kemaluan. “Sesungguhnya di antara yang aku takutkan terjadi pada kalian adalah syahwat mengikuti gejolak nafsu perut dan kemaluan kalian serta fitnah-fitnah yang menyesatkan” (HR. Ahmad).
Kiat untuk mengendalikan syahwat bisa ditelisik dari makna syahwat itu sendiri, yakni menyukai atau menyenangi. Perbuatan apapun yang disukai atau disenangi syahwat sedapat mungkin dialihhkan kepada yang tidak disukai syahwat seperti berhenti makan sebelum kenyang dan memalingkan muka pada saat tidak sengaja memandang yang diharamkan Allah dan rasul-Nya.
Ketiga, barangsiapa meyakini kematian pasti terjadi, maka dia memutus kelezatan dunia. Nabi bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan.” (HR. Nasa’i). Pemutus kelezatan tak lain adalah kematian.
Diceritakan oleh Ibnu Umar bahwa ada seorang Anshar bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah mukmin manakah yang paling baik?” Beliau jawab, “Yang paling baik akhlaknya”. Orang itu bertanya lagi, “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?” Beliau jawab, “Yang paling banyak mengingat mati dan yang paling baik mempersiapkan diri untuk kehidupan berikutnya. Itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah).
Keempat, barangsiapa yang mengerti dunia, maka ringanlah segala musibah yang menimpahnya. Menurut Syaikh Nawawi, maksud pernyataan Ali bin Abi Thalib ini adalah siapa saja yang memahami bahwa hidup dunia itu penuh dengan ujian, maka segala musibah yang mendera sehebat apapun tak berarti baginya.
Allah pertegas, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. al-Balad/90: 4). Susah payah dalam ayat ini, seperti diungkap Ibnu Katsir dalam tafsirnya, maknanya setiap fase kehidupan manusia dilalui dengan susah payah sejak bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua.
Itulah empat nasihat Ali bin Abi Thalib yang tidak boleh hanya terucap di mulut tapi terpatri di hati lalu dilaksanakan.
Penulis : Syamsul Yakin, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok