Desentralisasi yang Dijanjikan Pemerataan tapi Tak Kunjung Terwujud

desentralisasi

Mata Akademisi, Milenianews.com – Pengalaman sentralisasi melahirkan Jawasentris, bahkan Jakartasentris. Itu yang menjelaskan mengapa semua konglomerat dan oligark (dua penguasa ekonomi) tinggal di ibu kota.

Tentu ekonomi yang memusat tak melahirkan pemerataan. Maka, otonomi daerah dimaksudkan agar negara/pemerintah lebih dekat dengan warga negara. Namun kebijakan ini berjalan seperti kendaraan yang gasnya diinjak, tetapi remnya ditahan. Akhirnya limbo. Yang dituju tak kunjung ditemukan, yang ditinggalkan tak kunjung dilupakan.

Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional sudah menegaskan perlunya pemerintahan yang bersih, transparan, dan berbasis kinerja. Faktanya, banyak daerah masih dikelola dengan pola lama: KKN, birokrasi lambat, layanan tidak seragam, dan keputusan publik bergantung pada keberanian pejabat, bukan sistem yang solid.

Baca juga: Sudah Saatnya Reformasi Kebijakan Moneter dan Sistem Kurs dalam UU Perekonomian Nasional

Padahal, integrasi sistem digital pusat–daerah sebenarnya bisa memangkas hambatan. Standar layanan minimal dan SPBE terintegrasi dapat menciptakan layanan yang cepat dan bisa dilacak. Tetapi implementasinya tidak konsisten. Banyak daerah memiliki aplikasi tetapi tidak memiliki data yang layak. Ada dasbor, tetapi tidak ada perbaikan nyata. Yang muncul justru proyek digitalisasi yang menghabiskan anggaran tanpa manfaat jelas bagi publik.

Reformasi Birokrasi yang Mandek

Reformasi birokrasi selama ini diperlakukan seperti pekerjaan administratif biasa. Padahal new public management (Hood, 1991) menekankan hasil, efisiensi, percepatan, dan transparansi. Indonesia memang mencoba menerapkannya, tetapi hanya pada struktur, bukan budaya kerja; fungsional, bukan struktural. Pegawai bekerja mengikuti rutinitas, bukan target. Pejabat berhitung risiko, bukan menjalankan mandat. Inilah yang membuat proyek desentralisasi mandek.

Masalahnya semakin parah karena banyak kebijakan daerah dibuat sangat jangka pendek dan tidak substantif. Fokus utamanya bukan perubahan struktural, tetapi pencitraan politik. Program sering disusun demi popularitas kepala daerah, bukan kebutuhan publik. Akibatnya, APBD habis untuk kegiatan seremonial, bantuan simbolik, dan proyek yang mudah diberitakan, sementara layanan dasar tetap tertinggal. Otonomi daerah akhirnya dipakai sebagai panggung, bukan sebagai alat pembangunan.

Hadirnya UUPN telah memberi alat kuat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan: pemangkasan regulasi, evaluasi kebijakan, dan larangan rangkap jabatan. Namun alat itu tidak berarti jika aparatur tidak mau berubah. Banyak regulasi dibuat hanya demi memenuhi indikator, bukan untuk menyelesaikan masalah. Di titik inilah reformasi dan desentralisasi kehilangan daya dorong—negara terus menambah aturan tetapi tidak memastikan aturan itu berjalan.

Pandangan Stiglitz (1989) tentang sektor publik menegaskan bahwa pemerintah harus hadir ketika pasar gagal, bukan menambah kegagalan baru. Dalam kerangka otonomi daerah, logika ini sangat relevan. Jika negara tidak mampu memastikan layanan dasar, mengelola data, dan menegakkan aturan secara konsisten, maka pemerintah justru menjadi sumber inefisiensi baru.

Stiglitz menyebut kegagalan pemerintah muncul ketika birokrasi lambat, minim informasi, dan keputusan tidak responsif. Hal ini terlihat jelas ketika daerah ingin bergerak cepat, tetapi pemerintah pusat menahan dengan prosedur panjang dan instruksi tidak sinkron. Alih-alih memperbaiki pasar, negara malah memperlambat daerah yang ingin maju.

Ketimpangan Kapasitas Antardaerah

Dalam perspektif institutional economics (North, 1990), institusi yang sehat adalah fondasi ekonomi. Ketika otonomi diterapkan, kesenjangan kapasitas antardaerah langsung terlihat. Daerah dengan manajemen kuat melaju, daerah yang lemah tertinggal makin jauh.

Perbedaan kapasitas ini berbahaya karena ekonomi nasional bisa goyah hanya karena beberapa daerah tak mampu menjalankan fungsi dasar. Pemerintah pusat terus menambah instruksi, tetapi instruksi tanpa kemampuan hanya menghasilkan tekanan baru.

Arsitektur data perekonomian nasional sebenarnya bisa menjadi alat pengawasan yang efektif. Namun masih banyak daerah yang menutup data dan menganggapnya sebagai aset internal. Penutupan ini menciptakan celah penyimpangan dan menghambat perencanaan. Selama data tidak diperlakukan sebagai milik publik, desentralisasi hanya memperluas birokrasi, bukan memperbaiki kualitas layanan.

Pada akhirnya, kelemahan kebijakan daerah bukan hanya persoalan lokal, tetapi langsung menghantam perekonomian nasional. Ketika daerah menyusun program tanpa arah, reaktif terhadap isu sesaat, dan lebih memikirkan masa jabatan daripada strategi jangka panjang, seluruh struktur ekonomi Indonesia ikut terseret.

Daerah sebagai Tulang Punggung Ekonomi

Padahal daerah adalah tulang punggung peredaran barang, tenaga kerja, investasi, dan layanan dasar. Jika tulang punggungnya rapuh, ekonomi nasional pasti ikut goyah. Tanpa kepemimpinan yang visioner dan disiplin kebijakan yang solid, otonomi daerah akan terus mengulang siklus yang sama: bergerak tanpa maju, menghabiskan anggaran tanpa hasil, dan membuat negara kehilangan momentum pembangunan.

Jika negara ingin proyek otonomi daerah bekerja maksimal, reformasi birokrasi harus diarahkan pada hasil nyata, bukan perubahan dokumen. Daerah harus diberi ruang bergerak, tetapi juga harus bertanggung jawab atas kinerjanya.

Baca juga: Perayaan Perlawanan Ekonomi: Waktunya Bawa Peradaban Kembali

Di atas segalanya, pemerintah pusat harus berhenti mengendalikan secara obsesif dan mulai membangun kemitraan berbasis hasil. Tanpa itu, reformasi birokrasi hanya akan menghasilkan pemerintah yang sibuk mengatur, tetapi gagal menjalankan tugas utamanya: melayani, mempercepat pembangunan, dan memperkuat daya saing daerah.

Dalam konteks yang lebih detail, desentralisasi dan otonomi daerah akan lebih berhasil jika kita memasukkan program peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan warga negara secara lebih konsisten dan berkelanjutan.

Selanjutnya, meningkatkan partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan publik dan pelaksanaan pembangunan; meningkatkan kualitas pelayanan dasar kepada warga negara, terutama pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, perizinan, dan pekerjaan; serta meningkatkan transparansi dan akuntabilabilitas dalam pelaksanaan semua kegiatan dalam rangka meningkatkan kepercayaan warga negara. Mestakung!

Penulis: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre & Agus Rizal, Ekonom Universitas MH Thamrin

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *