Milenianews.com, Mata Akademisi – Di dalam surah an-Nisa ayat 3 Allah berfirman:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”
Banyak riwayat sejarah tentang awal mula bagaimana ayat ini diturunkan. Aisyah istri Rasulullah menjelaskan ayat di atas dengan bercerita bahwa ada seorang perempuan yatim yang diasuh seorang laki-laki (bukan orang tuanya). Namun, sebagai wali dari perempuan yatim tersebut, laki-laki tadi justru tertarik dengan kecantikan dan harta yang dimiliki si yatim. Sayangnya dia menikahinya dengan nilai mahar yang rendah.
Baca juga: Peran Imam ‘Ashim dan Riwayat Hafs dalam Qiro’at Al-Qur’an di Nusantara
Setelah laki-laki tadi benar-benar menikahi si yatim, dia tidak memperlakukan istrinya itu dengan baik. Sebab dia tahu tidak akan ada orang yang membela si yatim. Karena dia sendirilah pengasuhnya, bukan orang lain. Kemudian turunlah ayat yang melarang umat Islam menikahi anak-anak yatim, kecuali bisa berlaku adil dalam memberikan mahar dan perlakuan yang seharusnya. Larangan ini disertai dengan anjuran menikahi perempuan yang baik bagi mereka, antara dua, tiga, dan empat.
Tafsir Al-Manar mengkritik mereka yang menjadikan poligami sebagai jalan untuk nafsu atau mengumpulkan wanita tanpa memedulikan keadilan. Ayat ini turun untuk mengkritik masyarakat Arab jahiliyah yang memperbolehkan pernikahan tanpa batas. Islam datang untuk mengatur dan membatasi praktik ini. Ayat ini merupakan bagian dari legislasi yang mempertimbangkan keadilan dan melindungi hak-hak kaum lemah (seperti anak yatim dan perempuan).
Dijelaskan pula di dalam kitab al Mannar yang dikutip dari Zamakhsyari bahwa penggunaan kata وَ (dan) pada مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ itu bermakna او (atau). Karena jika ‘wa’ diartikan sebagai dan, maka seolah olah laki-laki dapat menikahi jumlah total yang disebutkan. Penjelasan rincinya kata ‘dan’ menunjukkan fleksibelitas dan pilihan atas kebolehan bagi para lelaki yang ingin menikahi perempuan yang mereka inginkan. Sedangkan pendapat yang mengatakan dari hasil penjumlahan 2+3+4 tidaklah benar. Kesimpulannya laki-laki tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian dengan berargumen bahwa Nabi Muhammad saw. wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan istri, dan bahwa beliau pernah mengakad-nikahi lebih dari itu tidak benar, karena telah menjadi konsensus (ijma’) bahwa hal itu adalah kekhususan bagi beliau.
Kata ta’ūlū artinya “kamu tidak akan mampu menghindari kecondongan/ketidakadilan” (dalam perasaan). Ada juga yang menafsirkan “banyak tanggungan”, tetapi makna “ketidakadilan” lebih kuat. Seperti yang kita ketahui, ketika memahami suatu hukum, tidaklah cukup jika hanya melihat penjelasan dari hukum tersebut, maka hendaknya kita bisa mengkondisikan atau mempertimbangkan sosial dan budaya antara masa itu dan masa yang sekarang. Itulah yang disebut dengan hermeneutika.
Jika dilihat setelah Khadijah meninggal, Rasulullah melakukan poligami hanya pada perempuan yang janda dan tua kecuali Aisyah. Karena pada masa itu hanya laki-laki yang berkerja. Maka dapat dipahami tujuan Rasulullah menikah lebih dari satu untuk menafkahi perempuan tua dan janda. Berbeda jika dilihat pada masa sekarang, kebanyakan laki-laki menikah dikarenakan gaya hidup dan nafsu dengan dalih agama dan mengikuti Rasulullah. Mengapa demikian? terlihat ketika mereka menikahi perempuan-perempuan yang masih muda, cantik dan perawan. Bahkan dalam suatu wawancara alasan laki-laki poligami untuk mempunyai anak banyak sehingga dapat menyebarkan agama islam.
Kebanyakan perempuan itu makhluk yang sangat perasa, jangankan untuk berbagi sesuatu apalagi untuk berbagi orang yang ia cintai. Bukankah itu sangat menyakiti hatinya? yang menjadi pertanyaan besar, apakah manusia bisa adil? adil itu sendiri memiliki banyak pengertian. Tergantung perspektif dan keadaan. Seorang ibu yang memberikan uang saku kepada anaknya yang masih duduk di bangku SD akan berbeda ketika memberikan uang saku kepada anaknya yang duduk dibangku perkuliahan. Namun, poligami bukan permasalahan sederhana, lebih dari berbagi soal harta, tetapi juga soal cinta.
Secara psikologis, manusia tidak dapat benar-benar adil dalam membagi perasaan cinta, yang paling mungkin adalah keadilan prosedural dalam perilaku, bukan keadilan dalam perasaan. Pola aktivasi otak terhadap setiap pasangan bersifat unik dan tidak dapat direplikasi persis (proses kognitif yang menghalangi keadilan), tidak mungkin menghasilkan intensitas neurokimia yang sama untuk dua orang berbeda, otak secara otomatis membandingkan (komparasi sosial otomatis terjadi di luar kesadaran).
Penulis: Asqiya Rahmawati, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.









