Milenianews.com, Mata Akademisi – Di tengah arus informasi yang begitu deras, dunia dakwah kini menghadapi tantangan baru (era hoaks). Hoaks, atau berita bohong, tidak hanya merusak citra agama, tetapi juga membuat masyarakat bingung, takut, dan mudah terprovokasi. Di sinilah pentingnya kembali kepada gagasan Harun Nasution tentang dakwah yang rasional. Nasution, seorang tokoh pembaruan Islam di Indonesia, selalu menekankan pentingnya akal dalam memahami ajaran Islam. Ia percaya bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal sehat, justru mendorong penggunaan akal untuk memahami wahyu dan menyelesaikan persoalan umat.
Pendekatan rasional Harun Nasution sangat relevan di era hoaks. Banyak informasi yang beredar di media sosial tidak melalui proses penalaran yang sehat. Orang-orang mudah percaya pada berita yang menyerang lawan, memojokkan kelompok tertentu, atau menyebarkan ketakutan tanpa bukti. Dakwah yang hanya mengandalkan emosi atau perintah tanpa penjelasan akan semakin memperparah situasi, karena masyarakat akan semakin mudah diprovokasi dan terpengaruh oleh hoaks.
Baca juga: Epistimologi Gen Z
Nasution mengajarkan bahwa dakwah harus mampu menjawab pertanyaan “mengapa”, bukan hanya “apa”. Umat Islam diajak untuk berpikir kritis, memeriksa kebenaran, dan tidak taklid buta pada informasi yang belum tentu benar. Menurut Harun Nasution, “Islam adalah agama yang sesuai dengan akal dan karena itu Islam mendorong penggunaan akal. Pernyataan ini sangat penting di era hoaks, di mana banyak orang mudah percaya pada informasi tanpa memeriksa kebenarannya.
Nasution juga menekankan pentingnya dialog terbuka dan inklusif. Dakwah bukan monolog, bukan pula indoktrinasi. Ia membuka ruang bagi perbedaan pendapat dan bertukar pikiran dengan siapa saja, termasuk dengan pemeluk agama lain atau pemikir sekuler. Di era hoaks, sikap ini sangat penting. Umat Islam diajak untuk tidak langsung menuduh atau menyerang, tetapi membuka ruang diskusi, mencari kebenaran bersama, dan saling menghargai perbedaan. Dengan begitu, dakwah tidak menjadi alat propaganda, tetapi menjadi sarana pencerahan dan pemahaman yang lebih luas. Nasution juga menekankan bahwa kemajuan pemikiran Islam klasik terjadi justru karena adanya dialog dengan pemikiran lain. Ia berargumen bahwa dengan dialog, umat Islam bisa mengembangkan wawasan dan memahami tantangan zaman dengan lebih baik.
Selain itu, Harun Nasution meyakini bahwa pendidikan berkelanjutan adalah kunci utama. Dakwah tidak cukup dilakukan dalam acara seremonial atau ceramah sekali waktu. Ia harus menjadi proses panjang yang berjenjang, mulai dari keluarga, sekolah, hingga perguruan tinggi. Di era hoaks, penting bagi umat Islam untuk terus belajar, mengasah kemampuan berpikir kritis, dan memperluas wawasan. Nasution sendiri aktif di dunia pendidikan, mengajarkan pemikiran rasional dan filsafat Islam di kampus-kampus. Ia percaya bahwa jika intelektual dan akademisi sudah maju, mereka akan menjadi agen perubahan yang menyebarkan pemikiran segar ke masyarakat luas. Dengan pendidikan berkelanjutan, umat Islam tidak hanya bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hoaks, tetapi juga bisa mengembangkan sikap toleransi dan pluralisme.
Gagasan Nasution juga menekankan reinterpretasi sumber hukum Islam. Ia mengajak umat untuk membuka kembali pintu ijtihad, agar hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman. Di era hoaks, banyak isu sosial dan hukum yang membutuhkan jawaban baru, bukan sekadar mengulang pendapat lama. Dengan ijtihad, umat Islam bisa menemukan solusi yang sesuai dengan konteks kekinian, bukan hanya mengikuti tradisi yang mungkin sudah tidak relevan. Harun Nasution menolak taklid buta dan mendorong umat untuk berpikir kritis dan inovatif dalam memahami ajaran Islam.
Harun Nasution juga menekankan pentingnya pengenalan filsafat dan pemikiran kritis dalam dakwah. Ia memperkenalkan pemikiran filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali kepada masyarakat modern. Tujuannya agar umat tidak hanya menghafal teks, tetapi juga memahami konteks, sejarah, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di era hoaks, kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hoaks. Harun Nasution percaya bahwa dengan mempelajari filsafat dan sejarah pemikiran Islam, umat bisa mengembangkan sikap toleransi, menghargai perbedaan, dan memahami keragaman intelektual dalam Islam.
Pada akhirnya, dakwah di era hoaks harus mampu menciptakan “Muslim Modern” yang percaya diri, rasional, dan mampu menghadapi tantangan zaman. Dakwah bukan hanya untuk mempertahankan tradisi, tetapi juga untuk menggerakkan transformasi sosial-intelektual. Harun Nasution mengajarkan bahwa Islam tidak boleh tertinggal, tetapi harus mampu menjadi bagian dari dunia modern tanpa kehilangan identitas keislamannya.
Dengan mempelajari gagasan rasional Harun Nasution, umat Islam bisa lebih siap menghadapi era hoaks. Dakwah yang rasional, terbuka, dan berbasis pendidikan akan menjadi benteng utama melawan penyebaran informasi palsu. Kita perlu menumbuhkan budaya berpikir kritis, membuka ruang dialog, dan terus belajar. Dengan begitu, dakwah bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk manusia yang cerdas, bijak, dan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang hoaks.
Penulis: Ghina Septiyowan, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













