Milenianews.com, Mata Akademisi – Kajian tentang Bahasa dalam Al-Qur’an menjadi bagian penting dalam memahami pesan yang dikandungnya, sebab pesan moral dalam Al-Qur’an tidak hanya tersampaikan melalui makna lafadz, tetapi juga melalui keunikan retorika bahasa yang digunakan. Surah al-Qari’ah termasuk salah satu surah eskatologis yang menggambarkan dasyatnya hari kiamat melalui gaya Bahasa yang menggetarkan jiwa. Disisi lain kemunculan tafsir modern terutama dari muffasir Perempuan seperti bintu shati’ memberikan sudut pandang baru dalam memahami relasi antar stuktur Bahasa Al-Qur’an dan pesan moral yang ingin ditanamkan manusia.
Surah al-Qari’ah yang terletak pada juz 30 sebagai surah Makkiyah, mengandung pesan mendalam mengenai hari kiamat beserta konsenkuensi perbuatan manusia di dunia. Keindahan linguistik Bahasa Arab dalam surah ini bersifat multidimensi, Dimana kosakatanya memiliki makna yang mendalam menstimulasi perenungan intelektual dan emosional pembaca. Pendekatan ini memungkinkan pendalaman etika yang relevan bagi eksistensi kontemporer, sebagaimana diuraikan oleh bintu syathi dalam metodologi tafsir linguistiknya. Penggunaan kata-kata ringkas namun padat mencerminkan prinsip i’jaz Al-Qur’an.
Lafaz “al-Qari’ah” berasal dari akar masdar qarä’a, yang mengimplikasikan dentuman dahsyat atau pukulan mengguncang, melambangkan fenomena alam akhir zaman. Struktur gaya bahasa surah ini membuka dengan istifhamiyah “Apa itu al-Qari’ah?”, yang bukan sekedar introgasi, melainkan pendorong kesadaran ontologis tentang kefanaan dan akhirat. Bintu Shati’ menekankan bahwa konstruksi ini menciptakan efek psikologis mendalam, memaksa manusia untuk memperetanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Ilahi.
Bintu Shati’ dikenal dengan pendekatan adabi-lughawi dalam menafsirkan Al-Qur’an. Baginya, bahasa adalah pintu paling otetik untuk memahami maksud ilahi sebelum masuk pada aspek fiqh, kalam, atau historis. Dalam Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, menganalisis lafaz pembuka sebagai sumpah yang membangun kekuatan kedalaman emosional dari ayat 1-5. Pendekatan linguistiknya menolak sinonimitas, menegaskan keunikan setiap kata sesuai konteks nahwu dan balaghah Al-Qur’an.
Ayat kedua, “Wa må adraka ma al-Qari’ah,” memperkuat efek targhib wa tarhib melalui pengulangan yang menimbulkan rasa keagungan ilmu ghaib. Ini mengajak pembaca untuk introspeksi mendalam terhadap hakikat bari kiamat, bukan sebagai keyakinan yang tidak konkret melainkan realitas yang memengaruhi etika harian. Pesan moral yang tersirat adalah kesadaran akan fana’ al-dunya (kefanaan duniawi), yang mendorong orientasi amal shalih sebagai investasi akhirat. Dengan demikian, bahasa surah berfungsi sebagai sarana utama yang digunakan untuk menyebabkan perubahan mendasar dalam kerangka berfikir.
Ayat 4-5 menggambarkan “kalalah thibul wazn” sebagai timbangan amal yang miring akibat dominasi kejahatan, menciptakan gambaran visual dan emosional yang kuat, Bintu Syathi menjelaskan “kalalah” melalui analisis morfologis sebagai metafor ketidakseimbangan ontologis, di mana dosa menjadi beban yang menenggelamkan. Pesan moral di sini adalah prinsip ‘adlu wa qisth (keadilan dan keseimbangan), yang menjadi fondasi etika Islam.
Ayat 6-9 menutup dengan pemisahan pahala dengan azab berdasarkan hasil timbangan amal. Bintu Syathi menyoroti keunikan leksikal “thibul” sebagai proses penimbangan yang presisi, mencerminkan keadilan mutlak Allah. Surah al-Qari’ah dengan demikian berfungsi sebagai alarm etis bagi umat manusia. Transformasi bahasa menjadi inti dari pendekatan Bintu Syathi.
Dalam tafsir klasik seperti karya al-Thabari dan Ibnu Katsir, Surah al-Qari’ah dielaborasi melalui Riwayat sahabat dan hadis tentang kiamat. Al-Thabari mengumpulkan berbagai qira’at dan tafsir mufassirin mutaqaddimin, menekankan visualisasi horor bari pembalasan. Ibnu Katsir meriwayatkan detail neraka dari sunnah, termasuk hadis tentang timbangan amal meski sebagian bersumber dhaif. Namun, Bintu Shati’ mengkritiknya sebagai parsial, karena ketergantungan subjektif pada sumber eksternal. Tafsir Klasik fokus pada kepastian kengerian, sementara Syathi pada retorika internal. Perbedaan ini mencerminkan evolusi metodologi tafsir dari riwayi ke bayani.
Kritik Bintu Shati’ terhadap Tafsir klasik berpusat pada potensi subjektivitas riwayat yang mengaburkan kemurnian tekstual. la menolak hadis dhaif dan israiliyyat demi prinsip bayani murni, Pendekatan terpadunya menghasilkan tafsir yang lebih ringkas dan universal. Ini memperkaya tradisi ulum Al-Qur’an secara paradigmatik. Metodologi Tafsir klasik bersifat riwayat. sementara Bintu Syathi linguistik. Tafsir Klasik unggul dalam kedalaman historis sedangkan Syathi dalam penepatan gaya bahasa. Perbandingan ini menunjukkan bahwa tafsir saling melengkapi.
Baca juga: Kajian Teori Talak: Perselingkuhan Emosional Pada Media Sosial Yang Berujung Talak (Perceraian)
Pendekatan Bintu Shati’ membantu pembaca modern memahami bahwa Bahasa Al-Qur’an bukan sekedar ancaman, tetapi panggilan reflektif untuk menyadari tujuan hidup. Melalui gaya retorika surah al-Qari’ah, setiap individu diajak untuk bertanya “apa yang sedang aku kumpulkan untuk hari yang pasti datang itu?”
Surah al-Qariah memperlihatkan interkoneksi yang kuat antara kekuatan Bahasa dan penyampaikan pesan moral. Melalui retorika dan visualisasi hari kiamat, Al-Qur’an tidak sekedar memberikan gambaran eskatologis, tetapi menggerakkan kesadaran manusia. Tafsir Bintu Shati’ menyoroti bagaimana Bahasa surah ini menjadi instrument edukasi spiritual, berbeda namun saling melengkapi dengan tafsir klasik yang lebih berorientasi pada deskripsi peristiwa akhirat dan hukum ketuhanan. Pada akhirnya, pesan moral surah al-Qari’ah tetap relevan dalam kehidupan modern sebagai pengingat bahwa hakikat keberhasilan bukan terletak pada materi dunia, tetapi pada amal baik yang menjadi ukuran hakiki nilai manusia.
Penulis: Muthia Syafitri, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













