Mata Akademisi, Milenianews.com – Bagaimana jika akal manusia lebih berkuasa daripada wahyu Tuhan? Pertanyaan ini bukan sekadar spekulasi filsafat, melainkan inti dari keyakinan teologis radikal yang dianut oleh aliran Mu’tazilah sebuah gerakan pemikiran Islam yang mengguncang ortodoksi abad ke-8 M. Di tengah arus dominan pemahaman agama yang literal dan deterministik, Mu’tazilah tampil dengan gagasan revolusioner: manusia bukan boneka di tangan takdir, melainkan makhluk yang merdeka, rasional, dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.
Bagi Mu’tazilah, wahyu bukanlah teks yang harus diterima tanpa tanya. Sebaliknya, setiap ayat Al-Qur’an mesti tunduk pada uji rasionalitas. Jika Tuhan benar-benar Maha adil, maka mustahil Ia menghukum manusia atas dosa yang telah ditentukan sebelumnya. Doktrin predestinasi pun ditolak mentah-mentah. Akal, dalam pandangan mereka, bukan sekadar alat bantu, melainkan hakim tertinggi dalam memahami agama.
Baca juga: Faham Jabariyah dan Qodariyah: Dari Akar Sejarah Hingga Relevansi Masa Kini
Pandangan ini tentu memicu kontroversi. Ulama tradisional menganggap Mu’tazilah terlalu jauh, bahkan lancang, karena seolah-olah mengadili Tuhan dengan logika manusia. Namun di balik kontroversi itu, tersimpan warisan penting: keberanian untuk berpikir kritis dan mempertanyakan otoritas keagamaan yang absolut. Dalam dunia modern yang menjunjung tinggi sains dan demokrasi, di mana kebebasan berpikir menjadi fondasi peradaban, gagasan Mu’tazilah tentang otonomi akal justru terasa semakin relevan.
Namun, di sinilah paradoks itu muncul: sampai di titik mana akal dapat dipercaya untuk menafsirkan wahyu tanpa tergelincir ke dalam kesombongan intelektual? Sejarah mencatat bahwa ketika akal ditempatkan sebagai satu-satunya penafsir kebenaran, agama dapat kehilangan sisi transendennya. Mu’tazilah sendiri pada akhirnya tumbang, bukan hanya karena tekanan politik, tetapi juga karena kecenderungan mereka untuk memanipulasi teks suci demi memenangkan debat intelektual. Kontroversi seperti apakah Al-Qur’an itu makhluk atau kekal berujung pada pemaksaan doktrin dalam peristiwa Mihnah sebuah pengadilan agama yang justru bertentangan dengan semangat kebebasan berpikir mereka sendiri.
Namun demikian, menolak akal sepenuhnya juga membawa risiko tersendiri. Agama bisa berubah menjadi kaku dan tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Gagasan Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan kebebasan kehendak justru menginspirasi tokoh pembaharu modern seperti Muhammad Abduh. Ia merumuskan teologi Islam yang mampu berdialog dengan kolonialisme, modernitas, dan nalar ilmiah. Dari sini tampak bahwa keseimbangan antara wahyu dan akal menjadi sangat penting. Akal adalah alat untuk memahami wahyu, bukan pengganti wahyu itu sendiri.
Sebagaimana pernah diungkapkan Al-Ghazali, “Akal adalah telinga hati, tanpanya kita tuli terhadap firman Tuhan, tetapi ia tak boleh mengklaim diri sebagai sumber kebenaran”. Pandangan ini menjadi jembatan penting antara dua kutub: rasionalisme kritis Mu’tazilah dan spiritualisme tradisional Asy’ariyah.
Dalam pemikiran Al-Asy’ari, keadilan Tuhan tidak bisa disamakan dengan standar keadilan manusia. Baginya, menetapkan bahwa Tuhan adil hanya jika sesuai dengan logika kita adalah bentuk kesombongan. Tuhan tidak perlu “lolos” dari ujian akal manusia, karena justru Dialah sumber segala kebenaran. Dalam logika ini, penderitaan yang dialami Nabi Ayyub atau peperangan yang diperintahkan dalam syariat bukanlah ketidakadilan, melainkan bagian dari hikmah ilahiah yang melampaui batas nalar manusia.
Debat antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah ini bukanlah sekadar pertarungan intelektual masa lalu. Di era modern, gagasan Mu’tazilah tentang kebebasan manusia sering digunakan untuk memperkuat wacana hak asasi dan perlawanan terhadap absolutisme agama. Namun, ironi pun muncul: ketika keadilan manusia dijadikan standar tunggal, kaum ateis menolak Tuhan karena Ia dianggap tak adil menciptakan penderitaan.
Lalu, di mana titik temunya?
Barangkali jawabannya terletak pada pengakuan bahwa keadilan Tuhan memang tak sepenuhnya bisa dijangkau. Ia seperti cahaya yang tak bisa dilihat langsung, namun dapat dikenali dari pantulan-pantulannya. Kita bisa mendekatinya dengan akal, seperti diajarkan Mu’tazilah, namun harus tahu kapan berhenti, seperti diingatkan Asy’ari. Pada akhirnya, kedua pendekatan ini rasional dan tradisional berupaya menjawab pertanyaan yang sama: bagaimana manusia memahami Yang Tak Terpahami?
Harun Nasution, dalam karya monumentalnya Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, menyebut Mu’tazilah sebagai “rasionalis Islam” yang mencoba membebaskan umat dari belenggu dogmatisme. Pandangan ini bukan sekadar penghormatan, melainkan pengakuan terhadap revolusi intelektual yang mereka bawa. Rasionalisme mereka tidak bersifat sekuler, melainkan tetap berada dalam bingkai teologis Islam. Mereka tidak menolak wahyu, tetapi berusaha memahaminya secara lebih mendalam melalui akal.
Baca juga: Jejak Khawarij dalam Konteks Modern: Tantangan dan Solusi bagi Umat Islam
Warisan terbesar Mu’tazilah bukanlah doktrin-doktrin spesifik mereka, melainkan keberanian intelektual untuk berpikir kritis dalam kerangka iman. Mereka mengajarkan bahwa agama tanpa rasionalitas bisa berubah menjadi dogma yang membelenggu, sementara rasionalitas tanpa iman dapat tersesat dalam relativisme. Dalam ketegangan antara akal dan wahyu, Mu’tazilah mengingatkan kita bahwa keduanya tidak harus saling meniadakan, tetapi bisa saling melengkapi.
Penulis: Mabda Zikara, Dosen serta Nabilah Rozzaquqowiyu Wansri, Nurul Fadhilah, Qori’atun Hafizoh, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.