Budaya  

Rempug Tarung, Tradisi Perang Tomat untuk Buang Sial

Milenianews.com, Lembang – Perang Tomat / Rempug Tarung di Kampung Cikareumbi, Desa Cikidang, Kecamatan Lembang, Bandung Barat sudah berlangsung sejak tahun 2011. Kegiatan tersebut rutin diadakan setiap tahun di awal bulan Muharam. Tahun ini diadakan Minggu 13 oktober 2019.

Sebanyak dua ton tomat hasil panen dijadikan sebagai amunisi dalam Rempug Tarung ini. Kegiatan perang tomat merupakan pengambangan dari tradisi Hajat Buruan. Sebagai wujud rasa syukur dalam keberhasilan panen masyarakat disana.

Baca Juga : Rangkaian Acara Festival Pamalayu Kabupaten Dharmasraya

Dua kelompok pemuda memenuhi jalanan kampung, saling melempar tomat dengan memakai pelindung kepala dari anyaman bambu. 

Gemuruh sorakan penonton juga menambah meriah perayaan tersebut. Sementara tomat yang dipakai sebagai amunisi adalah tomat busuk.

Tomat Busuk

Menurut Budayawan Sunda, Mas Nanu Muda, tradisi ini bertujuan untuk membuang sial dan hal-hal buruk dalam diri masyarakat. 

“Alasan dipakai tomat yang buruk ini berkaitan dengan makna ngaruat, membersihkan diri dari hal buruk atau membuang hal-hal yang busuk dalam diri. Bahasa Sunda-nya berarti miceun rereged, geugeuleuh keukeumeuh,” kata Bah Nanu, sapaan akrabnya, dikutip Liputan6.com, Senin (14/10).

Awalnya, para petani tomat membiarkan tomat-tomat yang gagal panen berserakan di kebunnya. “Dari kondisi petani yang menderita akibat panen tomat dengan harga yang jatuh serta dibiarkan berserakan di kebun, muncullah ide untuk membuat kegiatan ini,” ujarnya.

Harga Tomat Dipasaran

Perang tomat ala warga Cikareumbi ini dikemas dengan pertunjukan seni. Proses tradisi perang tomat diawali pertunjukan atraksi prajurit perang. Prajurit ini memakai topeng , tameng anyaman bambu dan pangsi.

Baca Juga : Bahas Hari Santri Nasional, PWNU Jatim Temui Gubernur untuk Bahas Kegiatan

Setelah selesai, tomat-tomat yang berserakan akan dibersihkan dan dikumpulkan lalu dijadikan pupuk kompos. 

Harga tomat di pasaran pada bulan ini menurun drastis. Harganya berkisar dari 2000-3000 rupiah yang bulan lalu sampai 8000 rupiah. Hal tersebut disebabkan karena kondisi cuaca ekstrem yang membuat tanaman tidak bisa bertahan lama dan rusak karena hama. (Ikok)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *