Terus Melangkah untuk Memberikan Kesempatan pada Diri Sendiri

lomba menulis artikel
lomba menulis artikel

Oleh : Vhalliza Ahsya Rilia

Milenianews.com – Di setiap buku yang menarik selalu membuat pembacanya terus membaca. Setiap kata, setiap baris, dan setiap paragraf seolah tak ingin terlewatkan satu huruf pun. Pengalaman yang dihadapi oleh setiap tokoh, terutama sang tokoh utama, mengaitkan satu halaman ke halaman berikutnya. Mungkin ada bagian yang membuat kita menangis tersedu-sedu, ada bagian yang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal, atau mungkin ada bagian yang membuat perasaan kita menjadi campur aduk. Begitu pula dengan kehidupan, tak selamanya senyum dan tawa mewarnainya. Tak jarang kelelahan mental dan air mata menjadi bagian dari kehidupan. 

Kalau di bagian awal sebuah buku berisi pengenalan tentang tokoh-tokohnya, maka di buku kehidupan saya, saya adalah pemeran utamanya. Vhalliza. Saya telah melewati 16 tahun dalam buku kehidupan saya yang dipenuhi lika-liku. Tahun pertama hingga tahun ketiga masa sekolah, saya lalui dengan deretan prestasi. Tak seorang pun terkejut ketika saya menjuarai olimpiade sains. Nama saya rutin disebut sebagai peringkat pertama saat pengumuman hasil belajar setiap semester sehingga dianggap hal yang biasa. Beasiswa prestasi sebagai penghargaan menjadi penyokong pendidikan dasar yang saya lalui.  

Seperti halnya tokoh utama dalam setiap buku, lampu sorot selalu mengikuti ke mana pun saya melangkah. Langkah saya menjadi lebih pelahan ketika suatu hari Ayah memberi kabar mengejutkan. Kami harus pindah ke kota kecil di mana Ayah menghabiskan masa kecilnya, kembali ke rumah Kakek dan Nenek. Kepindahan kami ke kota itu untuk bertahan hidup, setelah perusahaan Ayah bekerja selama ini dinyatakan bangkrut. 

Menjadi murid baru di lingkungan yang asing, keluarga yang ditimpa masalah, dan belajar yang terdistraksi, sungguh perasaan yang sulit dideskripsikan oleh seorang gadis kecil. Kalau dulu saya mengunjungi toko buku untuk menghabiskan akhir pekan, sekarang saya harus membuat karet gelang untuk dijual bersama sepupu-sepupu saya. Kalau dulu saya menghabiskan waktu di kamar menjawab buku tebal berisikan latihan soal, sekarang saya menghabiskan waktu di kamar untuk menjauhkan diri dari pertikaian. Saya bersembunyi di bawah ranjang, sambil mengusap air mata, mendengar kedua orang tua saya saling menyalahkan di antara keterpurukan ekomoni yang kami hadapi. Semua senyum dan tawa dalam keluarga kami tiba-tiba berubah menjadi amarah dalam waktu yang begitu singkat. Saya tak lagi memikirkan tugas sekolah yang seharusnya diselesaikan di rumah. Semua energi saya tumpahkan agar tak menjadi api pemantik pertikaian yang dengan mudah tersulut.

Namun ternyata pilihan itu tak sepenuhnya benar. Hasil belajar saya sangat mengecewakan. Tak ada yang bisa disalahkan, kecuali diri saya sendiri. Tak ada gunanya menangis sebagai perasaan menyesal karena tak ada lagi air mata yang bisa diteteskan. Namun perasaan saya tak ubahnya gelas retak yang siap hancur kapan saja. Perasaan menjadi kebanggaan keluarga, luluh lantak dalam satu semester. 

Namun saya tak ingin jatuh lebih dalam. Saya meyakini diri sendiri bahwa saya mungkin tak dapat meringankan kesulitan ekonomi keluarga, tetapi paling tidak saya dapat menghadirkan kebanggaan di hati orang-orang yang saya cintai. Saya adalah tokoh utama dalam cerita kehidupan saya, maka keputusan saya akan mempengaruhi jalan cerita selanjutnya. 

Saya kembali berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dan kompetisi. Mulai dari lomba olimpiade, lomba pidato, lomba dakwah cilik, hingga deretan kompetisi lain yang menempatkan nama saya sebagai juara. Deretan prestasi ini membuat lampu sorot terus mengarah kepada saya, membuat saya dikenal oleh semua siswa. Prestasi tersebut juga memberikan hak istimewa sehingga saya dapat menempuh pendidikan lanjutan melalui jalur undangan. 

Masuk ke sekolah menengah melalui jalur prestasi membuat saya berada di kelas unggulan yang terdiri siswa-siswa terbaik dari berbagai sekolah. Tempo belajar mereka begitu cepat. Mereka selalu melangkah lebih dulu. Tak jarang mereka telah memahami materi yang belum dibahas di kelas sama sekali karena mereka telah mendapatkan penjelasan dari guru les. 

Saya kesulitan menyesuaikan diri. Kuota internet ketengan mengharuskan saya mengakses internet seirit mungkin. Buku paket yang diberikan sekolah terlihat makin lusuh karena hanya itu satu-satunya sumber belajar utama saya. Mengikuti les tambahan di luar sekolah hanya menjadi mimpi yang tak pernah berani saya utarakan. Fakta bahwa tidak ada yang bisa dilakukan saat itu membuat saya merasa sangat kecil. Namun kali ini konfliknya berupa tekanan dari dalam diri sang tokoh. 

Saat orang lain terlihat terus berjalan jauh berkembang, saya berada di belakang mereka. Apa pun usaha yang saya lakukan untuk mengejar mereka hanya membuat langkah saya berputar-putar di bagian yang sama. Setiap hari terasa bertambah berat. Saya dihantui bayang-bayang bahwa saya satu-satunya yang tidak mengerti apa-apa. Hingga akhirnya saya kehilangan kepercayaan diri. Perasaan yang menganggap diri sendiri tak layak untuk disandingkan dengan orang lain. Suara kecil dari hati yang menyatakan bahwa saya sangat kurang dalam segala hal, bahwa saya tidak akan pernah bisa mencapai tingkat cukup. Bahwa saya bukan apa-apa. Saya tidak bisa melawan pikiran dari diri saya sendiri karena memang itulah kenyataan yang hadir. 

Kehilangan kepercayaan diri sama saja dengan kehilangan semua yang ada di dalam hidup. Di usia remaja yang dipenuhi perasaan sentimental, saya tidak bisa berhenti menyalahkan dan menganggap remeh diri saya sendiri. Walau lembar demi lembar buku kehidupan saya telah terlewati, namun isinya masih sama: Saya hanyalah debu kecil yang tidak terlihat eksistensinya di kehidupan ini. 

Hidup terus berjalan tidak peduli apa yang saya alami, persis seperti kendaraan di jalan raya terus berlalu lalang tidak peduli jalan yang mereka lewati berlubang atau tidak. Sekali lagi saya memutuskan bahwa saya lah sang tokoh yang akan menentukan jalan cerita kehidupan saya. Ketika fokus utama diarahkan untuk melihat ke dalam diri sendiri, saya mendapatkan begitu banyak hal-hal istimewa dalam diri saya. Saya tak lagi mempedulikan seberapa cepat orang lain melangkah, tetapi seberapa jauh jangkauan yang bisa saya kembangkan. 

Saya sebagai tokoh utama harus mengolah kondisi dan keadaan yang ada sebagai fasilitator perkembangan perjalanan hidup saya. Saya bertanya jika tidak mengerti. Saya memanfaatkan tutor sebaya di antara teman sekelas untuk memberikan apresiasi pada teman tetapi sekaligus mendapatkan ilmu pengetahuan yang mereka bagikan. Saya juga mencari pengalaman melalui organisasi. Saya berusaha menyeimbangkan antara belajar di kelas dengan kegiatan di luar kelas. Kepercayaan diri kembali muncul perlahan-lahan. 

Menjadi ketua seksi keagamaan di OSIS, menjadi ketua ekstrakurikuler, kerap tampil sebagai pengisi acara mingguan setiap hari Jumat di sekolah, menjuarai lomba-lomba akademik dan nonakademik, dan tentu kembali menjadi juara kelas adalah bonus yang saya raih setelahnya. Tidak sampai di situ, saya juga menjadi juara umum dan lagi-lagi mendapatkan jalur undangan ke SMA tempat saya bersekolah sekarang. Rentetan peristiwa manis ini dilengkapi dengan membaiknya ekonomi keluarga karena Ayah mendapatkan pekerjaan tetap. 

Di sinilah si tokoh utama sekarang. Duduk di tahun kedua di salah satu SMA terbaik di Kota Palembang. Walau belum banyak yang bisa saya lakukan selama masa SMA karena pandemi yang menyelimuti seluruh dunia, saya tak berputus harapan. Perjalanan masih panjang. Saya bahkan belum mendekati lembar ujung buku. Masih ada banyak halaman untuk menorehkan momen-momen indah. 

Namun peristiwa-peristiwa yang telah tertoreh memberikan pelajaran berharga. Satu hal yang pasti, melihat orang lain sebagai patokan dan mengejar mereka tidak akan menghasilkan apapun. Yang harus dilakukan adalah fokus terhadap diri sendiri. Setiap orang punya jalan ceritanya masing-masing. Kita hanya perlu tetap melangkah, tetap berproses, fokus pada tujuan kita, hingga mencapai tempat yang kita inginkan. Membandingkan langkah kita dengan langkah orang lain hanya akan melelahkan tubuh dan pikiran sehingga hanya memberikan kita kegagalan total.

Satu bab buku yang berisi kegagalan bukan berarti itu adalah akhir dari cerita. Tidak masalah tersandung atau terjatuh, namun sepanjang kita bangkit, mau belajar dari kegagalan, dan mencoba lagi, maka akan menghadirkan cerita hidup yang berbeda.

Respon (100)

  1. such a long journey, inspiratif bgt di berbagai pandang kalangan T___T semangat teruuus kamu! send virtual hug! <333

  2. Waaah keren banget kamuu bisa raih prestasi sebanyak itu 😭😭😭
    Semangat terus yaa buat sekolah & nulisnya <333

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *