Milenianews.com, Mata Akademisi– Tokoh fikih Madzhab Syafi’i, yakni Imam Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib, mengungkap bahwa seorang imam tidak harus niat menjadi imam. Berbeda dengan makmum yang harus berniat untuk menjadi makmum.
Sebab kalau makmum tidak berniat menjadi makmum, tidak dihitung shalat berjamaah. Nabi bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Niat tempatnya di hati. Melafazkannya sunnah.
Hal ini penting karena shalat berjamaah lebih utama dari shalat sendiri. Nabi mendeklarasikan, “Shalat berjamaah lebih utama dari shalat sendiri sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Muslim).
Menurut Imam Abu Syuja’, hukum shalat berjamaah sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan untuk dilaksanakan). Namun, menurut Mushthafa Dib al-Bugha dalam karyanya, yakni kitab al-Tahdzib, hukum shalat berjamah adalah fardhu kifayah.
Dasarnya adalah sabda Nabi, “Apabila ada tiga orang di satu kampung, lalu tidak ada di antara mereka yang shalat berjamaah, niscaya setan mengalahkan mereka.” (HR. Ibnu Hibban).
Selanjutnya, orang yang merdeka sah shalatnya bermakmum dengan seorang budak. Jelas kalau fikih Islam anti politik apartheid, jauh sebelum gerakan anti ras ini dibeslah pada 1990.
Begitu juga sah shalat orang dewasa bermakmum dengan seorang murahiq. Murahiq adalah anak seusia enam atau tujuh tahun yang mendekati baligh, dia bisa membedakan yang baik dan yang buruk, dan yang benar dan yang salah.
Shalat berjamaah tidak sah hukumnya apabila perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Nabi menegaskan, “Barangsiapa mengunjungi suatu kaum, maka janganlah dia mengimami mereka. Hendaknya yang mengimami adalah seorang laki-laki di antara mereka.” (HR. Abu Daud).
Selanjutnya, menurut Imam Abu Suja’, seorang qari’ tidak boleh bermakmum kepada seorang ummi. Menurut al-Bugha, seorang qari’ adalah orang yang bagus saat membaca al-Fatihah. Sebaliknya, orang yang tidak bagus dalam membaca al-Fatihah disebut ummi.
Alasan ketidakbolehannya adalah karena dalam shalat membaca al-Fatihah adalah rukun yang tidak boleh dilanggar. Apabila hal itu terjadi shalat imam dan makmum tidak sah. Shalat seorang ummi, dalam keadaan darurat, sah bagi dirinya sendiri. Selanjutnya dia harus belajar hingga mampu membaca al-Fatihah.
Penulis: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung, Kota Depok