Strategi Komunikasi Dan Difusi Inovasi Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Indonesia

Pandemi Covid-19

Milenianews.com, Mata Akademisi – Pandemi COVID-19 telah menjadi ujian besar bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya dari segi kesehatan, tetapi juga dalam cara berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan beradaptasi dengan perubahan yang datang secara tiba-tiba dan disruptif. Berbagai sektor kehidupan dipaksa untuk menemukan cara baru agar dapat bertahan, bahkan berkembang, di tengah berbagai pembatasan. Fenomena ini menarik untuk dikaji melalui lensa Teori Difusi Inovasi yang dipopulerkan oleh Everett M. Rogers. Teori ini memberikan kerangka untuk memahami bagaimana ide, praktik, atau objek baru yang dianggap sebagai inovasi, dikomunikasikan melalui saluran tertentu, dari waktu ke waktu, di antara para anggota suatu sistem sosial. Berdasarkan empat artikel jurnal yang dianalisis, terlihat bahwa konsep difusi inovasi menjadi landasan strategis bagi berbagai aktor mulai dari korporasi, lembaga pemerintah, hingga masyarakat di tingkat komunitas dalam merancang dan melaksanakan strategi komunikasi untuk menghadapi krisis pandemi.

Baca juga: Dakwah Kultural Sunan Kalijaga sebagai Model Moderasi Beragama: Studi Kasus Transformasi Tradisi Labuhan Laut di Desa Pakisrejo, Pesisir Jawa Tengah

Pada sektor korporasi, studi kasus pada layanan GoFood dari Gojek menunjukkan respons yang cepat dan inovatif terhadap tantangan utama pandemi, yaitu krisis kepercayaan masyarakat terhadap keamanan dan kebersihan layanan pesan antar makanan. GoFood merespons hal ini dengan meluncurkan kampanye komunikasi terpadu berlabel J3K (Jaga Kesehatan, Kebersihan, dan Keamanan). Kampanye ini tidak sekadar slogan, tetapi diwujudkan dalam serangkaian inovasi fitur aplikasi yang langsung menjawab kekhawatiran pengguna dan mitra. Inovasi tersebut antara lain: Daftar Mandiri untuk calon merchant agar bergabung tanpa tatap muka, Hygiene Sticker yang menandakan merchant telah memenuhi protokol kesehatan, Contactless Delivery, dan Posko Aman untuk memastikan kesehatan mitra driver[^1]. Strategi ini sejalan dengan elemen “karakteristik inovasi” dalam teori Rogers, di mana inovasi akan lebih cepat diadopsi jika memiliki keunggulan relatif, kompatibel, tidak rumit, dapat dicoba, dan hasilnya teramati. Dengan memanfaatkan saluran komunikasi multi-platform (website, media sosial, webinar), GoFood berhasil menyebarkan pesan yang konsisten dan membangun kembali kepercayaan, yang tercermin dari peningkatan transaksi sebesar 20% selama pandemi.

Di sisi lain, lembaga pemerintah juga harus berinovasi dalam menjalankan fungsi sosialisasinya. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), yang bertugas melakukan pembinaan dan sosialisasi hukum, menghadapi kendala aktivitas tatap muka yang dibatasi. Studi mengenai BPHN mengungkap adaptasi strategi komunikasi mereka menjadi hibrid, menggabungkan pendekatan langsung dan tidak langsung (online). Meskipun turun langsung ke lapangan (seperti pasar atau jalan) masih dilakukan dengan bantuan pihak berwenang dan memperhatikan protokol, porsi yang jauh lebih besar dialihkan ke penguatan media sosial seperti Instagram, YouTube, dan website untuk menyebarkan konten hukum[^4]. Pergeseran ini menunjukkan pemahaman akan perubahan “sistem sosial” dimana masyarakat lebih banyak beraktivitas di dunia daring. Namun, penelitian juga mengidentifikasi kendala, seperti lambatnya respons terhadap pertanyaan konsultasi online karena tingginya volume permintaan, mengindikasikan bahwa kapasitas dan sumber daya untuk saluran digital masih perlu ditingkatkan. Temuan ini memperkuat pentingnya kesiapan infrastruktur dan SDM dalam mendukung strategi komunikasi digital suatu instansi.

Pada tingkat masyarakat paling akar rumput, penelitian di Kelurahan Teling Atas, Manado, berhasil mengidentifikasi munculnya suatu pola komunikasi perubahan sosial yang khas akibat pandemi. Pola ini terdiri dari tiga tahap utama yang selaras dengan teori Rogers: (1) Invensi, yaitu munculnya ide-ide baru baik dari pemerintah (kebijakan PSBB, new normal) maupun dari masyarakat sendiri (usaha online, olahraga bersama); (2) Difusi, yaitu proses ide-ide tersebut dikomunikasikan ke dalam sistem sosial, mengubah cara interaksi sosial dengan adanya batasan fisik; dan (3) Konsekuensi, yaitu perubahan yang terjadi akibat adopsi atau penolakan inovasi tersebut. Pola ini menunjukkan bahwa masyarakat bukanlah penerima pasif, melainkan aktor aktif yang menciptakan dan mengadaptasi inovasi mikro untuk bertahan hidup secara ekonomi dan sosial. Komunikasi interpersonal, baik langsung dengan protokol ketat maupun melalui media elektronik seperti telepon, menjadi saluran vital dalam proses difusi ini.

Konteks difusi inovasi yang paling krusial dan penuh tantangan adalah program vaksinasi COVID-19. Penelitian kuantitatif di Kecamatan Banjarbaru Selatan secara eksplisit menguji pengaruh elemen-elemen difusi inovasi Rogers terhadap minat masyarakat untuk vaksinasi. Hasilnya signifikan: saluran komunikasi menjadi faktor paling dominan (dengan pengaruh 70.2%), diikuti oleh karakteristik inovasi (65%), dan sistem sosial (49.3%). Implikasinya jelas: sebaik apapun kualitas vaksin sebagai sebuah inovasi (keunggulan, keamanan), dan sekuat apapun dukungan tokoh masyarakat (opinion leaders), pesan tersebut tidak akan efektif tanpa disalurkan melalui kanal yang tepat, berulang, dan dengan kejelasan informasi. Media massa, tenaga kesehatan (agen perubahan), dan orang terdekat (komunikasi interpersonal) memainkan peran sentral dalam membentuk persepsi dan minat masyarakat. Temuan ini menjadi pembelajaran berharga bagi program kesehatan masyarakat di masa depan, bahwa investasi dalam strategi komunikasi yang komprehensif sama pentingnya dengan pengembangan inovasi teknisnya sendiri.

Baca juga: Islamisasi Ilmu Komunikasi di Layar Kaca: Analisis Implementasi Paradigma Tauhid dalam Program Berita dan Talkshow Televisi Indonesia.

Secara keseluruhan, keempat penelitian ini merefleksikan dinamika komunikasi dan adopsi inovasi di Indonesia selama pandemi. Dari GoFood, BPHN, komunitas di Manado, hingga program vaksinasi di Banjarbaru, terlihat benang merah: keberhasilan menghadapi krisis bergantung pada kemampuan berinovasi dan mengkomunikasikan inovasi tersebut secara efektif. Kunci suksesnya terletak pada: (1) inovasi yang relevan dan menyelesaikan masalah spesifik di lapangan; (2) pemanfaatan saluran komunikasi multi-cara yang sesuai dengan konteks dan sasaran; (3) pelibatan dan pemberdayaan aktor dalam sistem sosial, baik mitra bisnis, tokoh masyarakat, maupun komunitas warga serta (4) adaptasi yang lincah terhadap faktor waktu yang mendesak. Rekomendasi untuk ke depan adalah perlunya penguatan kapasitas digital institusi pemerintah, pendampingan berkelanjutan bagi adopsi inovasi di tingkat masyarakat, serta pengembangan mekanisme evaluasi umpan balik yang lebih responsif. Dengan demikian, pembelajaran dari masa pandemi ini dapat menjadi fondasi untuk membangun sistem komunikasi dan inovasi yang lebih tangguh dalam menghadapi tantangan global di masa depan.

Penulis: Dewi Arifah Yanjali Sya’bana, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *