Dakwah Kultural Sunan Kalijaga sebagai Model Moderasi Beragama: Studi Kasus Transformasi Tradisi Labuhan Laut di Desa Pakisrejo, Pesisir Jawa Tengah

Sunan Kalijaga

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di wilayah pesisir Jawa Tengah terdapat sebuah dusun bernama Pakisrejo, sebuah komunitas nelayan yang sejak lama memelihara tradisi tahunan yang dikenal dengan sebutan Labuhan Laut. Tradisi ini merupakan wujud ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas keselamatan, keberkahan hidup, serta kelimpahan hasil laut yang menjadi sumber utama penghidupan mereka. Selain itu, Labuhan Laut juga dipahami sebagai bentuk penghormatan terhadap alam, laut, serta leluhur yang diyakini telah berjasa menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat pesisir.

Dalam pelaksanaannya, warga membawa berbagai sesajen berupa buah-buahan, kembang, dan makanan khas daerah, disertai pembacaan doa-doa berbahasa Jawa kuno, pelaksanaan syukuran bersama, serta penabuhan kentongan sebagai simbol dimulainya prosesi pelepasan persembahan ke laut. Bagi masyarakat Pakisrejo, ritual ini tidak hanya bermakna spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai identitas sosial dan budaya, yang merekatkan hubungan antarwarga serta memperkuat solidaritas komunitas nelayan yang sehari-hari hidup dalam ketergantungan tinggi terhadap alam dan menghadapi risiko kerja yang besar.

Baca juga: Kasus Anita Tumbler tTuku di KRL dalam Teori Lingkungan Semi

Namun, dalam dua dekade terakhir, keberlangsungan tradisi Labuhan Laut mulai menghadapi tantangan serius. Masuknya pengaruh modernisasi, meningkatnya pendidikan formal, serta kehadiran pendatang dari berbagai daerah membawa perubahan cara pandang terhadap tradisi tersebut. Generasi muda dan sebagian kelompok masyarakat mulai mempertanyakan legitimasi keagamaan ritual Labuhan Laut, terutama praktik pemberian sesajen ke laut yang dianggap berpotensi mengandung unsur syirik dan bertentangan dengan kemurnian ajaran Islam. Pandangan ini kemudian memicu ketegangan sosial antara kelompok yang ingin mempertahankan tradisi dengan kelompok yang menuntut penghapusannya atas dasar agama.

Para tetua adat dan masyarakat tradisional merasa bahwa identitas budaya mereka diabaikan dan disalahpahami, sementara kelompok muda merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kemurnian akidah. Pemerintah desa pun berada dalam posisi dilematis, karena di satu sisi harus menjaga kerukunan umat beragama, dan di sisi lain memiliki kewajiban untuk melestarikan warisan budaya lokal. Situasi ini menunjukkan bahwa perjumpaan antara agama dan budaya, jika tidak dikelola dengan bijaksana, dapat melahirkan konflik sosial yang berlarut-larut.

Pada titik inilah muncul peran seorang ustadz lokal yang juga dikenal sebagai budayawan, yang menawarkan solusi melalui pendekatan dakwah kultural ala Sunan Kalijaga. Pendekatan ini menolak cara dakwah yang bersifat konfrontatif, menghakimi, atau memaksakan perubahan secara drastis. Sebaliknya, dakwah kultural menekankan dialog, pemahaman konteks sosial, serta pengolahan budaya lokal sebagai media penyampaian nilai-nilai Islam. Metode ini merujuk pada strategi dakwah Sunan Kalijaga yang dalam sejarahnya berhasil mengislamkan masyarakat Jawa melalui proses akulturasi, dengan memanfaatkan bahasa, seni, simbol, dan tradisi lokal sebagai sarana dakwah yang damai dan inklusif.

Ustadz tersebut kemudian merumuskan beberapa langkah transformasi penting. Pertama, doa-doa berbahasa Jawa kuno yang sebelumnya mengandung unsur pemujaan terhadap roh atau kekuatan alam direkonstruksi menjadi doa syukur kepada Allah SWT, namun tetap menggunakan bahasa Jawa agar nuansa kultural dan kedekatan emosional masyarakat tetap terjaga. Perubahan ini tidak hanya menyesuaikan aspek teologis, tetapi juga mempertahankan nilai estetika dan kedalaman rasa dalam tradisi spiritual masyarakat Jawa.

Kedua, makna sesajen direinterpretasi secara teologis dan sosial. Sesajen tidak lagi dipahami sebagai persembahan kepada roh atau laut, melainkan dialihkan menjadi bentuk sedekah sosial. Makanan dan hasil laut yang sebelumnya dihanyutkan ke laut kini disalurkan kepada fakir miskin, pondok pesantren, serta untuk kebutuhan masjid. Dengan demikian, ritual ini memperoleh dimensi sosial yang kuat dan sejalan dengan ajaran Islam tentang kepedulian, keadilan sosial, dan solidaritas umat.

Ketiga, aspek kebersamaan dan gotong royong tetap dipertahankan sebagai inti tradisi. Doa bersama, pengajian, dan syukuran tetap menjadi bagian utama acara, sementara unsur-unsur magis dan mistik yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam secara perlahan dihilangkan. Keempat, unsur seni dan budaya lokal seperti musik tradisional, kentongan, tembang Jawa, dan pertunjukan rakyat tetap dilestarikan, namun pesan dan liriknya diarahkan pada nilai-nilai tauhid, akhlak, dan spiritualitas Islam.

Langkah-langkah tersebut mencerminkan secara nyata metode dakwah Sunan Kalijaga yang tidak menghapus budaya lokal, melainkan memberi makna baru yang lebih konstruktif dan religius. Pendekatan ini terbukti efektif, sebagaimana dicatat dalam berbagai literatur sejarah, karena memungkinkan Islam diterima secara luas di Jawa tanpa menimbulkan konflik besar dengan budaya yang telah mengakar kuat.

Baca juga: Kasus dari Teori Joseph A. Devito, Menteri Mendesak Penghormatan Terhadap Pesantren Setelah Reaksi Satir TV

Setelah melalui proses dialog dan musyawarah yang panjang, masyarakat Pakisrejo akhirnya mencapai kesepakatan bersama. Tradisi Labuhan Laut kemudian ditransformasi menjadi “Ritual Syukur dan Sedekah Laut”. Doa syukur kepada Allah SWT menjadi pusat acara, sesajen diganti dengan sedekah sosial, sementara unsur seni dan budaya tetap dipertahankan sebagai ekspresi identitas lokal. Transformasi ini membawa dampak positif yang signifikan: generasi tua merasa dihormati karena budayanya tidak dihapuskan, sedangkan generasi muda merasa lebih tenang karena ritual tersebut kini selaras dengan ajaran Islam.

Kasus Pakisrejo menunjukkan bahwa dakwah kultural ala Sunan Kalijaga tetap relevan dalam konteks masyarakat kontemporer. Pendekatan ini bukan hanya efektif dalam menyebarkan nilai-nilai Islam, tetapi juga berfungsi sebagai sarana moderasi beragama, resolusi konflik, dan pelestarian budaya. Agama dan budaya tidak harus saling meniadakan, melainkan dapat bersanding secara harmonis melalui dialog, akulturasi, dan kearifan lokal. Dengan demikian, dakwah kultural menjadi jalan tengah yang mampu merawat harmoni sosial, memperkuat identitas lokal, serta meneguhkan karakter Islam Jawa yang damai, toleran, dan berakar kuat pada tradisi.

Penulis: Salimatul Khairiah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *