Banjir Sumatera dan Ilmu Bebas Nilai: Kritik atas Kerusakan Lingkungan dan Tata Kelola Negara

banjir Sumatera

Milenianews.com, Mata Akademisi — Indonesia merupakan negara yang kaya akan fenomena alam yang asri, serta memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Dengan kekayaan tersebut, seharusnya kebutuhan vital maupun sekunder seluruh penduduk dapat terpenuhi secara mandiri. Namun, realitas menunjukkan bahwa Indonesia hingga kini masih sangat bergantung pada barang impor.

Kondisi ini menyadarkan kita bahwa Indonesia pantas disebut kaya dalam hal potensi, tetapi kemakmuran nyata masih terus diupayakan. Situasi nasional yang semakin sulit mendorong banyak kalangan untuk mencari akar persoalan bangsa. Salah satu persoalan krusial yang sedang dihadapi adalah kerusakan lingkungan, khususnya pembalakan liar dan penebangan hutan di kawasan hulu sungai yang memicu banjir bandang, seperti yang terjadi di wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.

Penyebab Banjir di Sumatera: Faktor Alam dan Ulah Manusia

Banjir yang melanda wilayah Sumatera terjadi akibat gabungan antara faktor alam dan faktor manusia. Dalam beberapa waktu terakhir, curah hujan yang sangat tinggi mengguyur kawasan ini. Dengan iklim tropis yang dimiliki Sumatera, hujan lebat dalam durasi panjang membuat volume air sungai meningkat drastis. Ketika hujan turun terus-menerus selama beberapa hari, kapasitas sungai tidak mampu menampung air sehingga meluap dan menyebabkan banjir.

Namun, faktor alam bukanlah satu-satunya penyebab. Penebangan hutan secara liar menjadi faktor manusia yang memperparah kondisi. Banyak wilayah di Sumatera mengalami pengundulan hutan akibat pembukaan lahan. Ketika hutan berkurang, kemampuan tanah untuk menyerap air juga menurun. Akibatnya, air hujan langsung mengalir ke sungai dan mempercepat terjadinya banjir bandang.

Penebangan Hutan dan Lemahnya Pengawasan Negara

Dampak dari penebangan hutan terlihat jelas ketika banjir membawa kayu-kayu gelondongan besar yang hanyut hingga ke permukiman warga. Hal ini menjadi bukti nyata adanya aktivitas pembalakan liar yang tidak terkendali. Kondisi hutan di Sumatera kini semakin kritis. Aceh, misalnya, kehilangan ribuan hektare tutupan hutan setiap tahunnya, sehingga ancaman bencana alam semakin besar.

Situasi ini tidak bisa dilepaskan dari aktivitas industri dan ekspor kayu. Kayu yang ditebang di Indonesia sering kali diolah lalu diekspor ke luar negeri. Peristiwa banjir di tiga provinsi di Sumatera bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan cerminan dari lemahnya pengawasan negara terhadap tata kelola lingkungan. Bencana ini bukanlah “alam tanpa sebab”, melainkan hasil dari kegagalan kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Dampak Banjir terhadap Kehidupan Masyarakat

Banjir yang terjadi di Sumatera membawa dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Rumah warga, sekolah, jembatan, dan jalan rusak akibat terjangan air. Banyak warga terpaksa mengungsi karena tempat tinggal mereka hancur. Aktivitas ekonomi pun terganggu, transportasi terputus, dan biaya perbaikan infrastruktur meningkat tajam.

Selain itu, kerusakan lingkungan seperti tanah longsor kerap terjadi di wilayah perbukitan. Habitat satwa liar ikut hilang, sementara keseimbangan ekosistem terganggu. Dalam kondisi ini, warga yang terdampak sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan, baik dari masyarakat luas maupun dari pemerintah.

Ilmu Bebas Nilai dan Ilmu Tidak Bebas Nilai dalam Memahami Bencana

Jika banjir di Sumatera dipahami menggunakan cara berpikir ilmu bebas nilai, penjelasannya akan berhenti pada faktor hujan ekstrem, berkurangnya hutan, meluapnya sungai, dan pemukiman yang tidak tertata. Analisis ini bersifat teknis dan deskriptif semata.

Namun, ketika digunakan pendekatan ilmu tidak bebas nilai, pertanyaan yang muncul menjadi lebih mendalam. Mengapa hutan ditebang? Mengapa izin diberikan? Mengapa pemukiman tetap dibangun di wilayah rawan bencana? Bencana tidak lagi dipahami sebagai “alam yang marah”, melainkan sebagai hasil dari keputusan manusia yang dibuat dengan ilmu, tetapi tanpa nilai kehati-hatian, keadilan, dan tanggung jawab.

Dalam perspektif ilmu yang terpisah dari nilai, kebijakan sering kali mengabaikan keberlanjutan lingkungan, hak masyarakat lokal, dan keadilan ekologis. Akibatnya, risiko bencana justru semakin besar. Sebaliknya, jika ilmu dipahami sebagai sesuatu yang tidak lepas dari nilai, maka kajian ilmiah tentang tata ruang dan dampak lingkungan harus mempertimbangkan nilai kemanusiaan, keadilan sosial, serta tanggung jawab terhadap alam dan generasi mendatang.

Pelajaran dari Bencana Sumatera

Bencana banjir di Sumatera memberikan pelajaran penting bahwa ilmu pengetahuan tanpa nilai dapat membawa konsekuensi besar. Ketika kebijakan hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi dan efisiensi, tanpa mempertimbangkan nilai moral dan keberlanjutan, maka kerusakan lingkungan dan penderitaan manusia menjadi harga yang harus dibayar. Oleh karena itu, integrasi antara ilmu, nilai, dan tanggung jawab menjadi kunci dalam mencegah bencana serupa di masa depan.

Penulis: Salwana Bila Putri, Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta (IIQ)

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *