Krisis Mental Pemuda di Era Digital: Sekulerisme dan Hilangnya Arah Generasi Muda

krisis mental pemuda era digital

Milenianews.com, Mata Akademisi — Realitas pemuda di tengah era digital hari ini menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam persoalan kesehatan mental, seperti overthinking, depresi, hingga kasus bunuh diri. Fenomena ini tidak semata-mata dipicu oleh faktor internal individu, melainkan diperparah oleh tekanan eksternal serta rapuhnya sistem kehidupan yang diterapkan saat ini.

Pemuda memiliki akses informasi yang luas, hiburan tanpa batas, kesempatan pendidikan yang terbuka, bahkan ruang ekspresi yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Namun ironisnya, di tengah segala kemudahan tersebut, banyak pemuda justru kehilangan arah dan makna hidup.

Krisis Kesehatan Mental dan Perilaku Menyimpang Pemuda

Berdasarkan Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2024, tercatat sekitar 15,5 juta remaja Indonesia mengalami setidaknya satu masalah kesehatan mental. Angka ini setara dengan hampir 35 persen remaja di Indonesia. Data tersebut menegaskan bahwa krisis kesehatan mental di kalangan generasi muda bukan lagi persoalan kecil, melainkan masalah serius berskala nasional.

Kondisi ini juga tercermin dalam meningkatnya keterlibatan remaja dalam kasus kriminal. Laporan EMP Polri pada awal 2025 mencatat ratusan anak dan remaja terlibat sebagai terlapor, mulai dari penganiayaan dan pengeroyokan, kasus narkoba, hingga perkelahian pelajar dan mahasiswa. Fenomena ini seolah menjadi peristiwa yang terus berulang dan dianggap lumrah.

Selain itu, kasus bunuh diri di kalangan pelajar dan mahasiswa turut menjadi perhatian serius. Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri menunjukkan bahwa sepanjang 2022–2024 terdapat 2.311 kasus bunuh diri di Indonesia, dengan sejumlah kasus melibatkan pelajar dan mahasiswa. Fakta ini menunjukkan bahwa generasi muda sedang berada dalam kondisi kehilangan arah dan rentan secara mental maupun sosial.

Sekulerisme sebagai Akar Kerusakan Sistemik

Berbagai data tersebut mengindikasikan bahwa krisis yang dialami pemuda tidak hanya bersifat psikologis individual. Ia merupakan refleksi dari krisis makna hidup, tekanan sosial, lemahnya dukungan sosial, serta sistem kehidupan yang menjauh dari nilai-nilai agama.

Sekulerisme—paham yang memisahkan agama dari kehidupan—telah melahirkan cara hidup yang menjadikan materi sebagai tujuan utama. Generasi Z dan Generasi Alpha tumbuh dalam arus pemikiran ini, sehingga kepribadian mereka menjadi rapuh, kehilangan orientasi hidup, dan tidak siap menghadapi realitas.

Pendidikan yang seharusnya membentuk karakter dan ketakwaan justru berubah menjadi sistem yang menyingkirkan agama dari seluruh aspek kehidupan. Akibatnya, generasi muda tumbuh tanpa fondasi moral dan spiritual yang kuat. Dalam konteks ini, sekulerisme tidak hanya menjadi ide, tetapi sumber kerusakan sistemik yang menurunkan kualitas kepribadian manusia.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Sekulerisme dan Proses Penjajahannya di Dunia Islam

Perlu dipahami bahwa sekulerisme bukanlah konsep yang lahir dari peradaban Islam. Ia muncul dari pengalaman historis Eropa, khususnya konflik antara gereja dan negara, penindasan intelektual, serta kegagalan institusi gereja dalam menjawab kebutuhan sosial.

Namun, setelah runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924, sekulerisme mulai ditanamkan secara sistematis ke negeri-negeri Muslim. Proses ini dilakukan melalui kolonialisme, reformasi pendidikan, penggantian hukum syariah dengan hukum sipil Barat, serta pembentukan elite terdidik yang mengadopsi pola pikir Barat.

Sejak saat itu, masyarakat Muslim mewarisi struktur sosial, politik, dan pendidikan yang semakin menjauh dari landasan Islam. Sekulerisme pun bertransformasi dari ide asing menjadi alat yang merapuhkan identitas peradaban Islam dari dalam.

Pudarnya Identitas Islam di Tengah Arus Digital

Hingga kini, identitas Islam semakin memudar dan tergantikan oleh pemikiran liberal sebagai produk sekulerisme. Padahal, identitas Islam bukan sekadar label administratif atau warisan budaya, melainkan komitmen hidup yang bersumber dari wahyu Allah SWT.

Di era digital dengan arus informasi global yang deras, penguatan identitas keislaman menjadi kebutuhan mendesak. Islam harus kembali dijadikan sebagai pedoman hidup yang mengatur pergaulan, konsumsi konten, penggunaan waktu, hingga tujuan hidup manusia.

Mengislamisasi cara hidup generasi muda menjadi langkah penting untuk mengembalikan arah dan makna hidup mereka. Islam tidak cukup diposisikan sebagai ritual semata, tetapi harus hadir sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh.

Islam sebagai Solusi Menyeluruh Krisis Generasi

Kerusakan pemuda hari ini bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari sistem sekuler. Jika Islam hanya dibatasi pada ranah ibadah, generasi akan terus kehilangan panduan hidup yang utuh. Sebaliknya, ketika Islam dijadikan sebagai gaya hidup, identitas generasi Muslim akan kembali terbentuk secara kokoh.

Selama sistem sekuler masih diterapkan, kondisi generasi akan semakin terancam dan berpotensi menghancurkan masa depan bangsa. Oleh karena itu, sekulerisme perlu dicabut hingga ke akarnya dan digantikan dengan sistem Islam yang mampu melahirkan generasi beriman, bertakwa, dan berkarakter.

Islam mengajarkan perbaikan yang menyeluruh, tidak hanya pada individu, tetapi juga pada sistem dan lingkungan. Individu yang baik membutuhkan sistem yang baik agar dapat bertahan. Ketika perbaikan individu dan sistem berjalan beriringan, maka akan lahir generasi yang kuat secara mental, tangguh menghadapi ujian hidup, serta produktif melahirkan karya terbaik bagi umat.

Penulis: Nathania Azizah Nurrahmah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *