Ilmu Bebas Nilai, Tafsir Al-Qur’an, dan Krisis Kepemimpinan di Indonesia

Ilmu Bebas Nilai

Milenianews.com, Mata Akademisi — Ilmu bebas nilai merupakan pendekatan penelitian yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan nilai agama, ideologi, moral, budaya, maupun nilai sosial lainnya. Dalam pendekatan ini, ilmu tidak diarahkan untuk memikirkan dampak sosial dan lingkungan dari perkembangannya. Oleh karena itu, ilmu bebas nilai sering dianggap tidak logis dan bahkan egois, karena dinilai hanya berfokus pada kepentingan ilmu itu sendiri.

Namun demikian, pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Agar penelitian ilmu pengetahuan dapat menghasilkan temuan yang maksimal dan objektif, fokus terhadap bidang ilmu itu sendiri justru dianggap penting. Max Weber, seorang sosiolog asal Belanda, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai, tetapi dalam praktiknya ilmu tetap berkaitan dengan nilai-nilai lain yang menyertainya.

Tafsir Al-Qur’an dan Prinsip Objektivitas

Dalam penafsiran Al-Qur’an, prinsip bebas nilai juga memiliki tempat tersendiri. Tafsir dituntut menghasilkan pemahaman yang universal dan dapat diterima oleh berbagai kalangan. Oleh sebab itu, seorang ulama tidak dibenarkan menafsirkan ayat berdasarkan perasaan pribadi atau latar belakang subjektifnya, terutama dalam ayat-ayat hukum.

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup seluruh manusia. Jika penafsiran terlalu menonjolkan latar belakang penafsir, maka hasilnya akan sulit diterima secara luas. Universalitas pesan Al-Qur’an justru akan tereduksi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Perbedaan Tafsir dan Konteks Zaman

Perbedaan tafsir sering terjadi pada ayat-ayat yang bersifat perumpamaan. Contohnya adalah kata zarrah. Sebagian ulama terdahulu menafsirkan zarrah sebagai biji sawi, sementara ulama lain memahaminya sebagai atom. Perbedaan ini muncul karena keterbatasan pengetahuan sains pada masa itu.

Ulama masa kini cenderung memahami zarrah sebagai sesuatu yang sangat kecil, tanpa harus membatasinya pada biji sawi atau atom. Perbedaan tafsir ini tidak seharusnya menimbulkan keraguan terhadap Al-Qur’an. Tafsir dapat keliru, tetapi sumber tafsir, yaitu Al-Qur’an, tidak pernah salah.

Kepemimpinan dalam Perspektif Al-Qur’an

Al-Qur’an secara tegas mengajarkan bahwa seorang pemimpin wajib menjalankan amanah dengan jujur dan tidak mengikuti hawa nafsu. Kepemimpinan yang menyimpang dari nilai keadilan akan menggiring pelakunya pada kesesatan. Hukum ini bersifat universal dan tidak bergantung pada keunggulan ekonomi, politik, atau status sosial seorang pemimpin.

Ketika seseorang telah menjadi pemimpin, kewajiban menjalankan hukum Allah berlaku secara otomatis. Hal ini bukan pilihan pribadi, melainkan konsekuensi dari amanah kepemimpinan itu sendiri.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Agama dalam Praktik Politik

Dalam realitas politik, agama sering dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Islam kerap digunakan sebagai simbol untuk menggalang dukungan suara, terutama di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia. Banyak calon pemimpin mengatasnamakan agama demi jabatan, tetapi mengabaikan janji moral yang mereka ucapkan.

Sebelum pemilihan umum, visi dan misi disampaikan dengan penuh keyakinan. Janji perubahan dan kesejahteraan digaungkan secara terbuka. Namun setelah kekuasaan diraih, yang tersisa sering kali hanyalah kekecewaan publik dan persoalan yang diwariskan kepada pemimpin berikutnya.

Janji, Tanggung Jawab, dan Realitas Kekuasaan

Al-Qur’an memerintahkan seluruh manusia untuk menepati janji dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun dalam praktik politik, banyak janji pemimpin yang tidak pernah terwujud hingga akhir masa jabatan. Bahkan, berbagai persoalan baru justru ditinggalkan sebagai beban bagi generasi berikutnya.

Kondisi ini jelas tidak mencerminkan nilai kepemimpinan dalam Islam. Nilai religius yang dibanggakan di awal kekuasaan sering kali memudar setelah seseorang merasakan kenikmatan jabatan.

Hukum, Keadilan, dan Ketimpangan

Ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat hukum diturunkan sebagai aturan bagi manusia. Selama tidak ada ayat penghapus, hukum tersebut berlaku sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Prinsip ini sejatinya sejalan dengan sistem hukum modern seperti Undang-Undang Dasar.

Namun dalam praktik politik, hukum sering kali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketimpangan penegakan hukum terlihat jelas ketika masyarakat kecil dihukum berat, sementara pelaku kejahatan besar dengan kekuasaan hanya mendapat hukuman ringan. Fenomena ini bertentangan dengan prinsip keadilan yang diajarkan Al-Qur’an.

Peran Generasi Muda dan Harapan Masa Depan

Keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab harus ditanamkan kembali dalam kehidupan berbangsa. Mengikuti perintah Allah SWT merupakan ikhtiar terbaik untuk menjaga kemerdekaan dan martabat negeri ini. Pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut justru melemahkan fondasi bangsa.

Sebagai generasi muda yang tumbuh di tengah realitas politik saat ini, pelajaran penting dapat dipetik bahwa masa depan Indonesia berada di tangan pemuda-pemudanya. Mempersiapkan diri dengan nilai moral, keadilan, dan tanggung jawab menjadi satu-satunya jalan untuk membawa Indonesia menuju kemajuan tanpa kehilangan arah dan jati diri.

Penulis: Elya Nadya Elhaq, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *