Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan filsafat ilmu sejak masa Yunani Kuno hingga era mdern telah membentuk cara manusia memhami kebenaran, dan dampaknya dapat kita lihat dengan sangat jelas dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika kita berhadapan dengan media sosial. Di era digital ini, setiap individu memiliki akses cepat terhadap informasi, tetapi juga sangat terpengaruh oleh kabar palsu(hoax), opini sepihak dan manipulasi algoritma. Karena itu, kemampuan berpikir kritis yang merupakan hasil dari perkembangan panjang filsafat ilmu menjadi salah satu kebutuhan utama bagi generasi sekarang.
Akar dari berpikir kritis sebenarnya dapat diketahui sejak zaman Socrates. Ia mengajak manusia untuk tidak menerima begitu saja setiap informasi, tetapi bertanya terlebih dahulu, memeriksa, dan menelusuri alasan di balik suatu pertanyaan tersebut. Prinsip” bertanya sebelum percaya” ini sangat relevan ketika kita membaca postingan di media sosial. Banyak orang yang membagikan informasi hanya karena emosional atau hanya ingin ketenaran sesaat tanpa mengecek sumbernya terlebih dahulu. Sikap Socrates mengingatkan kita bahwa pengetahuan sejati muncul dari pertanyaan-pertanyaan yang kritis, bukan dari menerima semua hal secara pasif atau menerima begitu saja.
Baca juga: Memahami Keberadaan Dan Realitas Dalam Ilmu Pengetahuan Dan Kehidupan Sehari-hari
Plato dan Aristoteles kemudian mengembangkan pola pikir rasional dengan menekankan logika dan analisis. Aristoteles bahwa klaim harus memiliki dasar yang jelas, sebab, akibat yang masuk akal, dapat diuji kebenarannya. Ketika kita menemukan berita atau opini di media sosial, prinsip ini membantu kita menilai apakah infomasi tersebut masuk akal, apakah datanya valid, dan apakah bukti pendukung. Dengan begitu, kita tidak mudah tertipu oleh judul sensasional atau opini tanpa dasar.
Selanjutnya, perkembangan filsafat ilmu pada masa revolusi ilmiah melalui tokoh seperti Francis Bacon, Galileo, dan Descartes memperkenalkan metode ilmiah yang berbasis observasi, pembuktian, dan pemikiran sistematis. Pendekatan ini mengajarkan kita untuk memeriksa fakta sebelum mengambil kesimpulan. Ketika menghadapi klaim di media sosial, langkah sederhana seperti mengecek sumber berita, menelusuri apakah informasi telah diliput media kredibel, atau melihat data pendukung, merupakan bentuk penerapan metode ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Kita belajar bahwa kebenaran tidak cukup didasarkan pada pendapat pribadi, akan tetapi perlu bukti yang nyata.
Masuk ke abad ke-20, pemikiran Karl Popper tentang falsifikasi memberikan pelajaran bahwa kebenaran ilmiah bersifat tentatif dan selalu dapat diuji lagi. Dalam konteks media sosial, sikap ini mengajarkan kita untuk tidak merasa paling benar atau menolak informasi baru hanya karena bertentangan dengan pandangan atau pendapat kita pribadi. Berpikir kritis berarti bersedia mengoreksi pemahaman kita jika menemukan data yang lebih kuat. Dengan sikap ini, kita tidak terjebak dalam situasi di mana kita hanya menerima informasi yang sesuai dengan pendapat sendiri.
Thomas Kuhn kemudian menjelaskan bahwa penegetahuan berkembang melalui pergantian paradigma, yaitu perubahan cara pandang ketika penejelasan sebelumnya tidak lagi sesuai dengan realitas. Media sosial adalah salah satu ilustrasi nyata bagaimana paradigma masyarakat berubah. Dahulu, orang cenderung mempercayai media resmi sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Namun kini, setiap orang bisa menjadi pembuat informasi. Perubahan paradigma ini menuntut kita untuk kritis dalam berpikir. Kita harus mampu membedakan mana oini pribadi, mana fakta, dan mana manipulasi.
Filsafat ilmu modern juga menunjukkan bahwa ilmu tidak sepenuhnya netral, ia dipengaruhi oleh nilai, budaya, dan kepentingan. Hal ini mengingatkan kita bahwa media sosial juga memiliki kepentingan tertentu, misalnya algoritma yang sengaja menampilkan konten sensasional atau daya tarik agar orang terus scrolling. Tanpa bepikir kritis, kita mudah terbawa arus emosi, menjadi reaktif, atau ikut menyebarkan informasi yang belum tentu benar. Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kita. Dengan adanya aplikasi-aplikasi seperti Facebook, Whatsap, Instagram, Tiktok, dan lainnya, kita dapat dengan mudah mengakses informasi dari berbagai sumber. Namun, di balik kemudahan ini, terdapat juga risiko penyebaran informasi yang tidak akurat, menyesatkan, atau bahkan berbahaya.
Dalam menghadapi informasi di media sosial, kita juga harus mempertimbangkan dampak dari informasi tersebut. Kita harus mempertimbangkan apakah informasi tersebut dapat mempengaruhi opini publik, apakah dapat menyebabkan kerugian bagi individu atau kelompok, dan apakah dapat mempengaruhi kestabilan sosial. Dengan demikian, berpikir kritis menjadi sangat penting dalam menghadapi informasi di media sosial, kita dapat membuat keputusan yang tepat, menghindari penyebaran informasi yang salah, dan memyebarkan informasi yang akurat dan bermanfaat.
Dalam kehidupan sehari-hari, berpikir kritis di media sosial bukan berarti kita harus curiga terhadap semua hal, tetapi mampu menahan diri, memeriksa informasi, dan mempertimbangkan dampaknya sebelum bertindak. Salah satu contoh bagaimana berpikir kritis dapat membantu kita dalam menghadapi informasi di media sosial adalah dengan mempertimbangkan sumber informasi. Kita harus mempertimbangkan kredibilitas sumber, apakah sumber tersebut dapat dipercaya, dan apakah informasi yang disajikan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan tujuan dari informasi tersebut, apakah untuk memberikan informasi, mempengaruhi opini, atau bahkan memanipulasi. Misalnya, ketika kita melihat berita tentang bencana, kita tidak langsung membagikan sebelum memastikan kebenarannya. Ketika kita membaca komentar negatif, kita tidak langsung terpancing emosi, kita telusuri terlebih dahulu apa yang membuatnya berkomentar negatif seperti itu. Ketika kita melihat pendapat yang berbeda sama kita, kita usahakan atau kita pastikan untuk memahami argumennya terlebih dahulu sebelum menyimpulkan.
Baca juga: Hoaks Non-Halal Ilegal 2026: Analisis Tiga Teori Kebenaran dalam Filsafat Islam
Selain itu, berpikir kritis juga membantu kita dalam mengidentifikasi asumsi-asumsi yang mungkin terkandung dalam informasi tersebut. Kita harus mempertimbangkan apakah informasi tersebut mengandung asumsi tertentu, apakah asumsi yang digunakan dapat diterima, dan apakah ada informasi yang tidak lengkap atau tidak akurat, atau bahkan dapat membahayakan orang lain.
Pada akhirnya, berpikir kritis adalah bentuk kedewasaan dalam berilmu sebuah kemampuan yang tumbuh dari perjalanan panjang filsafat ilmu dari masa Yunani kuno hingga masa modern. Di era digital ini, berpikir kritis menjadi benteng utama bagi diri kita agar kita tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita hoax diluar sana serta propaganda atau opini yang menyesatkan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip filsafat ilmu dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menjadi pengguna media sosial yang bijak, lebih waspada atau berhati-hati, lebih rasional, dan lebih bertanggung jawab.
Penulis: Tasya Nur Safitri, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













