Paradoks Koneksi: Bagaimana Media Sosial Justru Dapat Memperburuk Kesehatan Mental Generasi Muda.

Media Sosial Mental

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era digital ini, media sosial hadir bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, platform ini menawarkan konektivitas tanpa batas, akses informasi cepat, dan ruang ekspresi diri. Namun di balik feed yang tampak penuh kebahagiaan, terdapat dampak gelap yang menggerogoti kesehatan mental, terutama pada generasi muda. Ironisnya, media sosial yang dirancang untuk menyatukan justru berkontribusi pada meningkatnya rasa cemas, depresi, dan kesepian. Fenomena ini menunjukkan paradoks besar: semakin terhubung secara virtual, semakin rentan generasi muda terhadap isolasi sosial nyata.

Media Sosial dan Perbandingan Sosial Berlebihan

Media sosial kini menjadi panggung pertunjukan kehidupan terbaik. Banyak pengguna menampilkan puncak kebahagiaan: prestasi, liburan, hubungan harmonis, hingga pencapaian akademik. Ketika generasi muda terus-menerus terpapar pada “highlight reel” kehidupan orang lain, mereka mudah terjebak dalam perbandingan sosial yang beracun.

Kondisi ini mendorong mereka membandingkan kehidupan pribadi yang penuh tantangan dengan kehidupan digital orang lain yang tampak sempurna. Siklus ini memicu tekanan psikologis yang semakin berat.

FOMO dan Munculnya Kecemasan Digital

Fenomena ini kemudian berkembang menjadi Fear of Missing Out (FOMO) atau rasa takut tertinggal. Perasaan bahwa orang lain lebih bahagia, lebih sukses, atau lebih populer memicu kecemasan mendalam. Algoritma platform turut menguatkan kondisi ini.

Konten serupa disajikan terus-menerus sehingga membentuk echo chamber kecemasan, mulai dari standar kecantikan hingga ukuran kesuksesan yang tidak realistis. Hal ini melemahkan harga diri dan memperburuk tekanan mental generasi muda.

Ekonomi Like dan Krisis Identitas Diri

Kesehatan mental generasi digital sangat terikat pada apa yang disebut “ekonomi like”. Validasi eksternal melalui komentar, share, dan jumlah view menjadi dasar penerimaan diri. Ketika apresiasi digital ini tidak sesuai ekspektasi, muncul rasa gagal, kecewa, dan keraguan terhadap nilai diri sendiri.

Foto yang hanya mendapatkan sedikit like bisa dianggap tidak berharga, meski momen tersebut bernilai personal. Nilai diri pun berubah menjadi komoditas yang diuji setiap saat melalui angka digital.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Paparan Konten Negatif dan Depresi Digital

Selain itu, paparan konten negatif seperti perundungan siber dan ujaran kebencian semakin membebani psikis. Interaksi online yang bersifat dangkal juga tidak mampu menggantikan hubungan sosial tatap muka yang lebih hangat.

Kesenjangan antara hubungan maya yang tampak luas dengan kesepian nyata merupakan pemicu depresi yang signifikan. Penelitian menunjukkan korelasi kuat antara penggunaan media sosial yang berlebihan dengan meningkatnya depresi dan penurunan kesejahteraan psikologis.

Paradoks Koneksi: Semakin Terhubung, Semakin Terisolasi

Inilah paradoks terbesar media sosial: platform yang menjual koneksi justru mampu menciptakan isolasi mendalam. Waktu yang dihabiskan menatap layar adalah waktu yang diambil dari interaksi manusia secara langsung.

Generasi muda mungkin memiliki ribuan koneksi digital, namun merasa tidak memiliki seorang pun untuk diajak bicara saat menghadapi masalah. Komunikasi berbasis teks menghilangkan bahasa tubuh, nada suara, dan empati emosional.

Akibatnya, meski secara teknis selalu terhubung, perasaan kesepian tetap menghantui.

Solusi Sehat dalam Penggunaan Media Sosial

Menyadari dampaknya tidak berarti generasi muda harus meninggalkan media sosial sepenuhnya. Yang dibutuhkan adalah pola penggunaan yang sehat dan sadar:

  1. Digital Detox
    Menetapkan waktu bebas gawai, terutama sebelum tidur atau saat bersama keluarga.

  2. Kurangi Doomscrolling
    Batasi konsumsi konten untuk menghindari tekanan informasi berlebihan.

  3. Bersikap Kritis
    Media sosial adalah potongan realitas. Pilih akun yang memberi pengaruh positif.

  4. Prioritaskan Koneksi Nyata
    Bangun relasi langsung dengan orang terdekat; kualitas lebih utama daripada kuantitas.

  5. Gunakan Secara Produktif
    Jadikan platform digital alat pengetahuan, bukan sekadar hiburan kosong.

Media sosial ibarat api: sangat bermanfaat jika dikelola, tetapi mampu membakar jika dibiarkan lepas kendali. Hubungan antara penggunaannya yang berlebihan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, dan isolasi sosial adalah peringatan nyata.

Kesehatan mental tidak bergantung pada angka digital, tetapi pada kemampuan membangun hubungan autentik dengan diri sendiri dan orang lain. Generasi muda perlu ditopang oleh ketahanan mental, literasi digital kritis, serta keseimbangan penggunaan platform digital demi kesehatan psikologis jangka panjang.

Penulis: Nabilah Rozzaquqowiyu Wansri, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *