Overthinking di Media Sosial: Tekanan Digital, Perbandingan Sosial, dan Dampaknya bagi Kesehatan Mental Generasi Modern

Overthinking di media sosial

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di zaman digital yang sangat cepat ini, media sosial telah menjadi ruang utama bagi manusia untuk berkomunikasi, berekspresi, dan membentuk identitas diri. Namun, di balik berbagai kemudahan tersebut, muncul fenomena psikologis yang semakin memengaruhi kehidupan generasi modern, yaitu overthinking. Kondisi ini merujuk pada kecenderungan berpikir secara berlebihan, memutar ulang kejadian, atau menciptakan skenario mental yang belum tentu terjadi. Generasi muda yang aktif menggunakan media sosial semakin rentan mengalaminya akibat paparan informasi dan tekanan sosial yang tinggi. Fenomena ini bukan lagi persoalan sepele, melainkan menjadi pola hidup yang memengaruhi kesehatan mental banyak orang.

Perbandingan Sosial sebagai Pemicu Utama Overthinking

Salah satu faktor terbesar yang mendorong munculnya overthinking di media sosial adalah perbandingan sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook menampilkan kehidupan orang lain dalam bentuk visual yang tampak sempurna, mulai dari pencapaian akademik hingga gaya hidup glamor. Meskipun konten tersebut umumnya merupakan potongan terbaik dari hidup seseorang, banyak pengguna tanpa sadar membandingkan hidup mereka dengan apa yang dilihat.

Pikiran seperti “Apakah aku tidak cukup?”, atau “Mengapa hidupku tidak seperti itu?” sering muncul, lalu berkembang menjadi keraguan diri dan kehilangan rasa percaya diri. Kondisi ini kemudian memperkuat overthinking dan menguras energi mental secara tidak langsung.

FOMO dan Kecemasan Digital yang Tidak Disadari

Selain perbandingan sosial, fenomena fear of missing out (FOMO) juga turut memicu overthinking. Rasa takut tertinggal tren atau tidak ikut serta dalam kegiatan sosial mendorong seseorang untuk terus terhubung dengan media sosial. Notifikasi yang tidak berhenti memperkuat tekanan psikologis tersebut.

Ketika pengguna merasa tidak mengikuti perkembangan digital, muncul perasaan tidak relevan dan cemas. Pikiran ini menyebabkan seseorang berpikir berlebihan tentang keputusan hidupnya, tentang apa yang perlu diunggah, atau cara agar tetap diterima di lingkungan digital.

Tekanan Membangun Citra Sempurna di Media Sosial

Tekanan untuk menunjukkan citra diri yang sempurna juga menjadi faktor besar penyebab overthinking. Budaya like, komentar, dan jumlah pengikut memunculkan pandangan bahwa nilai seseorang diukur dari respons publik. Ketika jumlah like tidak sesuai harapan, muncul pertanyaan negatif seperti:

“Apa postinganku tidak bagus?” atau “Apa orang tidak menyukai diriku?”

Kondisi ini membuat media sosial berubah menjadi arena penilaian sosial yang ketat. Dampaknya, banyak orang mulai mengalami kecemasan digital karena memikirkan validasi sosial yang tidak kunjung sesuai harapan.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Banjir Informasi dan Beban Pikiran Tak Berujung

Selain tekanan sosial, banjir informasi juga memperparah overthinking. Berita politik, gosip publik figur, hingga konten edukasi terus bermunculan tanpa henti. Otak dipaksa untuk memproses informasi tersebut, sehingga muncul rasa lelah secara mental. Pikiran mencoba mencari makna dari setiap informasi, meskipun sebagian besar tidak relevan dengan kehidupan pribadi.

Kondisi ini memicu stres, kecemasan, dan ketidaktenangan. Lingkaran pikiran berulang pun sulit dihentikan karena otak merasa terus terstimulasi oleh informasi digital.

Solusi Mengurangi Overthinking Akibat Media Sosial

Fenomena overthinking yang muncul akibat media sosial tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Beberapa langkah berikut dapat membantu mengurangi kecenderungan berpikir berlebihan.

Pertama, membangun kesadaran diri sangat penting. Memahami batasan emosi dan mengenali pemicu overthinking membantu seseorang mengontrol interaksi digitalnya.

Kedua, mengurangi waktu penggunaan media sosial menjadi langkah yang signifikan. Pembatasan waktu layar atau menonaktifkan sebagian notifikasi dapat membantu menurunkan beban mental.

Ketiga, penting untuk mengubah cara pandang terhadap media sosial. Memahami bahwa tidak ada kehidupan digital yang sepenuhnya sempurna membuat proses membandingkan diri menjadi lebih terkendali.

Keempat, kemampuan berpikir kritis perlu diasah agar informasi yang diterima dapat difilter. Dengan begitu, pikiran tidak lagi terjebak dalam isu yang tidak penting.

Kelima, membangun koneksi sosial di dunia nyata sangat membantu. Interaksi langsung dengan keluarga, teman, atau lingkungan sekitar memberikan dukungan emosional yang tidak mampu digantikan media sosial.

Fenomena overthinking di era media sosial merupakan persoalan psikologis yang kompleks. Meskipun tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, dampaknya dapat dikurangi melalui kesadaran diri, pembatasan aktivitas digital, serta pendekatan berpikir yang lebih sehat.

Media sosial seharusnya menjadi alat untuk membuka wawasan dan mempererat koneksi manusia, bukan menjadi sumber kecemasan yang melelahkan. Karena itu, pengelolaan interaksi digital dan kemampuan memahami diri menjadi kunci utama untuk menjaga kesehatan mental di tengah derasnya arus informasi modern.

Penulis: Rahma Wahidatuzzahra, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *