Milenianews.com, Mata Akademisi – Etika bermedia sosial di era “zaman now” semakin penting seiring maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan budaya cancel culture yang merusak hubungan sosial digital. Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab menghadirkan perspektif mendalam terhadap QS. Al-Hujurat ayat 6 dan 12 sebagai pedoman etika bermedia sosial, di mana konsep tabayyun menjadi “manual etika digital” untuk memverifikasi informasi dan memerangi hoaks, sementara larangan ghibah menawarkan kritik tajam bagi praktik bullying dan penyebaran aib yang sejalan dengan fenomena cancel culture. Artikel ini menganalisis tiga isu tersebut melalui pendekatan tafsir Al-Misbah. Relevansi tafsir ini semakin mendesak di tengah banjir informasi digital yang memicu konflik sosial tanpa verifikasi. Pendekatan ini bukan sekadar teori, tetapi aplikatif bagi pembangunan masyarakat digital yang bertanggung jawab.
Media sosial telah menjadi arena utama penyebaran hoaks yang merusak kepercayaan publik serta memicu polarisasi sosial. Dalam Tafsir Al-Misbah, QS. Al-Hujurat ayat 6 menegaskan tabayyun sebagai kewajiban memeriksa kebenaran berita dari pihak fasik. Penekanan Al-Qur’an agar tidak menimpakan “musibah kepada suatu kaum karena kebodohan” dibaca oleh Quraish Shihab sebagai larangan keras dalam membagikan konten, komentar, atau penghakiman publik tanpa proses klarifikasi yang memadai. Prinsip ini sangat relevan sebagai etika digital terutama di media sosial masa kini, di mana hoaks sering bersumber dari akun anonim atau sumber tidak kredibel mirip “fasik modern”. Tanpa tabayyun, hoaks menjadi senjata perpecahan sosial.
Ujaran kebencian di media sosial sering muncul sebagai respons emosional tanpa dasar, memperburuk konflik antar kelompok. QS. Al-Hujurat ayat 12 dalam Tafsir Al-Misbah menekankan larangan ghibah—membicarakan aib orang lain secara sembunyi—yang dianalogikan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati. Fenomena ini sejalan dengan hate speech yang mencemarkan nama baik secara viral, merusak martabat individu tanpa konteks. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ghibah melemahkan ikatan sosial, serupa dampak ujaran kebencian yang memicu permusuhan di ruang digital. Ayat ini turun pada masyarakat Madinah yang sensitif terhadap isu sosial, mengingatkan umat untuk menjauhi prasangka buruk dan pencarian aib yang memicu permusuhan digital. Etika Islam menuntut pengendalian lisan—atau “lidah digital”—demi menjaga ukhuwah.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Fenomena cancel culture menjadi bentuk pengadilan massa digital, di mana individu atau kelompok “dibatalkan” karena kesalahan masa lalu atau pernyataan kontroversial. Dampaknya tidak sekadar kehilangan popularitas, melainkan mengarah pada stres, keterasingan sosial, bahkan masalah psikologis berat. Dalam perspektif Tafsir Al-Misbah, praktik ini memiliki kemiripan dengan ghibah dan ejekan yang dilarang QS. Al-Hujurat ayat 12, di mana pengungkapan aib hanya dibenarkan untuk kebaikan. Cancel culture kerap berujung bullying kolektif dan bertentangan dengan prinsip Islam yang memberi ruang taubat—sebagaimana QS. Az-Zumar ayat 53. Fenomena ini menciptakan ketakutan berekspresi dan merusak harmoni sosial digital. Quraish Shihab menekankan pentingnya keadilan dan menolak tindakan “main hakim sendiri”.
Integrasi tabayyun dan larangan ghibah membentuk kerangka etika media sosial yang utuh dari Tafsir Al-Misbah: tabayyun memerangi hoaks melalui verifikasi informasi, sementara anti-ghibah mencegah ujaran kebencian dan cancel culture melalui empati dan adab bermedia. Shihab menegaskan bahwa ayat-ayat ini turun pada masyarakat sensitif terhadap fitnah, relevan bagi era digital ketika informasi instan berpotensi menyesatkan. Budaya “zaman now” membutuhkan literasi Qur’ani untuk menghindari fitnah viral. Prinsip ini praktis: berhenti sejenak sebelum memposting, dan verifikasi kebenarannya.
Dalam realitas digital, algoritma platform mempercepat penyebaran hoaks dan ujaran kebencian—sifat yang mirip fasik modern yang tidak memeriksa kebenaran. Prinsip tabayyun dari Tafsir Al-Misbah menjadi kewajiban untuk mencegah penyesalan sosial, sebagaimana tergambar dalam kisah Bani Musthaliq, di mana kesalahpahaman hampir memicu peperangan. Cancel culture pun mengabaikan tabayyun, menghakimi secara massal tanpa pemahaman konteks. Etika digital Qur’ani menuntut tanggung jawab individu atas setiap konten yang dikonsumsi dan disebarkan, menjadikan tabayyun sebagai fondasi karakter digital.
Tanpa etika digital, media sosial berubah menjadi ladang konflik, sebagaimana polarisasi politik yang dipertajam oleh hoaks. Tafsir Quraish Shihab mengingatkan bahwa ghibah merusak tatanan sosial secara bertahap, pola yang mirip cancel culture yang dapat melumpuhkan reputasi publik dalam sekejap. Tabayyun berfungsi sebagai “vaksin digital” untuk menangkal misinformasi. Karenanya, perlu integrasi nilai Qur’ani dalam kurikulum literasi media sosial untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan tangguh menghadapi dinamika ruang digital.
Fenomena zaman kini tidak benar-benar baru; Tafsir Al-Misbah menghubungkan isu digital dengan kondisi Madinah pasca-Hijrah, ketika penyebaran informasi memicu konflik sosial. Cancel culture serupa ejekan antar suku Aus dan Khazraj yang diperdamaikan oleh ayat serupa. Ujaran kebencian dan hoaks juga membutuhkan musyawarah, bukan penghakiman linimasa. Etika media sosial Qur’ani ini mengusung qaulan sadida untuk membangun ruang digital yang benar, jujur, bertanggung jawab, dan penuh manfaat.
Perspektif Tafsir Al-Misbah membuktikan bahwa QS. Al-Hujurat ayat 6–12 bukan sekadar aturan masa lalu, tetapi panduan etika digital yang abadi. Prinsip utamanya—tabayyun dan anti-ghibah—berfungsi sebagai “manual digital” yang mengajarkan dua pilar: verifikasi informasi untuk melawan disinformasi dan empati untuk mencegah konflik sosial. Implementasi nilai ini menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat digital untuk menjaga harmoni dan kepercayaan publik.
Untuk mewujudkannya, dibutuhkan aksi konkret melalui pendidikan literasi digital Qur’ani secara masif lintas platform. Kolaborasi antara ulama, akademisi, dan influencer digital penting untuk mempromosikan budaya tabayyun dan komunikasi santun. Dengan pendekatan ini, Islam menawarkan solusi komprehensif dan humanis terhadap problematika dunia digital.
Penulis: Selma Silmiyatul Afiyah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.










